Rabu, 25 Desember 2013

Mahalnya Biaya Bagi Calon Pemimpin



Menjelang pemilu legislative alias pemilihan calon anggota dewan (DPR RI – red). Sebagaimana sebelumnya, para calon legislative tersebut yang jumlah ribuan sudah mulai ‘menjajakan diri’ baik melalui media masa, spanduk, baliho, sms, blog, maupun website. Cara yang paling gampang tapi juga mahal yakni dengan mencetak sebanyak mungkin spanduk, baliho atau iklan di media cetak/televise. Tak jarang ada calon anggota dewan itu yang wajahnya setiap hari memenuhi koran. Kitapun  seolah-olah dijejali menu hanya memilih gambar dan tidak perlu kenal ‘siapa’ dan ‘mengapa’ orang tersebut layak untuk dapat mewakili kepentingan kita? Saat waktu kampanyepun  -- para caleg tersebut lebih banyak mengedepankan ‘pilihlah saya’ ketimbang menjelaskan alasan ‘mengapa’ Anda harus ‘memilih dia dibandingkan dengan calon lainnya. Di sisi lain para calon legislator tersebut lebih senang menggunakan pendekatan visual dan bukan pendekatan substansial. Alhasil mindset yang berlaku bersifat transaksional. Untuk mendekati vote getter si calon akan menggunakan pendekatan serba cepat, ringkas, jelas dan hanya sekali saja. Begitupun bagi para pemilih, sikapnya juga pragmatis; terima apa saja yang akan diberikan oleh calon pemimpin -- soal memilih siapa itu urusan nanti!

Bila dibandingkan saat masih sekolah, maka caleg diibaratkan calon ketua kelas. Siapa saja bisa mencalonkan diri menjadi ketua kelas. Biasanya yang maju sebagai ketua kelas adalah orang yang dipercaya, pintar, rajin, jujur, dan punya keberanian lebih dibandingkan dengan yang lainnya. Parameternya juga kasat mata. Setiap orang pastilah tau kalau si calon ketua kelas adalah orang yang pintar, jujur, atau berani tadi. Enggak perlu kampanye atau bicara cuap-cuap kepada teman-teman sekelas agar ia dipilih menjadi ketua kelas. Hanya saja sang ketua kelas setelah menjadi ketua kelas tidak mendapat gaji atau tunjangan sebagaimana yang diterima oleh anggota dewan kita. Nah, dari kumpulan ketua kelas tadi -- ada yang berminat untuk menjadi ketua OSIS. Maka jabatan ketua OSIS diibaratkan sebagai Presiden. Untuk menduduki jabatan ketua OSIS perlu perjuangan yang lebih berat lagi. Sang calon ketua OSIS harus bisa menyakinkan masing-masing pemilih di setiap kelas yang nota bene sudah ada ketua kelasnya itu. Bahkan bisa jadi calon ketua OSIS tersebut bukanlah ketua kelas, melainkan salah seorang siswa di masing-masing kelas. Sekali lagi siapapun yang akan menjadi ketua OSIS, tetap saja ia tidak akan mendapatkan fasilitas gaji atau tunjangan.Bedanya dengan anggota dewan atau presiden, mereka yang terpilih menjadi anggota dewan atau presiden, memiliki gaji, tunjangan, dan fasilitas yang wah. 

Jadi sebenarnya mencari calon pemimpin itu enggak perlu biaya mahal. Semua kasat mata. Siapa yang jujur, pintar, pekerja keras dan dapat dipercaya -- semuanya ada di sekitar kita. Hanya saja dengan mekanisme keorganisasian berupa partai politik, membuat calon-calon pemimpin  tersebut harus mengeluarkan uang untuk menjadi salah satu pengurusnya. Bukan itu saja, bahkan konon kabarnya siapa yang memiki uang banyak -- peluang untuk menduduki posisi puncak di kepengurusan partai atau urutan dalam kartu pemilihan akan lebih terbuka lebar. Kalau sudah begitu, bagaimanakah peluang orang yang jujur, cerdas, dan dipercaya bisa masuk  ke bursa calon pemimpin bangsa apabila karena kejujuran dan kerja kerasnya selama ini -- ia tidak memiliki uang? 

Persoalan 'kesulitan' kita mencari pemimpin yang bersih (bebas KKN) dan berwibawa (memiliki kompetensi, pekerja keras dan dapat dipercaya) tidak akan serumit yang kita alami sekarang ini bila mulai saat ini mindset kita sebagai anak bangsa bukanlah memilih pemimpin tapi mencari calon pemimpin... Kita mengupas 'isi kepala' alias kompetensi yang dimiliki calon pemimpin kita dan menguji integritasnya dengan memaparkan track record mereka selama ini. Kesalahan dalam memilih pemimpin akan membuat bangsa kita semakin terpuruk di kancah pergaulan internasional.

Kamis, 12 September 2013

Dicari: Partai Percaya Diri!


Galibnya orang menjadi anggota atau pengurus partai adalah untuk menjadi kader terbaik dan menduduki posisi puncak sebagai pemangku jabatan puncak di partai tersebut. Adalah aneh bin ajaib bila ada partai yang memiliki sekian banyak anggota dan (pengurus) tentunya, namun untuk mencari kader terbaik mereka -- harus 'mengimpor' dari pihak lain. Mirip-mirip ketika tanah di negeri ini sangat luas dan kebutuhan akan tahu dan tempe tergolong tinggi; ternyata ketika harga kedelai melambung tinggi; kitapun harus impor dari negara lain!

Beberapa tahun lalu partai Golkar mengadakan konvensi untuk menjaring putera-puteri terbaik bangsa untuk kelak dicalonkan sebagai capres dari parta berlambang beringin tersebut. Hal serupa diikuti oleh partai demokrat -- juga dalam rangka menjaring putera-puteri terbaik bangsa untuk kelak diusung sebagai capres dari partai berwarna biru tersebut. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataan politik di Indonesia karena begitu banyak partai, sulit bagi suatu partai untuk dapat menang mutlak dalam pileg ataupun pilpres. Oleh sebab itu pilihan melakukan koalisi menjadi suatu keniscayaan. Mungkin hanya partai yang dipimpin Wiranto yang sebelum pileg sudah berani memproklamirkan dirinya sebagai capres 2014 dari pihak partai. Hal ini perlu diapresiasi mengingat 'kerapuhan' kabinet yang dibentuk akibat koalisi dalam pencapresan. Dalam kabinet SBY-JK dan SBY-Budiono yang diusung oleh multi partai; terlihat bahwa koalisi gemuk menghasilkan kinerja partai yang lamban karena obesitas birokrasi dan sarat dengan praktik in-efisiensi dalam pengelolaan sumber daya. Mental instan sebagai pemenang dan jadi presiden, hampir dihinggapi oleh sebagian besar partai di negeri ini. Mereka akan menggunakan segala daya dan upaya agar partai dan jagoan mereka bisa menjadi orang nomor satu di republik ini. Mental serba instan ini terlihat sejak pencalegan hingga bentuk koalisi yang akan mereka lakukan. Ujung-ujungnya tidak jelas lagi siapa dan dari partai mana mereka berasal. Maklum saja, orang bisa gonta-ganti partai bila ia tidak terpilih di partai atau partai mereka tidak memenuhi electoral threshold. Sehingga jati diri sebagai orang atau partai menjadi tidak jelas. Menjadi orang partai tak obahnya seorang pialang yang memiliki mindset sebagai profit taker belaka.

Ada kisah sebuah partai di Jerman yang diawal pembentukannya bisa dikatakan sebagai partai kecil atau gurem. Namun berkat komitmen dan menegakkan visi/misi partai secara konsisten, akhirnya orang terbaik di partai mereka bisa menjadi Kanselir. Perjalanan dan penantian serta kerja keras tersebut tidak terjadi dalam 1 (satu) atau 2 (dua) kali pemilu, tapi memakan waktu 98 tahun sejak partai itu didirikan! Mungkin orang akan mencibir atau menganggap lelucon bila ada orang mau mendirikan partai dan baru bisa berkuasa setelah mendekati 1 (satu) abad. Namun fakta kelak akan membuktikan bahwa partai yang hanya memikirkan kepentingan sesaat (menjadi penguasa an sich) -- diibaratkan partai yang hanya memiliki akar serabut atau buah yang banyak saja. Kepercayaan diri sebagai kader partai yang menjunjung tinggi visi dan misi memang membutuhkan keuletan, kesabaran, dan komitmen yang tinggi ditingkat pengurus atau pendiri partai. Kita belum melihat ada partai di negeri ini yang didirikan untuk mencapai cita-cita bersama rakyat dan tidak peduli berapa lama orang di partai mereka yang akan menjadi orang nomor satu di republik ini....

Minggu, 08 September 2013

The Power of Commitment

Menjadi seorang yang memegang janji atau commitment tidaklah mudah. Seorang bung Hatta telah menunjukkan komitmennya tatkala harus menjalani hukuman dari sang kakek dengan harus berdiri di bawah pohon karena suatu kesalahan, dilakoninya tatkala beliau baru berusia 6 tahun. Saat ini sangat sulit untuk mencari seseorang pemimpin yang komit dengan apa yang pernah ia janjikan. Kalaupun ada, itu hanya sebatas ucapan di mulut atau kampanye di media surat kabar atau elektronik. Yang miris kita lihat sekarang bahwa komitmen para pemimpin negeri ini masih dilatarbelakangi oleh aji mumpung. Mumpung masih menjabat, mumpung masih mendapatkan fasilitas dari negara, mumpung masih tenar di masyarakat. Lihatlah berita di surat kabar atau media elektronik yang mensinyalir para pejabat publik (yang nota bene adalah pejabat ekskutif) yang ketika masih menjabat, dengan dalih hak dan kepentingan rakyat -- akhirnya menggunakan aji mumpung mereka dengan menggunakan politik 2 (dua) kaki. Dengan kata lain, saat ia masih memiliki tanggung jawab di lembaga ekskutif, ia juga memasang kuda-kuda untuk menjadi pejabat legislatif (anggota dewan) di lembaga DPR. Atau kita lihat betapa beberapa orang pemangku jabatan yang masih bertanggungjawab sebagai kepala daerah (bupati/walikota atau gubernur) di daerah masing-masing, mencalonkan diri di daerah lain dengan jabatan yang lebih tinggi lagi. Sepintas lalu hal ini tidak ada persoalan. Toch secara aturan para pejabat yang masih menjabat tersebut dapat mengambil cuti diluar tanggungan negara. Yang menjadi persoalan apakah etis dan bisa menjadi jaminan tatkala seseorang bupati/walikota atau gubernur yang mengikuti pertarungan pemilihan kepala daerah sebagai bupati/walikota, gubernur, bahkan seorang presiden sekalipun! 

Adalah hal yang tidak etis tatkala seorang pejabat setingkat walikota/bupati atau gubernur yang ketika diambil sumpahnya untuk memegang amanah sebagai kepala daerah di masing-masing daerah yang harus mencurahkan tenaga dan pikiran mereka untuk membangun dan bertanggung jawab atas amanah yang diembankan di pundak mereka selama 4 (empat) atau 5 (lima) tahun, ternyata karena melihat peluang untuk bisa menduduki jabatan publik yang lebih besar lagi, harus ikut bertarung dengan meninggalkan jabatan yang diembannya sekarang? Dalam pilgub DKI tahun 2012 lalu, setidaknya ada 2 (dua) orang pejabat publik setingkat walikota dan gubernur yang harus meninggalkan daerahnya masing-masing untuk mengadu 'peruntungan' di ibu kota. Disinyalir karena sekali lagi ada 'peluang' maka gubernur DKI yang baru beberapa bulan diembannya untuk menjabat jabatan yang lebih tinggi lagi (Presiden), maka sang gubernur tersebut seolah-olah diberkan 'kartu hijau' untuk nyapres pada pilpres 2014 nanti. Alasan yang dipakai adalah karena ybs dianggap memiliki prestasi karena dalam waktu yang 'singkat' telah 'mampu' membenahi Jakarta! Tidak ada yang salah dengan adanya peluang atau kesempatan yang tentunya akan diambil atau dimanfaatkan oleh siapapun untuk bisa meraihnya. Namun yang menjadi pertanyaan di benak kita adalah seberapa besar komitmen dari setiap pejabat publik di negeri ini untuk tetap fokus menjalankan roda pemerintahan atau menjalani masa dalam jabatannya sesuai dengan waktu yang telah disepakati tersebut. Bisa dibayangkan seorang gubernur yang mestinya harus meluangkan waktu dan tenaganya fokus mengurusi daerah yang dipimpinnya, namun di sisi lain ia juga sibuk untuk memikirkan bagaimana harus membagi waktu untuk kepentingan kampanye dalam rangka pileg, pilgub, atau pilpres sekalipun. Ketika hati dan pikiran para pemangku jabatan publik itu terpecah, maka saat itu ia dikategorikan sebagai orang yang tidak memenuhi janji atau komitmen yang telah diikrarkannya sesaat ia dilantik menjadi pejabat publik.

Keberhasilan atas kemajuan suatu bangsa harus didukung oleh pemimpin yang memegang janjinya, fokus pada pekerjaan atau tanggung jawab yang harus dipikulnya, dan menyibukkan dirinya untuk melakukan segala sesuatu yang memberikan manfaat sebesar-besar kepentingan rakyat. Bukan pemimpin yang ketika diwawancarai selalu mengatakan bahwa bila ada peluang untuk jabatan yang lebih tinggi namun harus meninggalkan jabatannya yang sekarang yang masih belum rampung; dengan gagahnya ia mengatakan bahwa hal itu tidak terpikirkan sama sekali....Memang jabatan tidak untuk dipikirkan semata, tetapi yang lebih penting bagaimana tetap fokus dengan jabatan yang sekarang dan tidak menjadikan aji mumpung sebagai panglima....

Selasa, 03 September 2013

Menjadi Bangsa Reaktif atau Kreatif?


Tatkala sampah menjadi masalah di kota besar di Indonesia terutama Jakarta, masyarakat kita seolah-olah diberikan pilihan bahwa sampah adalah 'masalah' dan harus dibuang jauh-jauh. Pemda DKI-pun harus membuang sampah (TPS) di daerah tetangganya yakni Bantar Gebang (Bekasi). Begitu juga saat kemacetan mendera jalan-jalan di seantero Jakarta, sekali lagi yang menjadi 'biang keroknya' karena jumlah kendaraan yang tidak sesuai dengan infrastruktur jalan, perilaku pengemudi yang tidak disiplin, dan penegakan aturan berlalu lintas yang masih tidak tegas. Begitu juga ketika pemerintah yang 'ragu-ragu' menaikkan harga BBM, sekali lagi rakyat kita bereaksi kencang; tolak kenaikkan BBM? Pendek kata, setiap persoalah selalu ditanggapi dengan 2 (dua) kubu yang berlawanan; setuju atau tidak setuju; menerima atau menolak. Ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih bersikap reaktif terhadap persoalan yang dihadapi.

Cobalah perhatikan negeri tetangga kita seperti Malaysia atau Singapura. Apakah di negeri mereka tidak ada sampah, sedikit kendaraan, atau tidak butuh BBM? Kedua negara itu pastilah memiliki tingkat persoalan yang dihadapi tidak kalah peliknya dengan kita. Bahkan untuk air minum saja misalnya, pihak Singapura harus impor dari Indonesia. Untuk membangun infrastruktur perkebunan dan pelabuhan atau property, pihak Malaysia harus mengimpor tenaga kerja juga dari Indonesia. Dengan kata lain bahwa di kedua negeri jiran itu memiliki persoalan yang boleh dikatakan beda-beda tipislah. Hanya saja pemimpin negara mereka selalu bersikap kreatif terhada persoalan yang ada. Menyadari akan persaingan global pariwisata, Singapura dan Malaysia mempersiapkan dengan matang infrastruktur di negara masing-masing. Malaysia mengklaim bahwa dengan melancong ke Malaysia, maka Anda telah mendatangi seluruh budaya negara-negara di Asia. Begitu juga dengan Singapura yang memposisikan diri sebagai negara tempat membuat pertemuan bisnis atau membuat kantor bisnis terbaik di kawasan Asia Tenggara! 

Indonesia memiliki lebih dari apapun yang dipunyai Singapura atau Malaysia. Sayangnya pemimpin negeri ini tidak mau melakukan bench marking atau studi banding dengan menjelaskan bahwa seandainya negeri tetangga punya program yang baik, maka Indonesia mestinya punya program yang lebih baik lagi. Cobalah perhatikan bahwa untuk membuat pesawat terbang saja kita sudah mampu, apalagi kalau hanya membuka lahan untuk bawang putih atau kacang kedelai. Tugas pemimpin membuat program atau terobosan baru sehingga masyarakat negeri ini menjadi lebih percaya diri dengan dibekali pinjaman untuk modal usaha yang bila perlu tanpa bunga, pelatihan gratis, atau program yang membuat setiap individu bangsa ini mejadi pribadi yang mandiri dan percaya diri. Semua itu harus dimulai dari pribadi pemimpin tertinggi negeri ini. Saat pelik menghadapi ancaman dan perang sekalipun, seorang pemimpin seperti Soekarno-Hatta tidak pernah menunjukkan kegentarannya mereka, bahkan saat mereka harus dibuang di pulau terpencil dan dipenjarakan di sana. Bila para pemimpin di negeri ini telah menunjukkan sikap pantang menyerah, rela berkorban demi negara -- tentu rakyatnya tidak akan banyak menuntut atau turun ke jalan untuk memprotes para pemimpin mereka. Itu semua akan terjadi bila sang pemimpin tidak mengeluh tatkala didera persoalan, tapi tetap semangat dengan menggunakan semua kreatifitas yang ada di benaknya...

Minggu, 01 September 2013

Turunkan Vs Naikkan Harga Kedelai




Ironis sekaligus memilukan. Begitulah perasaan kita sebagai anak bangsa melihat betapa para perajin tahu dan tempe menjerit karena bahan baku tahu dan tempe yakni kedelai meroket. Pilihan perajin tahu dan tempe adalah sulit. Menaikkan harga sama dengan 'bunuh diri'. Tapi tidak menaikkan harga malah mempercepat 'bunuh diri' itu sendiri. Seperti biasa tanggapan pemangku jabatan di negeri ini melihat 'jeritan' perajin tahu dan tempe itu normatif saja. Sama halnya ketika ada kemacetan menjelang lebaran yang saban tahun mendera negeri ini. Sebenarnya yang perlu diperhatikan saat ini adalah bahwa kebutuhan kedelai mestinya disikapi dengan langkah-langkah strategis dan jangka panjang, bukan dengan jangka pendek dengan menambah kran impor kedelai!

Orang bijak berkata bahwa 'orang yang masih melakukan kesalahan yang sama; bisa diibaratkan sebagai seekor keledai! Nah, kedelai sudah merupakan kebutuhan pokok rakyat ini yang semestinya pula diberikan insentif bagi para petani yang menanam kedelai. Bila tidak, maka mekanisme pasar akan terjadi. Petani yang memiliki skala industri yang lebih besar, efisien, dan modernlah yang akan memenangi persaingan global itu. Sementara lahan yang luas di negeri ini akan kurang diminati oleh petani untuk menanam kedelai karena hanya memberikan keuntungan atau marjin yang tipis saja. Sayangnya lagi, tatkala para perajin tahu dan tempe menjerit -- para petanipun cuek karena tidak ada hubungannya dengan mereka. Menanam komoditas lain lebih menarik daripada menanam kedelai. Kalau sudah begini, siapakah yang harus disalahkan; perajin tahu tempe-kah, atau petani kedelai-kah?

Kalau pemangku jabatan di negeri ini mau berpikir dan bertindak smart, semestinya tidak perlu ragu dan pusing untuk mengatasi kelangkaan atau kenaikan harga kedelai yang menghantui para perajin tahu dan tempe negeri kita. Caranya? Berikan insentif khusus bagi para petani kedelai yang akan menanam kedelai. Dengan demikian para petani akan meningkatkan kapasitas produksi mereka. Untuk menstabilkan harga kedelai saat panen, BULOG membeli dengan harga yang 'pantas' untuk para petani. Selanjutnya para pejabat di daerah (kota atau kabupaten) yang memiliki banyak petani dan atau perajin tahu dan tempe, sebaiknya memberikan motivasi dan inovasi agar meningkatkan nilai tambah (value added) bagi para pengusaha tahu dan tempe agar bisa meningkatkan proses olah dari tahu dan tempe menjadi bahan jadi yang lebih memiliki prospek untuk konsumen di dalam dan luar negeri. Sudah banyak diketahui bahwa kedelai bisa juga dibikin yogurt atau keju. Dengan sinergisitas antara petani kedelai dengan perajin/pengusaha tahu dan tempe yang difasilitasi oleh pemerintah, maka nilai jual petani kedelai dengan pengusaha/perajin tahu dan tempe akan bertambah. Bila semua sinergi itu terjadi; bukan tidak mungkin kita tidak akan melihat lagi demo para perajin tahu atau tempe yang meminta harga kedelai diturunkan, mengapa? Karena para petani kedelai akan menikmati hasil jual kedelai dengan harga bagus, dan perajin/pengusaha tahu dan tempe dapat meningkatkan diversifikasi produk mereka dengan olahan selain tahu dan tempe yang memiliki nilai jual yang lebih prospek lagi.  Mari kita selesaikan persoalan bangsa ini (kedelai) dengan menggunakan semangat kebangsaan kita. Jangan pernah menyelesaikan persoalan mahalnya harga kedelai dengan mengulang kesalahan yang sama dimasa lalu seperti keledai yang masih mau jatuh pada lubang yang sama.Wallahu a'lam bissowab.....


Minggu, 18 Agustus 2013

Penghambat Kemajuan Bangsa #2: Tidak Memiliki Fokus atau Prioritas

Tahun 2013 ini ada sedikit pemandangan yang tidak biasa terjadi saat mudik dengan kereta api. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya kebanyakan para penumpang berjubel dan berdesak-desakan saat akan memasuki stasiun dan gerbong kereta. Nampaknya manajemen PT KAI sudah memiliki visi dan misi untuk melakukan improvement dalam melayani penumpang mereka. Pemandangan lainnya masih didapati terutama kemacetan di jalur darat dan penyeberangan ferry Sumatera-Jawa-Bali. Jalur pantura yang masih belum menunjukkan adanya perbaikan dalam hal kemacetan dan kenyamanan para pengendara sepeda motor, mobil, dan bus.

Adalah hal yang lumrah bila pada mudik tahun 2014 nanti para penguasa negeri ini berfokus untuk mengurangi hal-hal yang sering terjadi yakni kemacetan, ketidaknyamanan, kecelakaan lalu-lintas pada saat mudik. Merupakan kebanggaan sekaligus kebahagiaan bila mulai selesai pasca mudik ini, segenap aparat pemerintah mulai dari dephub, kepolisian, PT KAI, Perum Pelabuhan, Pemerintah Pusat dan Pemda masing-masing provinsi untuk melakukan evaluasi agar tingkat kecelakaan dan ketidaknyamanan bisa dikurangi pada tahun 2014 mendatang. Tidak ada yang tidak bisa diselesaikan bila kita berfokus dan bersatu padu untuk menyelesaikannya.

Senin, 29 Juli 2013

Penghambat Kemajuan Bangsa #01"Memelihara Masalah"






Dalam suatu tajuk suatu harian nasional yang berjudul "Proyek Abadi Jalur Pantura" -- seakan mengingatkan kembali kepada kita semua bahwa pekerjaan yang sering kita lihat bertahun-tahun tanpa penyelesaian yang tuntas merupakan penghambat kemajuan bangsa ini. Kabarnya, KPK sudah mulai menelisik kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dana negara untuk pekerjaan yang dikategorikan sebagai 'proyek abadi' tersebut. Bahkan ada anekdot; jikalau ada pekerjaan perbaikan jalur pantura -- pastilah sudah mendekati lebaran! Hal ini dapat dimaklumi karena hampir di seluruh pelosok negeri, apabila mendekat saat lebaran Idul Fitri yang sebelumnya merupakan bulan puasa Ramadan -- saat itulah pihak yang berkompeten mengurus perbaikan jalan dan prasarana. Akibatnya lalu-lintas menjadi terhambat dan jalanan macet. Fenomena seperti ini seolah-olah sudah 'tradisi' yang harus dibayar mahal oleh rakyat. Berapa BBM yang dihabiskan selama kemacetan berlangsung, belum lagi banyak kecelakaan lalu-lintas dikarenakan jalan berlubang yang belum sempat diperbaiki. Menurut salah seorang pejabat terkait mengatakan bahwa apakah mungkin pekerjaan perbaikan yang praktis hanya memakan waktu selama 14 (empat belas) hari atau 2 (minggu) tersebut akan tuntas? Lalu bagaimana dengan mutu pekerjaan itu sendiri? Siapakah yang bertanggung jawab terhadap mutunya?

Beberapa hari lalu (24/07) ada truk yang nyemplung ke laut saat keluar dari kapal penyeberangan antara Merak-Bakauheni. Penyebab sementara diketahui bahwa kualitas proyek dermaga tersebut di bawah standar sehingga meskipun baru saja diselesaikan, ternyata kualitasnya sangat bobrok. Untung saja sang pengemudi truk tersebut sempat diselamatkan. Adalah sangat disayangkan apabila proyek perbaikan yang konon kabarnya menelan biaya milyaran bahkan triliunan Rupiah (sekitar 1.2 Triliun Rupiah) pertahunnnya tersebut dilakukan asal-asalan dan tidak memiliki standar mutu dan waktu yang semestinya. Seharusnya pula pihak terkait sudah mempersiapkan perbaikan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, dan sarana pendukungnya (bus, kereta api, kapal penyeberangan, dan pesawat) -- sudah dapat diprediksi setiap tahunnya berapa orang yang mudik dan berapa prosen kenaikannya. Dari data statistik tersebut maka pihak pemerintah melalui aparat terkait akan dapat mempersiapkan sarana dan prasarana tersebut dengan lebih baik. Mengapa? Sebab selama ini pihak pemerintah seolah-olah tidak memiliki time management dalam menuntaskan persoalan mudik atau kemacetan selama mudik berlangsung. Kalaupun ada keluhan bahwa anggaran perbaikan baru muncul menjelang saat lebaran atau hal-hal lainnya, mestinya hal tersebut dapat diantisipasi dari awal. Bila saja pemerintah juga melibatkan masyarakat dalam mengawasi jalannya proyek tersebut dengan memberikan transparansi berapa biaya yang telah dikeluarkan dengan mempublikasikan kepada rakyat, diharapkan akan terjadi social control terhadap kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dalam pelaksanaannya.Salah satu indikasi sebagai negara modern adalah clean government dan accountability para penyelenggara negara dalam mengelola anggaran publik.

Melibatkan berbagai pihak seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, cendekiawan, mahasiswa, dan tentunya KPK dalam hal mengawasi pelaksanaan proyek untuk kepentingan umum sudah selayaknya dimulai. Dengan melibatkan para pihak ini, diharapkan ruang lingkup terjadinya KKN akan berkurang ruang geraknya. Penggunaan IT dan media internet sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Wagub DKI yang mengunggah rapat pihak pemda DKI (PU) dengan wagub di you tube -- merupakan terobosan untuk transparansi. Tidak ada yang perlu disembunyikan demi kebaikan kita bersama. Saatnya bangsa ini menghilangkan budaya 'memelihara masalah'. Karena dengan memelihara masalah akan banyak timbul in-efisiensi dan peluang KKN antar penyelenggaranya. Semakin ditunda penyelesaiannya suatu masalah, semakin besar biaya yang akan ditanggung oleh rakyat kita...


Minggu, 14 Juli 2013

INDONESIA dikalahkan Klub Sepak Bola






Hampir disetiap pertandingan persahabatan antara klub bola yang akan bertanding dengan Timnas, Indonesia Selection, atau Indonesia Dream Team, selalu saja hatiku was-was dan H2C (Harap-harap Cemas). Berharap agar Timnas tersebut bisa menang, atau minimal seri. Mengapa? Karena kalau kalah -- mohon maaf; sudah 'tradisi'. Namun ada suatu hal yang sangat membuat hati sebagai orang Indonesia menjadi masgul dan sedih karena saat tim klub sepak bola yang datang ke negeri ini (AC Milan, Timnas Belanda) bahkan malam tadi (14/07) Gelora Bung Karno kedatangan tim Arsenal FC. Saat konferensi pers, nampak sekali bahwa sambutan terhadap tim tamu (Arsenal FC) luar biasa dari Panitia. Mulai dari Bandara Soetta hingga ke lapangan, para pemain dan official Arsenal dielu-elukan pendukung klub meriam London tersebut. Lalu bagaimana dengan sambutan terhadap pemain dan pelatih Indonesia Dream Team? Sama dengan sambutan sebagaimanan pertandingan dengan klub sepak bola sebelumnya. Analis sepak bola sebagian besar mengatakan bahwa timnas Indonesia bakalan kalah menghadapi klub sepak bola sekaliber AC Milan, Arsenal atau Chelsea sekalipun!

Menyaksikan bagaimana pelatih timnas Indonesia yang sudah sejak awak dianggap sebagai underbouw atau kalah kelas dengan tim tamu (klub sepak bola), seolah menegaskan bahwa hanya keajaibanlah yang dapat memberi kabar bahwa Timnas Indonesia bisa mengalahkan klub sepak bola dunia. Jadi saat konferensi perspun timnas Indonesia hanya diberikan sedikit waktu untuk memberikan keterangan dengan background tanpa embel-embel PSSI atau yang melambangkan keperkasaan suatu bangsa. Bukanlah mestinya saat konferensi perspun kita harus 'equal' dengan tim tamu yang dipenuhi dengan atribut klub atau sponsor yang menunjukkan dukungan finansial yang rasa percaya diri yang tinggi menjelang menghadapi timnas Indonesia. Tapi apa yang didapat oleh timnas Indonesia dari para panitia atau pendukungnya? Kalau mau jujur, mestilah para pendukung tim tamu (sekali lagi klub sepak bola) lebih banyak dari pendukung timnas Indonesia. Mengapa? Karena di dalam alam bawah sadar kita mengatakan bahwa sulit untuk draw apalagi menang menghadapi tim profesinal dunia tersebut. Namun bagaimana selayaknya sikap kita terhadap timnas, Indonesia Dream Team atau Indonesia Selection? Alangkah bijak dan wajar bila -- apapun kondisi timnas kita saat ini -- haruslah kita dukung 200%. Mengapa kita harus lebih menghargai dan menghormati timnas kita? Cobalah perhatikan bagaimana semangat dan jiwa patriotis bangsa Thailand yang saat menghadapi tim Manchester United di laga persahabatan di Stadion Rajamangala National pada Sabtu (13/7/2013), tim Thailand All Stars berhasil menekuk MU dengan skor 0-1 dihadapan pendukung sepak bola Thailand. Terlepas apakah kemenangan ini karena lucky atau tidak, setidak-tidaknya tim Thailand All Stars telah membuktikan bahwa mereka tidak bisa diremehkan oleh klub sekalipun MU sekalipun!

Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan tatkala berbagai kekalahan dilakoni oleh timnas Indonesia menghadapi klub sepak bola sekaliber dunia tersebut?

  1. Tetap mendukung dan membela Timnas Indonesia apapun kondisinya (meskipun saat ini masih kalah fisik atau mental) sekalipun!
  2. Jangan berlebih-lebihan memberikan sambutan atau over estimate atau over comments terhadap tim tamu (klub sepak bola) yang melakukan pertandingan persahabatan dengan Timnas Indonesia
Selanjutnya buat Menpora berikut jajarannya harus membuat Blue Print untuk persepak bolaan Indonesia ke depan dengan membuat perencanaan jangka panjang agar persepakbolaan Indonesia tidak dijadikan arena 'pembantaian' di stadion negeri sendiri tatkala berhadapan dengan tim klub sepak bola yang bertanding di negeri kita.  Jangan ulangi lagi INDONESIA dikalahkan oleh klub sepak bola manapun!

Selasa, 09 Juli 2013

Indonesia in 2014:"Need A Strong Leader!"




Pasca PD II di dunia dikenal 3 (tiga) orang kuat yakni Rosevelt, Churchil, dan Stalin. Mengapa mereka dikatakan sebagai orang kuat? Yang jelas ketiganya merupakan pemimpin terbaik di negara masing-masing di era tersebut. Indonesia juga memiliki orang kuat saat itu yakni Soekarno. Pasca Soekarno kita sempat gonta-ganti pemimpin, mulai dari Soeharto, Habibie, Megawati, dan Gus Dur hingga presiden SBY saat ini. Namun kehebatan Bung Karno hingga saat ini belum tertandingi oleh siapapun. Tolok ukur seberapa dikenal pemimpin kita tersebut bukan saja di dalam negeri, tetapi tanyalah antar generasi dan warga dari negara lain.

Saat perubahan pucuk kepemimpinan dari orde lama ke orde baru, suksesi tidak berjalan mulus. Begitu juga saat orde baru ditumbangkan oleh gerakan reformasi tahun 1998 lalu. Bangsa kita memiliki sejarah kelabu tentang peralihan estafet dari presiden lama kepada presiden yang baru. Padahal faktanya, tidak semua kepemimpinan presiden sebelumnya itu jelek. Saat orde baru berlangsung, kita memiliki kebanggaan sebagain nation. Rasa percaya diri sebagai bangsa yang besar bisa mengalahkan keterpurukan ekonomi sekalipun. Bahkan di tahun 1990-an, kita telah menerapkan demokrasi secara langsung (meskipun akhirnya menjadi 'terpimpin'). Zaman orde baru kita memiliki apa yang disebut sebagai 'stabilitas'; yakni ekonomi dan politik. Mestinya di zaman reformasi ini pemerintah yang berkuasa harus lebih baik dalam hal-hal sebagai berikut:

  1. Segi Nasionalisme atau Kebangsaan; Bangsa yang memiliki sebanyak 17.000 pulau dan penduduk terbesar ke-5 di dunia dan negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia, setidak-tidaknya harus menjadi barometer kemajuan ekonomi, demokrasi, dan juga teknologi;
  2. Segi Militer. Tidak ada negara hebat di dunia yang tidak memiliki militer yang canggih dan profesional.Oleh sebab itu dengan kemampuan anak-anak bangsa membuat pesawat dan perlengkapan perang seperti panser Anoa dan army truck 'Komodo' -- menunjukkan bahwa Indonesia mampu dan mandiri untuk menjadi bangsa yang kuat tanpa harus terikat dengan negara manapun di dunia.
  3. Segi Daya Beli. The Power of Buying Bangsa Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Oleh sebab itu mindset sebagai Bangsa Penjual Bahan Baku harus dibuang jauh-jauh. Saatnya kita harus memikirkan untuk menciptkan produk jadi dari sekian banyak bahan baku yang melimpah di negara kita. Jerman memiki industri olahan kopi terbesar di dunia, begitu juga dengan Swedia memiliki industri olahan cokelat yang terbaik di dunia. Dua negara tersebut tidak memiliki sebatangpun kopi atau pohon cokelat di negara mereka. Tapi dengan kemampuan SDM dan teknologi yang mereka memilikim -- mereka bisa mengolahnya menjadi produk jadi yang mendunia.
Saatnya kita mulai menimang-nimang siapa yang menjadi bakal Pemimpin Indonesia tahun 2014. Kita tidak hanya mencoblos calon presiden RI, tapi mencari calon PEMIMPIN yang KUAT. Dia bukan saja sebagai Politikus, tapi merupakan seorang NEGARAWAN yang bermental PATRIOT dan memiliki visi ENTREPRENEUR

.

Minggu, 23 Juni 2013

The Most Influenced's Indonesian People 2013








Defenisi leader menurut Barack Obama adalah 'leader is influence', sedangkan menurut Mang Tujah (Leader is how to make the others follow you..."). Hal yang menarik bahwa menurut pengamat politik bahwa tahun 2013 adalah 'tahun politik' sedangkan tahun 2014 tepatnya tanggal 9 April 2014 adalah hari 'H' bagi penentuan RI Satu. Pooling atau jajak pendapat yang diadakan oleh lembaga survey tidak banyak berbeda dengan data tahun 2009 yakni, calon presiden yang muka lama dan muka baru. Disebut muka lama karena tahun 2009 tidak berhasil, mereka masih mencoba peruntungan untuk bisa bersaing pada pilpres 2014 nanti. Sementara muka baru adalah kaum muda atau tua yang terang-terangan pengen jadi presiden atau masih malu-malu kucing.

Parameter untuk melihat sejauh mana calon presiden Indonesia tahun 2014 bisa menjadi benar-benar masuk kategori pilihan rakyat dalam pilpres 2014 nanti adalah sebagai berikut:

  1. Statement atau solusi yang ditawarkan terhadap persoalan bangsa bersifat komprehensif dan untuk jangka waktu panjang;
  2. Tidak mau berspekulasi, meremehkan persoalan, atau membuat rumit persoalan, tapi fokus pada kerja keras dan fokus untuk penyelesaiannya;
  3. Bersikap jujur, tegas, dan berani mengambil resiko apapun -- asalkan memberikan manfaat sebesar-besar bagi kepentingan bersama;
  4. Rendah hati dan menganggap setiap karya yang dihasilkan merupakan hasil kerja tim dan tidak perlu mengatasnamakan individu, kelompok, atau golongan;
  5. Bukan tipe orang yang narsis, selfish, atau egois;
  6. Mengutamakan penyelesaian persoalan bangsa dengan lebih dahulu mencari akar permasalahan (root cause) dan bersama-sama dengan rakyat untuk mengembangkan potensi anak bangsa agar bisa menyelesaikan persoalan secara bersama-sama komponen bangsa;
  7. Meskipun berasal atau dibesarkan oleh partai tertentu, dalam tampilan individu atau jabatan yang diembannya selalu bersahaja dan memihak kepentingan rakyat;
  8. Bersikap sebagai pencari solusi (solution maker) dengan mengedepankan manajemen efektivitas dan efisiensi dalam setiap pemecahan masalah;
  9. Membangun budaya team work dan partisipatif terhadap persoalan yang dihadapi;
  10. Menunjukkan pola manajerial yang sistemis dan profesional sebagai pemimpin yang melayani rakyat.
Saat ini banyak iklan pribadi atau iklan terselubung bagi calon pemimpin negeri ini untuk pilpres 2014. Ada yang penuh percaya diri dan terang-terangan ingin menunjukkan bahwa ia layak memimpin negeri atau masih malu-malu kucing. Ada pula yang menjadi iklan untuk produk-produk tertentu yang juga membonceng iklan untuk diri sendiri. Siapapun yang telah berani atau masih malu-malu kucing untuk mengikrarkan diri sebagai salah seorang calon pemimpin RI -- sebaiknya kita apresiasi. Semakin banyak calon dan waktu yang tersedia untuk memimpin negeri ini , semakin baik bagi kita semua untuk melihat track record sang calon tersebut. Bukan saatnya lagi kita memilih pemimpin bak membeli kucing dalam karung.

Minggu, 16 Juni 2013

Jakarta Fair 2013, Pesta Rakyat atau Pebisniskah?

Dalam Jakarta Fair 1992 yang merupakan pelaksanaan Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta terakhir yang biasanya dilaksanakan di Monumen Nasional. Pelaksanaan Jakarta Fair yang selama ini dilakukan di Monas adalah hal yang tepat, mengapa? Keberadaan Monas yang merupakan monumen kebanggaan bagi seluruh bangsa dan rakyat Indonesia itu merupakan pesta ajang tahunan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan ekonomi kerakyatan kita. Namun sejalan dengan perkembangan ekonomi dan kepemimpinan yang ada di DKI Jaya, Pekan Raya Jakarta seolah telah kehilangan jati dirinya. Betapa tidak. Menurut sejarahwan Betawi Bang Ridwan Saidi dalam suatu dialog di teve swasta (15/06) bahwa pemindahan tempat pelaksanaan Jakarta Fair yang selama ini dilakukan di Monas dan sekarang di Jakarta International Expo (JIEX) Kemayoran adalah salah kaprah dan mencederai rasa keadilan di tengah masyarakat.
“Zaman Belanda saja, Jakarta Fair gratis untuk rakyat. Masa’ iya, setelah Indonesia merdeka malah harus membayar!” kata bang Ridwan yang asli Betawi itu dengan nada tinggi. Secara tidak langsung bang Ridwan yang akraba disapa ‘Babe’ ini merefleksikan protes keras terhadap pemerintah Indonesia c.q. Pemda DKI yang telah memberikan ‘kuasa’ kepada pihak swasta untuk mengelola pesta rakyat ini ke tangan pebisnis. Bukankah peruntukkan Jakarta Fair ini sejak zaman Soekarno untuk memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat menikmati hiburan gratis, berbelanja barang kebutuhan hasil produksi rakyat dengan harga terjangkau? Namun, saat ini Jakarta Fair seolah pesta yang ekslusif milik golongan ekonomi tertentu yang harus merogoh kocek sebesar Rp 30.000-an hanya untuk karcis masuknya saja. Ajang Jakarta Fair di Kemayoran itu lebih banyak didominasi oleh produsen otomotif, elektronik, property, perbankan dan industry makanan ringan (snack).
      “Jadi masyarakat ke sono (PRJ Kemayoran – red) hanya dijejali brosur mobil, perumahan, atau property saja. Pulangnya bawa chicki (makanan ringan yang bukan produk UKM  - red). Ini jelas bukan pesta rakyat!”, pungkas Bang Ridwan Saidi dengan nada gusar.
Revitalisasi Aset Pemda DKI
Menarik disimak kembali bahwa ada rencana gubernur Joko Wi untuk mendata ulang asset milik Pemda DKI yang selama ini merupakan wilayah publik. Salah satu yang akan dikembalikan ke habitatnya semula adalah keberadaan pantai yang selama ini justru ‘dikuasai’ pihak swasta dan dijadikan pusat rekreasi berbayar untuk rakyat. Padahal menurut orang nomor satu di DKI ini, semestinya pantai itu dikembalikan fungsinya sebagai prasarana untuk publik. Bahkan menurutnya DKI harus mempunyai ciri khas atau kota yang memiliki karakter. Kota yang tidak memiliki karakter justru akan kehilangan akar budaya dan identitasnya.
Di sisi lain menurut beberapa pengamat perkotaan bahwa hingga saat ini keberadaan Pemda DKI seolah teralienasi dengan pemerintah pusat. Padahal pemda DKI memiliki otonomi khusus untuk dapat mengelola wilayahnya dengan sebaik-baiknya. Persoalan pengelolaan tata ruang kota, manajemen transportasi publik, pengelolaan banjir atau sampah, merupakan hal-hal yang menjadi core business Pemda DKI. Hanya saja dengan kompleksitas permasalahan dan kedudukan sebagai ibukota negara RI -- membuat DKI syarat berbagai kepentingan tatkala Pemda DKI berusaha untuk menyelesaikan persoalan yang ada di wilayah mereka. Alhasil mobilitas dan otoritas Pemda DKI menjadi sedikit tergerus. Salah satu contoh yang menyolok tatkala pengelolaan tata ruang kota yang seharusnya menjadi domain Pemda DKI an sich, dalam pelaksanaannya justru menjadi ajang 'negosiasi' bagi pengusaha untuk dapat memperlancar dan memperluas bisnis mereka. Dengan demikian -- ada kesan bahwa pemilik modal yang berada di balik semua master plan kota DKI selama ini. Fakta menunjukkan bahwa berkurangnya lahan hijau di Jakarta -- salah satunya disebabkan karena daerah resapan air dan hijau telah disulap untuk digunakan oleh pemilik modal sebagai tempat membangun pusat perbelanjaan, apartemen, bahkan perumahan mewah.
Pekan Raya Jakarta merupakan sarana tahunan untuk menunjukkan kembali bahwa Pemda DKI memiliki daulat rakyat terhadap ajang pesta tahunan rakyat ini. Pemda DKI berhak secara mutlak untuk memilih dan menentukan apa dan dimana penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta dilakukan. Tujuannya jelas bahwa PRJ dipersembahkan oleh rakyat dan untuk rakyat. Adalah tidak benar terkesan pelaksanaan PRJ yang selama ini dilakukan di Kemayoran seolah-olah Pemda DKI sebagai 'pengikut' saja apa yang dimaui oleh pihak investor. Jakarta adalah milik semua komponen bangsa ini. Bukanlah milik sekelompok etnis tertentu atau sekelompok pengusaha. Dan Jakarta harus dikelola secara profesional oleh Pemda DKI.
Nasib JEIXPO Kemayoran 2014
Agar tidak terjadi kesan seolah-olah pelaksanaan PRJ di Kemayoran lebih canggih dibandingkan bila pelaksanaannya dilakukan di Monas, alangkah baiknya areal bekas PRJ Kemayoran khusus untuk kegiatan tahunn bertaraf internasional saja. Bila kota Bangkok ada International Automotive Show yang dilaksanakan setiap tahunnya, maka dengan fasilitas yang ada sekarang -- lahan JIEXPO Kemayoran tersebut dapat digunakan sebagai sarana promosi untuk produk otomotif terbesar di tanah air. Dengan demikian tidak ada lagi dikotomi antara PRJ yang dilaksanakan diluar Kemayoran yang terkesan tidak profesional atau canggih. Peruntukan ex PRJ Kemayoran dapat full business oriented karena memang didesain untuk komersial dan mencari untung. Sedangkan PRJ di Monas digunakan untuk UKM, Koperasi, dan Home Industry yang akan memperkenalkan aneka produk mereka kepada rakyat. Harapannya ke depan, semua UKM peserta PRJ Monas akan naik kelas menjadi pengusaha yang besar di masa yang akan datang. Tidak seperti saat ini yang terkesan peserta PRJ Kemayoran adalah pengusaha kuat dan canggih dan tidak sebanding dengan UKM. Terjadilah persandingan dan persaingan yang tidak fair antara pengusaha kuat dan belum kuat (UKM) di PRJ Kemayoran selama ini. Kita harapkan Joko Wi segera menentukan peruntukan JIEXPO Kemayoran khusus produk high tech dan pangsa pasarnya adalah konsumen ekonomi kelas atas dan pesertanya juga harus internasional. Sedangkan PRJ Monas adalah sarana bagi calon-calon intrepreneur baru bangsa ini untuk dapat berkiprah sebagai calon pengusaha kuat di masa yang akan datang.

Rabu, 12 Juni 2013

Lack of Infrastructure vs Low Cost Green Car (LCGC) Policy







Pemerintah akhirnya menyetujui merealisasikan insentif untuk pengembangan mobil murah dan ramah lingkungan (low cost and green car/LCGC). Sementara itu pendapat di masyarakatpun beragam. Ada yang setuju dengan kebijakan ini karena memudahkan rakyat yang berpenghasilan menengah ke bawah untuk dapat memiliki mobil dengan harga di bawah Rp 100 jutaan. Namun di sisi lain ada juga kekhawatiran khususnya warga DKI yang selama ini setiap hari didera kemacetan yang akut -- dengan kebijakan mobil murah ini akan memperparah kemacetan di DKI. Meskipun dari pihak pemerintah juga telah memberikan pernyataan bahwa penjualan LCGC ini 80 % dilakukan di luar Jabodetabek, hanya 20 % saja yang dipasarkan di dalam wilayah DKI. Tapi sekali lagi tidak ada jaminan para pemilik mobil murah tersebut tidak akan membawa mobilnya masuk wilayat DKI bukan? So, kebijakan ini setidaknya bakal menimbulkan permasalahan baru nantinya.

Seyogianyalah Pemerintah Pusat dan DKI khususnya untuk berpikir logis bahwa penyebab kemacetan akut yang selama ini dialami warga DKI karena volume jalan raya yang kabarnya hanya bertumbuh 0,01 % pertahunnya yang tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan bermotor yang bisa mencapai 24 %! Bisa dibayangkan bila tanpa ada kebijakan mobil murah saja, jalanan di DKI hanya bisa dipacu dengan kecepatan rata-rata 12 km/jam. Akan berapa lambat lagi kendaraan akan melaju di jalanan bila ada tambahan sekitar 10 juta kendaraan murah (LCGC) dari Jabodetabek? Apapun dasar dari pemikiran sebelum dikeluarkannya kebijakan LCGC ini merupakan keputusan yang tidak Smart, mengapa? Bukankah akal sehat kita justru mengatakan bahwa ketika pertumbuhan jalan dengan kendaraan ibarat langit dan bumi, eh..., malah diberikan kebijakan nambah volume macet di jalan raya dengan kebijakan mobil murah tersebut! Sebagaimana iklan Tukul Arwana di televisi -- bahwa kebijakan LCGC ini adalah sangat MENGHARUKAN!

Semestinya Pemerintah memprioritaskan untuk menambah volume jalan (arteri atau tol), atau moda transportasi masal. Dengan tambahan volume jalan yang baru saja (seandainya dicanangkan) -- belum tentu kemacetan yang ada sekarang dapat diatasi. Karena DKI adalah estalase negara Republik Indonesia, maka semua fasilitas dan sarana terbaik di negeri ini haruslah diadakan di DKI. Begitu juga dengan tingkat keselamatan dan kenyamanan bagi pengendara yang melintas. Bisa dibayangkan bagaimana penduduk DKI yang sudah penat dan lelah menghadapi kemacetan selama ini, justru akan dibebani penderitaan yang lebih dahysat lagi apabila kebijakan mobil murah ini jadi dijalankan. Penyelesaian dengan program LCGC ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya mengambil jalan pintas (shortcut) saja terhadap ketidakmampuan pemerintah menambah infrastruktur jalan yang sudah sangat minim tersebut. Adalah perlu dipertimbangkan adanya rencana kementerian BUMN yang merencanakan untuk mengeluarkan kebijakan terhadap industri otomotif di Indonesia yang harus memproduksi kendaraan roda empat dengan teknologi mobil listrik (electric car) atau hybrid car. Dengan kebijakan ini, setidaknya negara ini telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan memberikan tantangan bagi produsen otomotif yang sebagian besar dikuasai asing untuk memproduksi kendaraan yang high tech tapi dengan biaya murah. Dan untuk pelaksanaan proyek electric atau hybrid car ini, pihak produsen (asing) yang sudah lama menjajah pasar negeri ini dapat bekerjasama dengan UKM atau SMK yang saat ini sudah terbukti membuat mobil sendiri (Esemka). Wahai para petinggi negeri ini, tolong pikirkan solusi terbaik bagi anak negeri untuk jangka panjang, dan jangan hanya berpikir untuk tahun ini saja (2013) atau tahun depan saja (2014). Setelah itu, rakyat dan generasi muda yang akan memikul bebanya....

Proud to serve the nation









Kejadian insiden di KJRI Jeddah (10/06) adalah ironi dan memalukan. Media Indonesia mengangkat insiden tersebut sebagai hal yang memalukan bangsa (12/06). Seperti biasa, pejabat pemerintah saling tuding dan menyalahkan satu sama lainnya. Namun di balik semua tudingan dan saling membela diri masing-masing pihak, faktanya bangsa ini telah mencoreng nama bangsanya sendiri di negeri orang. Dari berbagai informasi yang dihimpun dari berbagai pihak di media, didapat benang merah bahwa faktor penyebab terjadinya insiden pembakaran di depan gedung KJRI Jeddah tersebut karena kurangnya antisipasi pihak KJRI terhadap membludaknya para TKI/TKW yang ada di negeri Saudi Arabia tersebut yang ingin segera mendapatkan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor). SPLP tersebut sangat mereka butuhkan karena pemerintah Arab Saudi sedang memberlakukan pemutihan bagi warga pendatang untuk diberikan waktu mengurus SPLP. Bila tenggat pemutihan tersebut terlewati, maka sanksi berat bakal diterima oleh warga negara Indonesia yang termasuk kategori over stay di negara tersebut. Namun akibat kelalaian mengurus kepentingan warga sendiri di negeri orang tersebut, terjadilah insiden yang memalukan bangsa tersebut. Penyebab insiden tersebut disinyalir karena pejabat yang mengurus SPLP termasuk kewalahan dalam melayani warga yang datang di kantor tersebut.Mengapa dikatakan kurang antisipatif? Sebab, berdasarkan informasi yang didapat dari pejabat terkait di sana, bahwa kedatangan TKI/TKW yang biasanya mengurus administrasi di KJRI tersebut berkisar 1000-2500 orang perharinya. Sedangkan saat kejadian insiden berlangsung, peserta yang datang diperkirakan mencapai 10.000- 12.500 orang! Dengan kemampuan SDM yang sangat terbatas dan tenggat waktu yang singkat inilah yang diperkirakan menjadi penyebab utama kejadian tersebut.

Hal yang perlu digaris bawahi bahwa kejadian tersebut merupakan refleksi dari buruknya kinerja aparat pemerintah kita yang khususnya melayani pelayanan publik (SPLP). Celakanya, kejadian yang menunjukkan ketidak profesionalan tersebut terjadi di negeri orang (Arab Saudi) yang sedang menata ulang sistem administrasi bagi kaum pendatang yang bekerja di negeri kaya minyak tersebut. Mestinya sejak dini para pejabat di KJRI tersebut sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Bukankah selama ini ada event tahunan yang dinamakan jemaah haji Indonesia yang setiap tahun berjumlah sekitar 250.000 orang juga harus dilayani dengan sebaik mungkin? Mengapa untuk mengurus yang 12.500 orang saja kita seolah tidak memiliki kemampuan? Bukankah selama musim haji banyak sekali melibatkan tenaga musiman (temus) yang terdiri dari mahasiswa atau pekerja yang dihire untuk masa pelaksanaan haji? Toch, semuanya dapat berjalan lancar meskipun yang dilayani dalam skala yang lebih besar. Yang perlu mendapat perhatian dengan kejadian yang memalukan ini adalah bagaimana setiap orang yang notabene adalah pegawai negeri (KBRI/KJRI) tersebut, diberikan pembekalan mental yang cukup untuk dapat melayani bangsanya sendiri di negeri orang dengan sebaik mungkin.

Mental bangga melayani bangsa (proud to serve the nation) harusnya dimiliki lebih oleh orang-orang Indonesia yang nota bene adalah pejabat atau pegawai negeri yang telah diberikan mandat untuk bekerja di kedutaan atau konsulat kita di luar negeri. Dengan semangat dan jiwa melayani segenap bangsa (terutama TKI/TKW kita yang selama ini sudah hidup susah di negeri orang -- merupakan kehormatan sekaligus kebanggaan bila Anda semua pegawai negeri yang telah memberikan pelayanan terbaik bagi warga negara kita dimanapun berada, apalagi yang berada di luar negeri. Adalah kesalahan yang sangat tidak dapat dimaaftkan bila masih ada mental bukan untuk melayani bangsa bagi siapa saja pejabat atau pegawai negeri yang telah diberikan tugas untuk melayani anak bangsa, justru menggunakan segala upaya untuk mengeruk keuntungan pribadi atau golongan -- saat ada ribuan warga negara Indonesia yang justru sangat mengharapkan perlindungan dan pelayanan terbaik di negeri orang, malah melakukan hal yang sebaliknya. Ke depan, perlu dipikirkan pola rekruitmen dan pelatihan yang baik bagi siapa saja pegawai negeri yang akan ditempatkan di perwakilan kita di luar negeri (KBRI/KJRI) agar dapat memahami dengan sepenuhnya bahwa keberadaan mereka bekerja di luar negeri tersebut dalam rangka serve the nation. Dan yang lebih penting lagi adanya rasa kebanggaan dapat melaksanakan tugas melayani anak bangsa dimana saja berada, apalagi saat mereka berada di luar negeri.

Minggu, 09 Juni 2013

The Strongest Man (In Memoriam Taufiq Kiemas) in Indonesia








Kalau Anda ingin siapa orang terkuat saat ini di Indonesia? Dia adalah Dr (HC) Taufiq Kiemas yang telah meninggal dunia pukul 18.05 BBWI tanggal 08 Juni 2013. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Saat Megawati Soekarno Putri menjadi presiden RI (2001-2004) lalu, sempat tersiar kabar bahwa almarhum Taufiq Kiemas mengumpulkan seluruh anggota keluarganya dan mengatakan bahwa saat itu (ketika Megawati menjadi Presiden RI - red); saatnya bukan untuk mencari puncak kekuasaan lagi, tapi memikirkan bagaimana caranya untuk setelah menjabat menjadi Presiden -- dapat menjalankan tugas kepresidenan secara baik-baik. Dan tidak banyak pula orang tahu almarhum Taufiq Kiemas merupakan penggagas dan penggerak dihidupkannya kembali nilai-nilai luhur kebangsaan yang selama ini ditinggalkan dan mungkin sudah dilupakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Bahkan dalam editorial Media Indonesia hari ini (10/06) sempat dibahas tentang warisan Taufiq Kiemas yang dikenal sebagai 4 (empat) pilar kebangsaan yakni, Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika -- agar dapat dihidupkan kembali dalam kehidupan keseharian kita sebagai anak bangsa.

Dari banyak komentar para sahabat beliau, kebanyakan mereka mengatakan bahwa Taufiq Kiemas merupakan politikus lintas batas. Kemampuan komunikasi dan negosiasinya melampaui jarak apapun (partai, agama, bahkan ideologi seseorang). Hingga saat ini belum ada komentar dari pengamat politik manapun yang mengkait-kaitkan posisi Taufiq Kiemas yang saat ini masih menjabat Ketua MPR-RI Periode 2009-2014 dengan posisi sebagai suami mantan presiden atau menantu presiden pertama RI tersebut. Mengapa hal ini tidak terjadi? Keberadaan seorang Taufiq Kiemas di ajang perpolitikan Indonesia, bukanlah sebagai politikus dadakan atau besar karena media, beliau dibesarkan dari keluarga pejuan dan orang tuanya pernah menjadi pengurus salah satu partai terbesar di masa lalu (Masyumi). Darah pejuang yang melekat dalam diri beliau -- menjadikan beliau politikus yang paripurna. Menurut Budiman Sudjatmiko, kata-kata 'politikus paripurna' tersebut muncul karena seorang Taufiq Kiemas menjalani hidup sebagai politisi karena kompetensi yang ia miliki. Selagi mahasiswa, beliau adalah aktivis GMNI dan kabarnya pernah menjadi anggota HMI. Setelah menyelesaikan kuliahnya, beliau menjadi politikus di Partai PDI (kini menjadi PDIP). Tahun 2009 beliau dilantik menjadi ketua MPR-RI sampai akhir masa jabatan 2014 nanti. Namun ternyata Allah telah berkehendak untuk kembali keharibaan Sang Khalik, Sabtu, 08 Juni 2013. Sang Orang Terkuat (The Strongest Man) di Indonesia itu wafat dalam usia 70 tahun di Singapura.

Mengapa dikatakan sebagai the strongest man in Indonesia? Sejarah mencatat, bahwa baru kali inilah sepasang suami isteri pernah menduduki jabatan tinggi dan tertinggi negara. Megawati Soekarno Puteri sebagai isteri Taufiq Kiemas pernah menduduki jabataban sebagai Presiden ke-5 (lima) di Republik ini. Taufiq Kiemas sebagai suami Megawati, menjabat sebagai Ketua MPR-RI yang merupakan lembaga tertinggi di Indonesia. Jadi, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Taufiq Kiemas merupakan orang terkuat Indonesia saat ini karena disamping sebagai kepala rumah tangga (suami Megawati Soekarno Puteri yang mantan presiden itu), beliau juga menjadi ketua lembaga tertinggi di negeri ini (MPR-RI - red). Legacy atau warisan apa yang dapat disumbangkan oleh pasangan suami-isteri ini terhadap bangsa? Selain empat pilar yang telah dibukukan, Taufiq Kiemas dan isterinya (Megawati Soekarno Puteri) dapat menjadi penyambung lidah rakyat dan penyambung silaturahmi antar elit politik di negeri ini. Taufiq Kiemas telah membuktikan bahwa tatkala mertuanya (Soekarno) merupakan penyambung lidah rakyat, maka bung Taufiq Kiemas adalah penyambung silaturahmi antar anak bangsa negeri ini. Selamat jalan negarawanku, Taufiq Kiemas. Semoga Allah memberikan tempat terbaik bagimu di sisi-Nya. Amin...

Burn the Money Policy




Tarik ulur rencana Pemerintah untuk mengumumkan kenaikan harga BBM di awal bulan Juli 2013 seakan menjadi ‘ritual’ yang membosankan untuk diikuti. Betapa tidak, hampir disetiap rencana kenaikan BBM tersebut selalu dibarengi dengan unjuk  rasa kalangan mahasiswa dan masyarakat yang menolak kenaikan tersebut. Pemerintah dan DPR-pun terkesan ragu-ragu untuk melakukan kenaikan BBM yang sudah pasti menimbulkan efek berantai kenaikan harga barang-barang terutama sembako dan bahan baku industry. Kalangan pekerja akan menjerit karena dampaknya adalah pengeluaran biaya hidup akan meningkat dan biasanya tidak paralel dengan kenaikan upah yang diterima. Kalangan pengusahapun akan dipusingkan dengan dampak kenaikan kenaikan overhead industri mereka. So, sekecil apapun kenaikan BBM akan memberikan dampak yang negative bagi rakyat dan pihak pengusaha tentunya. Lalu bijakkah rencana pemerintah itu yang sudah dapat dipastikan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Apakah pemerintah sudah tidak memiliki creative thinking untuk membuat keputusan yang lebih elegan dan memberikan kemaslahatan bersama?
Ada suatu pendapat umum (common sense) yang sulit untuk dibantah bahwa ketika pemerintah ingin mengurangi subsidi BBM yang konon kabarnya untuk tahun 2013 ini saja sudah harus mengeluarkan dana sebesar Rp 250.000 Milyar (250 Triliun Rupiah!) Uang sebesar itu akan hangus dibakar (burn the money) saja. Mengapa? Ketika pemerintah tidak menaikkan BBM, konsekwensinya adalah harus disiapkan dana dari APBN yang dianggarkan untuk digelontorkan bagi menutupi biaya subsidi tersebut. Celakanya, subsidi yang diberikan pemerintah saat ini diibaratkan pukat harimau alias trawl di tengah lautan – yang tidak bisa membedakan lagi ikan yang mana yang harus dijaring. Sama halnya dengan subsidi BBM yang telah diberikan selama ini. Dari sisi ekonomi sudah jelas membebani dan membiarkan  uang rakyat tersebut seolah-olah dibakar. Sebagaimana judul artikel di atas bahwa kebijakan pemerintah selama ini sama saja dengan kebijakan membakar uang (burn the money policy). Betapa tidak, penggunaan BBM merupakan keniscayaan bagi seluruh rakyat. Hampir tidak ada kegiatan rutin atau sector ekonomi manapun yang tidak bergantung pada energy yang membutuhkan BBM. Di sisi lain ketika kenaikan BBM dilakukan, pemerintah sadar bahwa dampaknya pastilah sangat dirasakan oleh kalangan rakyat ekonomi menengah ke bawah. Kemudian untuk mengurangi beban rakyat tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan jaring pengaman social atau bantuan tunai langsung (BLT) yang disampaikan langsung kepada rakyat per tri wulannya. Kebijakan ini jelas tidak efektif dan tidak smart. Kenapa tidak dilakukan reverse thinking saja. Bukankah ketika BBM dinaikkan justru akan meningkatkan tingkat inflasi dan perlu mengeluarkan biaya yang tidak perlu (subsidi kepada rakyat miskin dalam bentuk BLT). Bukankah selama ini kebijakan subsidi BBM tidak mendidik rakyat untuk lebih berhemat bagi rakyat kita. Ketika kita berbicara berhemat, mestinya tidak ada pengecualian bagi siapa saja. Sesungguh aneh kiranya yang harus  berhemat justru rakyat berpenghasilan kecil saja, sementara rakyat yang tingkat ekonominya lebih tinggi ‘tidak mesti’ berhemat. Lho, bukankah dengan menikmati subsidi BBM oleh golongan ekonomi menengah ke atas malah menunjukkan pembelajaran yang salah? Mestinya orang susah tidak usah disuruh berhemat, karena sudah konsekwensi. Namun bagi orang kaya, berhemat adalah MESTI. Bila tidak mau berhemat ,  harus siap membayar lebih mahal. Jadi pilihan bagi orang kaya membeli pertamax dan rakyat miskin membeli BBM non subsidi.
Belajar dari era awal berdirinya pemerintah reformasi, dari BJ Habibie hingga Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (SBY – Budiono) saat ini, bahwa kebijakan menaikkan BBM merupakan keniscayaan. Bukankah BBM merupakan bahan yang tidak bisa diperbaharui (unrenewable energy). Sifat scarcity yang menyebabkan BBM semakin hari semakin sulit dicari dan mahal. Jadi semestinya pemerintah mencanangkan budaya hemat energy kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali. Sejalan dengan ini pemeritah juga memberikan alternative cerdas untuk menyediakan fasilitas angkutan umum masal yang bisa meringankan beban masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Karena dana subsidi mencapai 250.000 Milyar yang bisa digunakan bagi biaya research & development (R&D) untuk mengurangi konsumsi fuels energy dengan energy yang murah dan ramah lingkungan (green energy). Kebijakan menyediakan angkutan masal yang murah tersebut harus juga dibarengi dengan pembangunan infrakstruktur jalan lebih baik. Pendek kata dari dana Rp 250 Triliun tersebut dapat digunakan sebanyak 30% untuk perbaikan dan penambahan infrastruktur jalan raya atau tol, 30% untuk riset green energy atau alternative energy, 30 % untuk pemberian modal kerja atau pelatihan bagi UKM. Nah, hanya 10% dana subsidi tersebut digunakan bagi benar-benar mereka kaum dhuafa (yang benar-benar miskin dan tidak mampu). Bukankah untuk rencana membangun deep tunnel di DKI saja butuh dana sebesar 17 Triliun. Dengan dana sebesar 30 % dari total subsidi BBM, setiap tahunnya bangsa ini akan menikmati perbaikan dan penambahan infrastruktur yang baru dan modern. Setiap tahun akan banyak tumbuh calon pengusaha baru dan hasil penelitian energy terbarukan bagi peneliti-peneliti muda bangsa ini. Mengapa pak Presiden tidak memulai dari sekarang (tahun 2013). Jadikan tahun 2013 sebagai tahun pintu masuk untuk menjadikan bangsa Indonesia bebas Subsidi BBM, dan bukan sebagai tahun politik yang justru bisa menjadikan subisidi BMM menjadi sia-sia…

Minggu, 02 Juni 2013

Agenda Gubernur Terpilih Sumsel 2013; Adakan Tour de Ranau 2015









Ada yang menarik tatkala pembukaan Tour de Singkarak (TdS) 2013 yang dibuka oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Marie Elka Pangestu di Monumen Jam Gadang Bukittinggi Minggu kemarin (02/06). Mengapa dikatakan menarik? Even olah raga balap sepeda yang selama ini hanya berkutat masalah olah raga an sich -- sekarang sudah 'meluas'. Kegiatan olah raga bukan hanya sekedar ajang memperebutkan medali juara bagi pemenangnya saja, tetapi ajang melihat sejauh mana infrastruktur (jalan terutama - red) yang ada di daerah tempat diselenggarakannya even kejuarana balap sepeda tersebut. Persiapan tuan rumah Sumatera Barat dalam kegiatan ini sekali lagi bukan sekedar melaksanakan even olah raga saja, tetapi lebih dari itu. Kehadiran para atlet tim balap sepeda yang didominasi oleh tim negara asing (15 tim) dari 21 tim yang berlaga di Tour de Singkarak tahun ini. Kehadiran mereka tentunya akan dimulai dari entry point Minangkabau International Airport, kemudian mereka akan menginap di hotel-hotel, menikmati sajian kuliner khas Sumatera Barat, dan terakhir akan membeli atau membawa souvenir khas daerah masing-masing yang dilalui oleh para pembalap profesional dunia tersebut.

Minggu malam (02/06) para kandidat gubernur Sumatera Selatan periode 2013-2018 telah melakukan debat kandidat yang disiarkan live (langsung) oleh salah satu teve nasional. Minggu lalu ada stasiun teve nasional juga yang melakukan hal yang sama. Sayangnya para kontestan debat ini tidak secara spesifik menjelaskan program-program unggulan bila seandainya mereka menjadi Sumsel 01; tapi lebih banyak menanggapi hal-hal yang standar saja alias kurang greget sama sekali. Sebagai orang Sumsel, saya sedikit iri melihat pelaksanaan Tour de Singkarak 2013 yang dilaksanakan oleh Sumatera Barat tanggal 06 - 09 Juni 2013 tersebut. Mengapa? Kesanggupan Sumatera Barat untuk menjadi tuan rumah Tds 2013 ini bukanlah tanpa persiapan yang panjang. Faktor utama yang tidak bisa dibantah bahwa infrastruktur jalan di Sumatera Barat ini relatif lebih baik dibandingkan provinsi-provinsi tetangganya. Bahkan menurut Marie Elka Pangestu, bahwa ada faktor plus yang dimiliki Sumbar dalam kegiatan kali ini adalah faktor antusiasme penduduk untuk menyukseskan acara bertaraf internasional ini. Dengan kegiatan ini secara tidak langsung pemerintah Sumatera Barat ingin menunjukkan bahwa infrastruktur jalan, fasilitas hotel, tempat jajanan wisata kuliner dan budaya, serta masyarakatnya sangat mendukung acara ini baik bagi wisatawan domestik maupun luar negeri.

Nah, bagi siapa saja yang akan terpilih menjadi Gubernur Sumsel periode 2013-2018 yang pencoblosannya tanggal 06 Juni 2013 nanti, mohon keberhasilan Sumatera Barat melaksanakan Tour de Singkarak -- dapat menjadi inspirasi bagi Sumatera Selatan yang merupakan Provinsi Terkaya No 5 di Indonesia untuk merancang pelaksanaan Tour de Ranau 2015. Namun persiapan ke arah sana tidaklah mudah. Pemkab dan Pemkot dan Gubernur Sumsel harus menyatukan pikiran dan langkah yang sama untuk segera membenahi infrastruktur jalan yang ada di lingkungan Sumsel yang kelak akan dilalui oleh para pebalap Tour de Ranau 2015. Pelaksanaan start awal dapat dilakukan di kota sejuk Pagaralam dan berakhir di Benteng Kuto Besak atau Stadion Jaka Baring Palembang. Hal ini bukanlah mimpi bila kita ingin mewujudkannya! Selamat membenahi infrastruktur di Sumatera Selatan....!

Rabu, 29 Mei 2013

Kebiasaan Membeli Serba Bekas


Beberapa hari lalu saya sempat geli membaca berita bahwa Indonesia bakal membeli (lagi) tank-tank bekas milik AD Jerman. Mengapa saya harus mengatakan 'geli' ketika membaca berita itu? Terus-terang, bahwa perkara beli dan membeli ada persoalan uang. Ada harga, adalah pula rupa. Bagus barangnya, bagus pula harganya. Namun ketika angkatan bersenjata negara akan membeli perlengkapan perang seperti tank bekas tersebut, masih juga diembel-embeli  'boleh dibeli' asalkan jangan digunakan untuk melanggar HAM. Membeli barang bekas merupakan pilihan selain harus membeli secara cash. Tapi mengapa harus membeli barang bekas, seandainya ada pilihan barang baru yang juga bisa dibayar secara kredit. Hal ini perlu disampaikan  di sini karena sudah menjadi joke bahwa kebiasaan membeli barang bekas ini bisa menurunkan kredibilitas bangsa kita. Sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan kecelakaan di laut atau udara, salah satunya disebabkan oleh pesawat atau kapal yang dibeli adalah bekas. Cobalah diperhatikan, berapa banyak pesawat tempur, pesawat penumpang, kapal perang, ferry, bahkan trukpun kita masih hobi membeli yang bekas.

Substansi agar kebiasaan membeli barang bekas tadi  dihentikan adalah bagaimana barang yang kita beli tersebut selain memiliki fungsi ekonomis, barang juga memiliki fungsi self-esteem sebagai bangsa. Dapat dibayangkan ketika armada perang Malaysia atau Singapura sandar berdampingan dengan kapal perang Indonesia, dari sisi visual saja sudah dapat dibayangkan bahwa performance barang baru dan bekas akan kelihatan. Belum lagi faktor persenjataan yang dimilikinya. Memang sangat aneh cara berpikir bangsa ini, tatkala membeli kapal perang bekas, tetapi untuk persenjataan dan perangkat komunikasinya sudah 'diremajakan'. Nah, kalau biaya membeli bekas saja sudah begitu besar, kenapa pula harus pake biaya renovasi yang diyakini juga akan membengkak. Bisa jadi kebiasaan membeli barang bekas tersebut 'disinyalir' ada 'udang di balik batu' alias syarat kepentingan yang kemungkinan merugikan bangsa.

Bahkan ada ide juga bahwa daripada kita repot-repot menyelenggarakan pemilihan presiden yang banyak menguras uang dan energi bangsa, apa salahnya kita cari saja pemimpin bekas. Cukup kita kontrak bekas pemimpin dari negara yang sudah maju, misalnya Amerika atau Jepang. Bila dalam waktu 100 hari tidak ada program kerja yang jelas untuk memajukan bangsa, kontraknya dapat kita putus. Meskipun hal ini bertentangan dengan UUD kita, tapi substansinya bahwa hal tersebut sejalan dengan kebiasaan pemimpin negeri ini untuk membeli segala sesuatu yang serta bekas. Yang harus diubah adalah mindset bagaimana kebiasaan membeli yang bekas menjadi membeli yang baru dan lebih bermutu dari negara lain. Bukankah pihak industri dalam negeri (PINDAD) telah berhasil membuat panser Anoa yang terkenal itu. Pesawat dan kapal patroli cepat versi militerpun kita sudah produksi. Jadi, daripada repot-repot membeli barang bekas, kembangkanlah potensi anak negeri untuk melakukan riset agar dapat memproduksi barang-barang yang bisa menggantikan kebiasaan membeli dari negara yang lain dan bekas lagi...

Rabu, 22 Mei 2013

Un-confidence Leader

 

Salah satu yang menjadi perhatian para kandidat pemimpin public seperti calon walikota/bupati,gubernur, bahkan presiden sekalipun adalah kampanye. Dalam kampanye mereka menggunakan metode langsung dan tidak langsung. Kebanyakan dari calon pemimpin tersebut menggunakan metode tidak langsung. Cukup bikin spanduk atau baliho, iklan di media cetak atau elektronik. Kampanye tidak langsung ini merupakan 'paket hemat' karena tidak perlu menguras tenaga atau pikiran yang berlebihan. Tidak perlu cuap-cuap mengutarakan visi dan misi kepada calon pemilihnya, juga tidak bakal dikomplen oleh masyarakat. Si calon pemimpin tersebut cukup bayar biaya cetak atau iklan yang jumlahnya cukup besar. Besaran biaya seorang calon walikota/bupati atau gubernur tersebut bisa mencapai miliaran rupiah. Bahkan menurut catatan Mendagri Gemawan Fauzi – untuk level provinsi tertentu di tanah air – dalam pemilihan gubernur, angka biaya pelenggaraan pemili han kepala daerah (pilkada) bisa mencapai 0,5 Triliun Rupiah! Tapi ada juga informasi yang cukup mengejutkan dari seorang Joko Wi yang sekarang gubernur DKI yang dalam suatu media menjelaskan bahwa dalam pilgub DKI tersebut ia hanya menghabiskan uang dengan kisaran 4 (empat) milyar Rupiah (?)

Yang menarik juga untuk dicermati bahwa hampir tidak ada calon pemimpin publik itu yang tidak memasang spanduk atau baliho dalam kampanye mereka. Isi dari spanduk tersebut minimal foto calon pasangan dan yel-yel atau motto mereka. Tapi ada spanduk atau baliho para calon pemimpin tersebut yang terkesan kurang pede alias un-confidence. Mau tahu? Cobalah perhatikan – kebanyakan calon pemimpin daearah itu (juga yang mencalonkan diri sebagai legislator/caleg) yang dibekingi (tepatnya background) iklan mereka dengan ketua partai mereka. Lucunya lagi, saking tidak pedenya mereka itu (calon legislator atau pemimpin publik) yang seolah-olah 'mengkerdilkan' diri mereka sendiri. Aneh bukan, masa tampilan iklan di spanduk, baliho, atau teve – justru yang menonjol atau tertonjolkan malah beking atau background mereka yang notabene bukanlah orang yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah atau legislative. Justru dengan iklan seperti itu menunjukkan betapa tidak percaya dirinya sang calon dewan terhormat atau walikota/bupati dan gubernur tersebut. Ini memberi kesan kepada rakyat yang bakal memilihnya bahwa seolah-olah sang calon tersebut memiliki kualitas dan kapasitas seperti orang yang ada di samping ada di belakang (bahkan di depan mereka - red). Kondisi seperti ini tidak perlu terjadi apabila sang calon tersebut memiliki kepercayaan diri dengan lebih menonjolkan kualitas pikir dan konsep, bukan mengandalkan tampilan atau visualisasi saja. Lebih baik lagi bila calon pejabat publik tersebut diadu konsep mereka dalam debat terbuka yang disiarkan langsung oleh media televisi lokal atau nasional. Dengan debat pubik tersebut akan dapat diketahui hal-hal sebagai berikut;

  1. Tingkat pemahaman akan konsep atau program yang akan dilaksanakan apabila ybs terpilih menjadi legislator atau pejabat publik lainnya;
  2. Kecerdasan emosional tatkala diberikan pertanyaan atau kritikan oleh nara sumber atau peserta debat;
  3. Mengetahui rekam jejak tentang kejujuran dalam menjalankan pekerjaan selama ini (apakah pengusaha, pengacara, atau pejabat yang masih memegang jabatan di pemerintahan), termasuk juga harta kekayaan yang dimilikinya;
  4. Mengetahui kemampuan sang calon untuk melihat persoalan real yang ada dalam jabatan yang akan diembannya kelak dan gambaran apa saja yang bisa dilakukan (bukan dibicarakan saja - red) selama kurun waktu memangku jabatan tersebut;
  5. Terakhir, bagaimanakah sikap ia seandainya ia TERPILIH atau TIDAK TERPILIH dalam jabatan yang akan diperebutkan tersebut. Jawaban ini yang biasanya merupakan closing statement bagi para kandidat, setidaknya akan menjadi klimaks kepada siapa suara rakyat pemilih itu akan diberikan.
Pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang bisa mengeksplorasi potensi komunikasi, menjaga empati atas persoalan yang tengah dihadapi rakyat, mendorong terciptanya kemampuan setiap orang untuk dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri masing-masing yang dapat difasilitasi oleh manajerial pemimpinnya dengan mementingkan kebersamaan dalam kemajuan. Jadi hindari segala sesuatu yang hanya menampilkan cangkangnya saja (shield of visualization) atau berusaha untuk menyembunyikan ketidakmampuannya dengan memberikan data atau penjelasan yang tidak match dengan kondisi yang sebenarnya. Meskipun kita hanya beberapa menit di dalam bilik suara untuk menentukan siapa yang kelak akan menjadi pemimpin kita di masa depan, namun kesalahan Anda tersebut akan mengakibatkan kita atau rakyat akan menderita ditahun-tahun masa kepemimpinannya. Semoga hal ini tidak terjadi.

Minggu, 19 Mei 2013

National Program for Safety Driving


Persoalan geng motor yang marak terjadi di tengah masyarakat saat ini bukanlah berita baru. Dengan tertangkapnya komandan geng motor yang menjadi the most public enemy people yakni Klewang, setidaknya membuat masyarakat dan aparat kepolisian sadar akan bahaya pembiaran berkembangnya geng motor itu di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini hampir saat jam sibuk, ada beberapa stasiun teve swasta yang menayangkan secara langsung (live) tentang kondisi terkini suasana lalu-lintas di kota-kota besar Indonesia. Dalam tayangan berdurasi sekian menit tersebut terlihat bagaimana kemacetan atau suasana di persimpangan atau jalan-jalan protokol yang dipenuhi oleh sepeda motor dan kendaraan roda empat. Sang reporter menjelaskan tingkat kemacetan yang ada, apa penyebabnya, dan apa-apa saja yang harus dilakukan bila melewati jalanan di kawasan yang tertangkap kamera CCTV tersebut.

Saat ini -- satu tahun menjelang pilpres 2014; alangkah baiknya bila para calon presiden tersebut berlomba-lomba untuk memasang iklan di surat kabar atau media elektronik untuk mendukung kampanye Polri yang sering disampaikan oleh reporter cantik di NTMC yang di akhir laporan langsungnya selalu berkata; " ... jadikan keselamatan sebagai kebutuhan...!" Pemimpin yang berani beriklan atau berkampanye untuk hal-hal yang nyata dan berguna seperti kampanye untuk selalu mematuhi peraturan berlalu-lintas,mestinya menjadi tema yang cukup dilirik. Meskipun tidak se-seksi bila berkampanye dengan program kerja seandainya terpilih menjadi presiden, dengan kampanye mendukung motto menjadikan keselamatan sebagai kebutuhan tersebut akan menjadikan sang calon tersebut menanam benih-benih kesadaran kepada masyarakat, terutama generasi muda untuk selalu memperhatikan faktor keselamatan baik terhadap kendaraan, diri sendiri, maupun keselamatan orang lain. Kampanye yang efektif berikutnya adalah mendatangi sekolah sekolah (mulai dari Play Group/TK, SD hingga SMU bahkan Perguruan Tinggi) untuk secara berkala melakukan sosialisasi tentang perlunya mematuhi peraturan berlalu lintas. Pihak Dinas Pendidikan Nasional juga memberikan catatan bagi sekolah yang mengawasi secara ketat bagi siswa/siswi mereka sewaktu mereka berada di sekolah yang menggunakan sepeda motor atau mobil. Pihak sekolah akan melakukan sidak terhadap pemilikan SIM atau perlengkapan standar keselamatan (helm, safety belt, dll) sehingga dapat mengelimir potensi bahaya kecelakaan di jalan raya.

Selanjutnya pihak pemkot/pemkab, pemprov, serta pemerintah pusat untuk memasukkan salah satu penilaian sebagai provinsi terbaik dalam melaksanakan penerapan peraturan berlalu-lintas yang baik dan benar. Program ini akan sama prestige-nya dengan penganugerahan tokoh lingkungan hidup atau award lainnya yang sudah ada saat ini. Ending dari award tentang kepatuhan mentaati aturan berlalu lintas ini merupakan sarana untuk menumbuhkan kesadaran nasional untuk menjadikan keselamatan sebagai kebutuhan. Insya Allah bila program ini dilakukan, maka berita tentang keberingasan geng motor atau Klewang-pun akan menjadi berita terakhir yang beredar di tengah masyarakat kita.