Rabu, 29 Mei 2013

Kebiasaan Membeli Serba Bekas


Beberapa hari lalu saya sempat geli membaca berita bahwa Indonesia bakal membeli (lagi) tank-tank bekas milik AD Jerman. Mengapa saya harus mengatakan 'geli' ketika membaca berita itu? Terus-terang, bahwa perkara beli dan membeli ada persoalan uang. Ada harga, adalah pula rupa. Bagus barangnya, bagus pula harganya. Namun ketika angkatan bersenjata negara akan membeli perlengkapan perang seperti tank bekas tersebut, masih juga diembel-embeli  'boleh dibeli' asalkan jangan digunakan untuk melanggar HAM. Membeli barang bekas merupakan pilihan selain harus membeli secara cash. Tapi mengapa harus membeli barang bekas, seandainya ada pilihan barang baru yang juga bisa dibayar secara kredit. Hal ini perlu disampaikan  di sini karena sudah menjadi joke bahwa kebiasaan membeli barang bekas ini bisa menurunkan kredibilitas bangsa kita. Sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan kecelakaan di laut atau udara, salah satunya disebabkan oleh pesawat atau kapal yang dibeli adalah bekas. Cobalah diperhatikan, berapa banyak pesawat tempur, pesawat penumpang, kapal perang, ferry, bahkan trukpun kita masih hobi membeli yang bekas.

Substansi agar kebiasaan membeli barang bekas tadi  dihentikan adalah bagaimana barang yang kita beli tersebut selain memiliki fungsi ekonomis, barang juga memiliki fungsi self-esteem sebagai bangsa. Dapat dibayangkan ketika armada perang Malaysia atau Singapura sandar berdampingan dengan kapal perang Indonesia, dari sisi visual saja sudah dapat dibayangkan bahwa performance barang baru dan bekas akan kelihatan. Belum lagi faktor persenjataan yang dimilikinya. Memang sangat aneh cara berpikir bangsa ini, tatkala membeli kapal perang bekas, tetapi untuk persenjataan dan perangkat komunikasinya sudah 'diremajakan'. Nah, kalau biaya membeli bekas saja sudah begitu besar, kenapa pula harus pake biaya renovasi yang diyakini juga akan membengkak. Bisa jadi kebiasaan membeli barang bekas tersebut 'disinyalir' ada 'udang di balik batu' alias syarat kepentingan yang kemungkinan merugikan bangsa.

Bahkan ada ide juga bahwa daripada kita repot-repot menyelenggarakan pemilihan presiden yang banyak menguras uang dan energi bangsa, apa salahnya kita cari saja pemimpin bekas. Cukup kita kontrak bekas pemimpin dari negara yang sudah maju, misalnya Amerika atau Jepang. Bila dalam waktu 100 hari tidak ada program kerja yang jelas untuk memajukan bangsa, kontraknya dapat kita putus. Meskipun hal ini bertentangan dengan UUD kita, tapi substansinya bahwa hal tersebut sejalan dengan kebiasaan pemimpin negeri ini untuk membeli segala sesuatu yang serta bekas. Yang harus diubah adalah mindset bagaimana kebiasaan membeli yang bekas menjadi membeli yang baru dan lebih bermutu dari negara lain. Bukankah pihak industri dalam negeri (PINDAD) telah berhasil membuat panser Anoa yang terkenal itu. Pesawat dan kapal patroli cepat versi militerpun kita sudah produksi. Jadi, daripada repot-repot membeli barang bekas, kembangkanlah potensi anak negeri untuk melakukan riset agar dapat memproduksi barang-barang yang bisa menggantikan kebiasaan membeli dari negara yang lain dan bekas lagi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar