Jumat, 27 April 2012

Lesson from China Economic: "Merangkul" Kapitalis

Setelah proklamasi kemerdekaan disampaikan oleh founding father negeri ini, maka disusunlah konstitusi negara. Dalam sistem perekonomian disebutkan bahwa sistem perekonomian kita adalah ekonomi kerakyatan. Dalam perjalanan waktu kita telah 'mencoba' untuk 'menguji' sistem komunis (orla) dan kapitalis (orba) yang dua-duanya gagal membuat perekonomian (ekonomi rakyat) menjadi bangkit dan menjadi tuan di negeri sendiri. Ketika Hongkong dikembalikan ke China beberapa dekade lalu, banyak orang beranggapan bahwa perekonomian bakal bangkrut karena akan kembali ke ekonomi komunis. Ternyata pemimpin China saat itu menggunakan momentum itu untuk tetap menerapkan perekonomian bebas (kapitalis) di Hongkong. Sementara itu perekonomian di China daratan masih belum beranjak dari ekonomi sosialis (komunis). 

Tatkala ekonomi Barat (Amerika dan Eropa) mengalami penurunan, justru saat ini China berkembang pesat perekonomiannya. Ternyata irisan dual system (sosialis dan kapitalis) menghasilkan 'persenyawaan" atau chemistry bagi China itu sendiri. Dengan kata lain China berhasil menerapkan urusan "perut" boleh darimana saja, tapi urusan "kepala" kita yang "atur". Hal ini juga yang pernah sukses dilakoni oleh Jepang dan Jerman -- bahwa untuk urusan 'perut' kadang-kadang kita tidak ada pilihan. Namun setelah 'perut kenyang' itu urusan kita masing-masing. Ketika pihak Barat menjadi pemenang pada PD II, maka negara yang kalah perang akan menanggung kerugian material dan psikologis yang luar biasa. Namun berkat kepemimpinan yang kuat, tekanan ekonomi (kapitalis) dijadikan jembatan untuk bangkit dan mencari 'pola terbaik' bagi negara mereka. Boleh jadi sistem kapitalis masuk, namun mindset pemimpin China berupaya untuk memangkas perilaku korup aparatur negara, berpikir untuk mengejar ketertinggalan dari Barat, mengutamakan pendidikan dan membangun infrastruktur -- yang akhirnya menumbuhkan nasionalisme baru bagi negeri tirai bambu itu. Sama halnya dengan Jepang (meskipun China sendiri bukan pihak yang terlibat dalam PD II -- malah jadi korban keganasan tentara Jepang), China tidak melupakan akar budaya dan etos kerja warga China sendiri. Alhasil bagi China, pihak Barat (Amerika dan sekutunya) bukanlah halangan atau musuh yang harus dihadapi atau hindari, tapi 'peluang' untuk dapat berdiri sejajar dan mengejar ketertinggalan dengan negara Barat.

Indonesia saat ini masih malu-malu dan tidak pernah tuntas dalam menjabarkan konsep ekonomi kerakyatan secara konkrit dan konsekwen. Faktanya negeri ini sudah semakin nyata 'dikuasai' pola pikir kapitalis. Kondisi seperti ini sudah saatnya segera diakhiri. Mengapa? Karena ketika kita sibuk bertengkar dengan apakah negeri ini menganut pahat liberalis atau kapitalis (maupun yang neo sekalipun) -- di sisi lain kita tidak pernah punya konsep dan komitmen yang matang tentang perekonomian 'ala Indonesia' itu. Bercermin dari China dan Jepang, maka kita tidak perlu anti kapitalis. Yang perlu ditakutkan kalau kita bermental korup dan lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan daripada kepentingan rakyat. Demi kepentingan negara dan rakyat -- apapun (yang dibenarkan hukum dan halal) dapat kita gunakan dan dipakai. Sejarah membuktikan tatkala pemerintah Belanda ingin menjajah kembali, Bung Karno 'berteman' dengan komunis agar dapat selamat dari ancaman Belanda. Begitu juga dengan China, tatkala diancam dengan embargo ekonomi oleh Amerika karena persoalan pelanggaran HAM di China, toch China akhirnya berhasil 'merangkul' investasi dari negeri Barat yang kapitalis untuk kemajuan negeri tirai bambu itu.

Banuayu, 14 April 2012

Kamis, 19 April 2012

The Indonesian Invention Show



Setiap tahun dikenal Pekan Raya Jakarta atau Jakarta Fair adalah pameran terbesar di Indonesia. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak tahun 1968 hingga saat ini. Saat ini juga di bilangan Jakarta Barat telah berdiri bangunan megah SME Tower. Dengan bangunan yang megah ini dapat dijadikan pertemuan para pebisnis dari dalam dan luar negeri untuk membeli produk unggulan yang dibuat oleh UKM tersebut. Secara nasional saat ini perlu kita membuat event berjudul Penemuan Indonesia 2012 yang terdiri dari penemuan kreatif dan inovatif dari anak bangsa. Bangsa-bangsa yang telah lebih maju seperti Inggris misalnya, menyelenggarakan The British Invention setiap tahun untuk menggelar penemuan-penemuan yang inovatif oleh bangsa Inggris. Forum ini juga dihadiri para pebisnis dari penjuru dunia.

Setiap tahun mestinya negeri ini memamerkan pesawat terbaru produk PT DI, atau kapal cepat produksi PT PAL. Begitu pula dengan produk unggulan lainnya seperti Mobil Esemka atau laptop buatan anak negeri. Pameran seperti ini sangat diperlukan ditengah rendahnya ‘kepercayaan diri Nasional’ kita. Berita tentang amuk massa, tawuran antar kampong, atau politisi kota yang berperilaku ‘kampungan’ – seolah menggambarkan bahwa orang Indonesia sudah tidak mempunyai kebanggaan lagi. Padahal bila penemuan anak bangsa itu (Indonesian Invention) dapat dibuat ajang secara rutin dengan mengambil tema-tema yang visionaries. Tahun 1991 PM Malaysia telah mencanangkan Visi Malaysia 2020 untuk mengantarkan negeri jiran bisa menjadi negara maju pada tahun 2020. Padahal zaman era Orde Baru, pak Harto pernah mencanangkan Indonesia Indonesia tinggal landas pada Pelita VI tahun 1998 lalu. Sayang pesawat yang bernama Indonesia itu ‘terjungkal’ sebelum sempat tinggal landas.

Ketika tahun 2014 masih jauh di depan mata, para elit negeri ini sibuk mempersiapkan untuk kepentingan ‘diri-sendiri’ dan bukan untuk anak negeri yang butuh kebanggaan bersama itu. Pada saat jaman orde baru kita masih punya kebanggaan sebagai orang Indonesia. Saat itu Bung Karno punya prinsip bahwa negara belum maju tetap harus punya martabat (harga diri) sehingga tidak bisa diremehkan oleh negara manapun. Mestinya setelah sekian puluh tahun Indonesia merdeka, martabat dan kebanggaan itu kian bertambah.


Banuayu, 12 April 2012

The Coloring Leadership



Wooww…, kok ada kepemimpinan yang warna-warni? Maksudnya bukan begitu bro. The Coloring Leadership di sini adalah bagaimana kepemimpinan seseorang itu bisa ‘mewarnai’ kepimpinannya. Mau bukti? Seorang  kepala daerah (Bupati) yang mempunyai background medis (dokter) – suatu ketika ditanya oleh wartawan apa resepnya ia berhasil memimpin daerahnya? Sang Bupati menjelaskan bahwa ia punya resep sederhana bagaimana ia menjalankan roda pemerintahan yang dipimpinnya dengan menerapkan background-nya sebagai seorang dokter. Menurut dia, bahwa seorang dokter pantang memberikan obat apapun terhadap seorang pasien – sebelum ia memeriksa atau mendiagnosa si pasien. Begitu juga dengan kondisi masyarakat yang dipimpinnya. Adalah sesuatu yang naïf bila permasalahan yang dihadapinya akan terselesaikan bila ia tidak tahu ‘apa penyakitnya’. Dengan kata lain root cause suatu persoalan harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum dicari solusinya!

Suatu ketika di salah satu kementerian bagian kehutanan dipimpin oleh seorang berlatar belakang sarjana hukum. Hal yang pertama dilakukan oleh sang menteri adalah menata ulang peraturan perundang-undangan di jajarannya. Setelah itu ia memangkas segala bentuk aturan birokrasi yang menimbulkan efek biaya tinggi (high cost effect) bagi investor yang berminat di bagian industri kehutanan. Selanjutnya ia menertibkan izin peruntukan bagi hak pengusahaan hutan dan memberantas illegal logging! Walhasil, dengan background sebagai sarjana hukum, sang menteri telah ‘mewarnai’ kepemimpinannya dengan menjalankan prosedur sesuai hukum yang berlaku.
Seorang Walikota Surabaya Tri Rismaharini merupakan salah seorang yang telah ‘mewarnai’ kepemimpinannya (coloring leadership). Karena pernah menjabat kepala Dinas  Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Surabaya dan hingga saat ia menjadi Walikota, ia getol sekali membangun taman di kota Surabaya. Bahkan dalam acara Mata Nadjwa di Metro TV tanggal 18 April 2012 lalu, sempat dikatakan bahwa sang walikota dengan sebutan Bu “Giman” alias ibu Walikota yang “Gila Taman”. Menanggapi hal tersebut bu Tri Rismaharini tertawa kecil dan menjelaskan bahwa ia memimpikan suatu saat warga kota Surabaya dapat berkumpul di suatu taman – dimana antara warga yang muda dan tua, antara si kaya dan si miskin bisa berada dalam suatu taman kota yang representative  dan modern bagi semua warganya

Ketika pak Habibie menjadi Menristek, banyak siswa-siswa SMA saat itu termasuk penulis merasa bangga bisa berpikir dan punya prestasi seperti beliau. Saat itu sebagai anak muda kita sudah akrab dengan istilah High Tech. Nah, ketika saat ini banyak pejabat (kepala daerah) yang terlibat kasus korupsi, tentunya kita tidak ingin mengikuti jejak mereka bukan? The Coloring Leadership adalah Manual Book bagi siapapun pemimpin yang berprestasi dan mempunyai track record baik yang berjuang demi kemajuan bangsa dan negaranya. Success story pemimpin yang berhasil menjalankan amanah sewaktu kepemimpinannya itu seolah menjadi tinta emas bagi generasi selanjutnya.

Banuayu, 19 April 2012

Rabu, 18 April 2012

Merajut TIMNAS Sepak Bola INDONESIA

Adalah hal yang memperihatinkan ketika seluruh anak bangsa memimpikan Timnas Sepak Bola Indonesia dapat menjadi tuan di negeri sendiri, di Asia Tenggara, bahkan di tingkat Asia – justru yang didapat malah kondisi persepakbolaan nasional yang kian terpuruk. Hanya saja kita selama ini seolah-olah ‘terpasung’ oleh kepengurusan PSSI yang hingga saat ini belum mampu ‘mengurus dirinya sendiri!’

Dari berbagai perkembangan negara di Asia yang sekarang ini sudah mulai bangkit persepakbolaan mereka yaitu Korea Selatan dan Jepang. Kedua negara industri Asia tersebut telah menunjukkan kepada dunia bahwa sepak bola sebenarnya merupakan hasil ‘manajemen negara’ untuk menghasilkan tim sepak bola yang sukses. ‘Manejemen Negara’ di sini maksudnya adalah bahwa negara memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada pihak pemilik dan pengelola persepak bolaan untuk dapat berlatih dan bertanding (kompetisi) yang bermutu – sehingga menghasilkan pemain dan keuntungan dari setiap pertandingan yang dilakukan. Bahkan di negara-negara yang manajemen persepakbolaannya sudah sedemikan majunya, sehingga sepak bola bisa dijadikan ajang pariwisata dan devisa bagi negara. Lihatlah betapa klub seperti Real Madrid di Spanyol yang memiliki fans di luar kota bahkan negara Spanyol. Para fans sepak bola itu berdatangan dari berbagai penjuru Eropah bahkan dari seluruh dunia. Dapat dibayangkan betapa fans-fans internasional tersebut akan datang, menginap dan berbelanja dimana klub sepak bola itu bertanding.

Untuk saat ini kita tidak perlu bermimpi terlalu jauh bahwa klub-klub sepak bola di Republik ini bakal digemari oleh fans di luar Indonesia. Yang perlu dibenahi adalah bagaimana kelak kita mempersiapkan timnas sepak bola yang berkaliber Internasional. Dari catatan para juara sepak bola dunia, dapat disimpulkan bahwa untuk mencetak pemain sepak bola kelas dunia tentunya harus punya ‘bibit’ kelas dunia pula. Sarana dan prasarana kelas dunia, bahkan pelatihnyapun harus kelas dunia pula!

Ada pengamat sepak bola mengatakan bahwa banyaknya jumlah penduduk tidak identik dengan tim sepak bola yang hebat. Sebagai contoh India dan China yang penduduknya terbesar di dunia, hingga saat ini prestasi sepak bola mereka masih belum diperhitungkan di tingkat dunia. Lalu apa yang dapat dilakukan oleh bangsa Indonesia yang berpenduduk terbesar ke-lima di dunia? Menurut catatan, bahwa provinsi yang ada di Indonesia saat ini berjumlah 33 (tiga puluh tiga) provinsi. Andaikan saja setiap provinsi mengirimkan putera terbaiknya (tinggi minimal 180 cm, berbadan sehat, ber IQ di atas rata-rata)  dan mereka diberikan pendidikan sepak bola dengan fasilitas dan coach sertifikasi internasional, berikut kompetisi yang berkesinambungan—maka bukan hal yang tidak mungkin timnas sepak bola Indonesia yang menjadi tim yang diperhitungkan di tingkat regional dan internasional. Saat ini disamping Jakarta, Bandung, Palembang dan Samarinda yang telah mempunyai stadion bertaraf internasional, maka daerah lainnya juga harus melakukan hal yang sama untuk dapat membangun sarana dan prasarana olah raga tingkat dunia. Andaikan saja dari ke 33 provinsi tersebut telah menitipkan putera terbaiknya, maka setidak-tidaknya kita telah punya 2 TIMNAS sepak bola yang dapat diandalkan. Setiap pemainnya akan memakai kostum Garuda berikut logo darimana ia berasal. Kenapa logo daerah diperlukan? Hal ini menunjukkan bahwa ketika ia menjadi timnas, sebenarnya ia merupakan duta sepak bola terbaik dari daerahnya. Jadi dari skills, mental dan attitudenya harus benar-benar dijaga. Apalagi kalau yang dibelanya sekarang adalah negaranya.

Dan yang paling penting dari lapangan sepak bola, telah banyak melahirkan para milyarder baru! Untuk itu tugas PSSI adalah bagaimana menjadikan putera-putera terbaik bangsa ini menjadi pemain yang mempunyai fisik yang standar dunia, sarana dan pelatih tingkat dunia, dan kompetisi tingkat dunia pula. Semua itu tentunya harus dimulai dari pembenahan organisasinya dulu. Better late than never…

Banuayu, 04 April 2012

Rabu, 11 April 2012

Waspadai Politicianeurship

Seorang pengamat mengatakan bahwa setelah era reformasi – terjadi ’pemerataan’ korupsi. Selama ini yang sering disorot korupsi di pemerintahan, sedangkan pihak lain (legislatif dan yudikatif) belum muncul di hadapan publik. Salah satu penyebabnya adalah faktor kebebasan pers di era reformasi membuat semua tindak-tanduk pejabat publik dapat diakses oleh masyarakat. Setelah ada beberapa anggota wakil rakyat didakwa sebagai koruptor dan telah dipidana, sekarang ini muncul lagi korupsi di level pejabat publik di daerah dan departemen. Banyak pejabat setingkat walikota dan bupati bahkan gubernur di negeri ini yang akhirnya berurusan dengan KPK dan dipidana karena korupsi. Tidak salah bila ada yang berpendapat bahwa setiap orang berlomba-lomba menjadi pejabat publik (anggota dewan, walikota/bupati hingga gubernur) karena peluang untuk menjadi kaya terbuka lebar. Mengapa hal ini terjadi?
Dari catatan KPK dan ICW menyebutkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan kekayaan seorang pejabat sebelum dan sesudah ia menduduki jabatan publik tersebut. Bahkan ada pendapat juga bahwa perebutan jabatan publik tersebut tak obahnya ’lowongan kerja baru’ baru mereka yang ingin menjadi kaya dalam waktu empat atau lima tahun ke depan. Dengan kewenangan yang dimilikinya, seorang pejabat banyak sekali ’peluang’ yang dapat ’diciptakan’ sehingga ia bisa memperkaya diri sendiri, golongan atau kelompok.

Bila seorang penulis dengan kepiawaiannya dapat menghasilkan tulisan yang berkualitas kemudian hasil tulisan itu menghasilkan uang, maka jadilah ia seorang writerneurship. Seorang pengusaha yang berhasil pastilah ia seorang entrepreneurship. Mindset seorang pengusaha atau entrepreneur adalah menggunakan resources yang ia miliki (skills, capital dan networks) untuk menghasilkan uang sebanyak mungkin. Dan ini sah-sah saja. Yang menjadi pertanyaan bagaimana bila seorang yang berprofesi seorang pengusaha dan kemudian menjadi pejabat publik. Akankah ia berperilaku sebagai pengusaha juga di dalam menjalankan amanah jabatan publik tersebut? Dalam berbisnis atau berwirausaha dikenal istilah overhead. Bila seorang pejabat publik sebelum ia menjabat, maka ia akan dikenai biaya ’overhead politik’ berupa biaya mahar politik (melamar ke partai tertentu), biaya tim sukses dan biaya kampanye. Nah, bila ia terpilih – mau tidak mau ’overhead politik’ tersebut harus diperhitungkan selama masa jabatannya tersebut. Bila overhead politik tersebut dirogoh dari koceknya pribadi atau pihak lain, maka pejabat publik tersebut harus berusaha untuk menutupi biaya overhead tersebut secepat agar selanjutnya ia bisa balik modal atau BEP bahkan mendapatkan ’profit’ dengan jabatan publik yang disandangnya tersebut. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam rangka kesuksesannya tersebut, maka biaya ’overhead’ semakin tinggi dan tingkat ’ketergantungan’ kepada orang yang ’mengusungnya’ tersebut akan besar. Lalu, masihkah kita berharap selama memangku jabatan publik tersebut sang pejabat akan ’memikirkan’ kesejahteraan rakyat?

Bila fenomena ini terus berlangsung, maka negeri ini akan banyak dibanjiri oleh pejabat publik atau politisi yang bermental ’cari untung’ atau politicianeurship. Ciri-cirinya kasat mata. Mulai dari menerapkan komisi pada setiap proyek yang ada, membuat proyek fiktif, mark up biaya proyek atau proyek yang useless bagi kepentingan rakyat. Lebih parah lagi bila mindset balas budi terhadap orang atau institusi yang telah ’berjasa’ menjadikannya pejabat publik tersebut membuat sang pejabat tersebut ’terpasung’ secara psikologis – hingga tidak fokus lagi mengurus rakyat yang telah memberikan amanat tersebut.
Marilah kita waspadai dan hindari memilih atau menitipkan amanat kepada pejabat publik yang bercorak Politicianeurship tersebut. Waspadalah....., waspadalah.....!


Banuayu, 01 April 2012