Menjelang pemilu legislative
alias pemilihan calon anggota dewan (DPR
RI – red). Sebagaimana
sebelumnya, para calon legislative tersebut yang jumlah ribuan sudah mulai ‘menjajakan
diri’ baik melalui media masa, spanduk, baliho, sms, blog, maupun website. Cara
yang paling gampang tapi juga mahal yakni dengan mencetak sebanyak mungkin
spanduk, baliho atau iklan di media cetak/televise. Tak jarang ada calon
anggota dewan itu yang wajahnya setiap hari memenuhi koran. Kitapun seolah-olah dijejali menu hanya memilih
gambar dan tidak perlu kenal ‘siapa’ dan ‘mengapa’ orang tersebut layak untuk
dapat mewakili kepentingan kita? Saat waktu kampanyepun -- para caleg tersebut lebih banyak
mengedepankan ‘pilihlah saya’ ketimbang menjelaskan alasan ‘mengapa’ Anda harus
‘memilih dia dibandingkan dengan calon lainnya. Di sisi lain para calon
legislator tersebut lebih senang menggunakan pendekatan visual dan bukan pendekatan substansial. Alhasil mindset yang berlaku bersifat transaksional. Untuk mendekati vote getter si calon akan menggunakan pendekatan serba cepat, ringkas, jelas dan hanya sekali saja. Begitupun bagi para pemilih, sikapnya juga pragmatis; terima apa saja yang akan diberikan oleh calon pemimpin -- soal memilih siapa itu urusan nanti!
Bila dibandingkan saat masih sekolah, maka caleg diibaratkan calon ketua kelas. Siapa saja bisa mencalonkan diri menjadi ketua kelas. Biasanya yang maju sebagai ketua kelas adalah orang yang dipercaya, pintar, rajin, jujur, dan punya keberanian lebih dibandingkan dengan yang lainnya. Parameternya juga kasat mata. Setiap orang pastilah tau kalau si calon ketua kelas adalah orang yang pintar, jujur, atau berani tadi. Enggak perlu kampanye atau bicara cuap-cuap kepada teman-teman sekelas agar ia dipilih menjadi ketua kelas. Hanya saja sang ketua kelas setelah menjadi ketua kelas tidak mendapat gaji atau tunjangan sebagaimana yang diterima oleh anggota dewan kita. Nah, dari kumpulan ketua kelas tadi -- ada yang berminat untuk menjadi ketua OSIS. Maka jabatan ketua OSIS diibaratkan sebagai Presiden. Untuk menduduki jabatan ketua OSIS perlu perjuangan yang lebih berat lagi. Sang calon ketua OSIS harus bisa menyakinkan masing-masing pemilih di setiap kelas yang nota bene sudah ada ketua kelasnya itu. Bahkan bisa jadi calon ketua OSIS tersebut bukanlah ketua kelas, melainkan salah seorang siswa di masing-masing kelas. Sekali lagi siapapun yang akan menjadi ketua OSIS, tetap saja ia tidak akan mendapatkan fasilitas gaji atau tunjangan.Bedanya dengan anggota dewan atau presiden, mereka yang terpilih menjadi anggota dewan atau presiden, memiliki gaji, tunjangan, dan fasilitas yang wah.
Jadi sebenarnya mencari calon pemimpin itu enggak perlu biaya mahal. Semua kasat mata. Siapa yang jujur, pintar, pekerja keras dan dapat dipercaya -- semuanya ada di sekitar kita. Hanya saja dengan mekanisme keorganisasian berupa partai politik, membuat calon-calon pemimpin tersebut harus mengeluarkan uang untuk menjadi salah satu pengurusnya. Bukan itu saja, bahkan konon kabarnya siapa yang memiki uang banyak -- peluang untuk menduduki posisi puncak di kepengurusan partai atau urutan dalam kartu pemilihan akan lebih terbuka lebar. Kalau sudah begitu, bagaimanakah peluang orang yang jujur, cerdas, dan dipercaya bisa masuk ke bursa calon pemimpin bangsa apabila karena kejujuran dan kerja kerasnya selama ini -- ia tidak memiliki uang?
Persoalan 'kesulitan' kita mencari pemimpin yang bersih (bebas KKN) dan berwibawa (memiliki kompetensi, pekerja keras dan dapat dipercaya) tidak akan serumit yang kita alami sekarang ini bila mulai saat ini mindset kita sebagai anak bangsa bukanlah memilih pemimpin tapi mencari calon pemimpin... Kita mengupas 'isi kepala' alias kompetensi yang dimiliki calon pemimpin kita dan menguji integritasnya dengan memaparkan track record mereka selama ini. Kesalahan dalam memilih pemimpin akan membuat bangsa kita semakin terpuruk di kancah pergaulan internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar