Menjadi seorang yang memegang janji atau commitment tidaklah mudah. Seorang bung Hatta telah menunjukkan komitmennya tatkala harus menjalani hukuman dari sang kakek dengan harus berdiri di bawah pohon karena suatu kesalahan, dilakoninya tatkala beliau baru berusia 6 tahun. Saat ini sangat sulit untuk mencari seseorang pemimpin yang komit dengan apa yang pernah ia janjikan. Kalaupun ada, itu hanya sebatas ucapan di mulut atau kampanye di media surat kabar atau elektronik. Yang miris kita lihat sekarang bahwa komitmen para pemimpin negeri ini masih dilatarbelakangi oleh aji mumpung. Mumpung masih menjabat, mumpung masih mendapatkan fasilitas dari negara, mumpung masih tenar di masyarakat. Lihatlah berita di surat kabar atau media elektronik yang mensinyalir para pejabat publik (yang nota bene adalah pejabat ekskutif) yang ketika masih menjabat, dengan dalih hak dan kepentingan rakyat -- akhirnya menggunakan aji mumpung mereka dengan menggunakan politik 2 (dua) kaki. Dengan kata lain, saat ia masih memiliki tanggung jawab di lembaga ekskutif, ia juga memasang kuda-kuda untuk menjadi pejabat legislatif (anggota dewan) di lembaga DPR. Atau kita lihat betapa beberapa orang pemangku jabatan yang masih bertanggungjawab sebagai kepala daerah (bupati/walikota atau gubernur) di daerah masing-masing, mencalonkan diri di daerah lain dengan jabatan yang lebih tinggi lagi. Sepintas lalu hal ini tidak ada persoalan. Toch secara aturan para pejabat yang masih menjabat tersebut dapat mengambil cuti diluar tanggungan negara. Yang menjadi persoalan apakah etis dan bisa menjadi jaminan tatkala seseorang bupati/walikota atau gubernur yang mengikuti pertarungan pemilihan kepala daerah sebagai bupati/walikota, gubernur, bahkan seorang presiden sekalipun!
Adalah hal yang tidak etis tatkala seorang pejabat setingkat walikota/bupati atau gubernur yang ketika diambil sumpahnya untuk memegang amanah sebagai kepala daerah di masing-masing daerah yang harus mencurahkan tenaga dan pikiran mereka untuk membangun dan bertanggung jawab atas amanah yang diembankan di pundak mereka selama 4 (empat) atau 5 (lima) tahun, ternyata karena melihat peluang untuk bisa menduduki jabatan publik yang lebih besar lagi, harus ikut bertarung dengan meninggalkan jabatan yang diembannya sekarang? Dalam pilgub DKI tahun 2012 lalu, setidaknya ada 2 (dua) orang pejabat publik setingkat walikota dan gubernur yang harus meninggalkan daerahnya masing-masing untuk mengadu 'peruntungan' di ibu kota. Disinyalir karena sekali lagi ada 'peluang' maka gubernur DKI yang baru beberapa bulan diembannya untuk menjabat jabatan yang lebih tinggi lagi (Presiden), maka sang gubernur tersebut seolah-olah diberkan 'kartu hijau' untuk nyapres pada pilpres 2014 nanti. Alasan yang dipakai adalah karena ybs dianggap memiliki prestasi karena dalam waktu yang 'singkat' telah 'mampu' membenahi Jakarta! Tidak ada yang salah dengan adanya peluang atau kesempatan yang tentunya akan diambil atau dimanfaatkan oleh siapapun untuk bisa meraihnya. Namun yang menjadi pertanyaan di benak kita adalah seberapa besar komitmen dari setiap pejabat publik di negeri ini untuk tetap fokus menjalankan roda pemerintahan atau menjalani masa dalam jabatannya sesuai dengan waktu yang telah disepakati tersebut. Bisa dibayangkan seorang gubernur yang mestinya harus meluangkan waktu dan tenaganya fokus mengurusi daerah yang dipimpinnya, namun di sisi lain ia juga sibuk untuk memikirkan bagaimana harus membagi waktu untuk kepentingan kampanye dalam rangka pileg, pilgub, atau pilpres sekalipun. Ketika hati dan pikiran para pemangku jabatan publik itu terpecah, maka saat itu ia dikategorikan sebagai orang yang tidak memenuhi janji atau komitmen yang telah diikrarkannya sesaat ia dilantik menjadi pejabat publik.
Keberhasilan atas kemajuan suatu bangsa harus didukung oleh pemimpin yang memegang janjinya, fokus pada pekerjaan atau tanggung jawab yang harus dipikulnya, dan menyibukkan dirinya untuk melakukan segala sesuatu yang memberikan manfaat sebesar-besar kepentingan rakyat. Bukan pemimpin yang ketika diwawancarai selalu mengatakan bahwa bila ada peluang untuk jabatan yang lebih tinggi namun harus meninggalkan jabatannya yang sekarang yang masih belum rampung; dengan gagahnya ia mengatakan bahwa hal itu tidak terpikirkan sama sekali....Memang jabatan tidak untuk dipikirkan semata, tetapi yang lebih penting bagaimana tetap fokus dengan jabatan yang sekarang dan tidak menjadikan aji mumpung sebagai panglima....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar