Kamis, 29 Maret 2012

Malaysia; A Model of Plagiarize Country?

Kalaulah  ada negara yang sukses dalam merubah perekonomian dan mindset bangsanya -- selain bangsa Jepang, di Asia adalah Malaysia. Mengapa Malaysia? Rekam jejak bangsa Jepang untuk dapat menerobos dominasi negara besar seperti Amerika Serikat dan Jerman (Eropah), membuat bangsa Jepang harus putar otak agar negeri dan produk mereka dikenal di dunia internasional. Menurut pengakuan pakar sejarah bahwa masuknya Jepang ke kancah PD II saat meluluh lantakkan Pearl Harbour adalah dalam rangka memberikan shock therapy kepada Amerika bahwa bangsa Jepang tidak bisa dianggap sebelah mata oleh mereka. Dengan kemampuan armada militer yang mereka miliki, Jepang telah mengobarkan perang ke wilayah Pasifik dimana Amerika menjadi digdayanya.

Setelah usai PD II dimana negara yang kalah perang oleh Sekutu yakni Jerman dan Jepang, sudah hancur lebur infrastruktur dan ekonominya. Korea (Selatan) juga termasuk negara yang luluh lantak setelah usai Perang Korea antara Utara yang didukung komunis dan Selatan yang dibantu Amerika. Beberapa decade setelah PD II, Jepang bangkit dan kembali Berjaya dengan ekonomi dan teknologinya. Begitu juga dengan Korea Selatan. Posisi ekonomi Korsel saat ini di Asia sudah membayang-bayangi Jepang (disamping China dan India).

Malaysia ’belajar’ dari Jepang dan Korea ’bagaimana’ kedua bangsa itu meraih pencapaian besar saat ini karena mereka melakukan  duplikasi dan plagiatisasi dari negara-negara yang sudah sukses sebelumnya. Untuk menguasai teknologi logam untuk industri otomotif, bangsa Jepang harus  ’belajar’ ke Jerman selama 20 tahun. Hal yang sama juga dilakukan oleh Korea Selatan ketika membangun industri otomotif mereka. Malaysia juga ingin seperti bangsa Jepang yang maju dan terpandang. Maka program plagiatisasipun mereka lakukan dengan seksama. Bahkan sekarang ini Malaysia sudah punya visi Malaysia 2050 dimana untuk pencapaian tersebut mereka akan melakukan plagiatisasi bagaimana mindset orang Jepang dalam bekerja (misalnya disiplin, kerjasama tim, loyalitas). Jadi sebenarnya yang dilakukan oleh Malaysia saat ini tidak lebih dari cara mudah dan sederhana dengan meniru ’apa’ dan ’bagaimana’  bangsa Jepang menjadi bangsa yang maju.

Tidak ada yang salah kalau langkah plagiatisasi (positif) dilakukan demi kemajuan bangsa. Toch, tidak ada bangsa yang hidup sendiri ditengah globalisasi ini. Hanya saja janganlah plagiatisasi itu dilakukan membabi buta dan melanggar etika hukum internasional. Sebagai contoh kecil, Malaysia mengklaim produk batik, angklung, tari-tarian sebagai produk asli Malaysia. Padahal semua itu jelas-jelas milik bangsa Indonesia. Tapi di sisi lain kita jangan membenci Malaysia yang telah sukses melakukan plagiatisasi untuk kemajuan bangsanya. Plagiatisasi (negatif) yang dilakukan oleh Malaysia tidaklah perlu ditiru karena membuktikan mereka  (Malaysia) ingin maju tapi kurang didukung kreatifitas dan inovasi. Namun mereka memiliki semangat, disiplin, kerja keras dan kepemimpinan yang baik sehingga apapun yang mereka lakukan untuk negara mereka akan berujung..” right or wrong is my country...”

Hal terakhir sangat kuat dimiliki oleh bangsa Indonesia ketika menghadapi penjajah dan mempertahankan setiap jengkal tanah NKRI.


Banuayu, 25 Maret 2012

Rabu, 28 Maret 2012

Cost of Miscommunication


Dalam istilah politik dikenal bahwa suatu perubahan kebijakan yang dilakukan oleh penguasa atau pemerintah akan menimbulkan berbagai dampak. Mulai dari dampak ekonomis, psikologis bahkan dampak social. Biaya social ini awalnya sulit untuk dibuatkan analisa kualitatifnya. Anda bisa bayangkan berapa biaya social akibat miscommunication ketika bakalnya naiknya BBM bulan April 2012 nantinya. Hingga tulisan ini dibuat, para demonstran menuntut agar Pemerintah membatalkan kenaikan BBM ini. Jauh sebelumnya terjadinya social cost ini terjadi, sebenarnya ada fase permulaan dimana bakal terjadi penolakan oleh rakyat. Pertanyaannya adalah mengapa harus timbul social cost bila akar persoalan (root cause) nya dapat dikenali lebih awal?

Seorang ustadz pernah menyentil bahwa bila ada masyarakat yang sering melakukan demo terhadap Pemerintah – sementara itu rakyat tersebut mempunyai perwakilan (DPR) – berarti wakil rakyat tersebut belum menjalankan fungsinya dengan sebenarnya. Untuk apa dewan ada kalau setiap persoalan yang muncul justru bukan disampaikan melalui wakil mereka? Namun di sisi lain Pemerintah juga harus merubah mindset mereka bahwa keberadaan Pemerintah adalah sebagai ‘pengelola’ dari daulat rakyat yang dititipkan kepada mereka. Adalah aneh rasanya bila seolah-olah suara anggota dewan bukanlah suara rakyat, atau program yang akan dijalankan Pemerintah itu bukanlah untuk rakyat? Persoalan sebenarnya adalah ketika pemerintah akan melakukan suatu keputusan atau kebijakan, pertama kali yang harus dikedepankan adalah demi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut haruslah disampaikan dengan jujur, transparan dan cerdas. Jangankan menerima kenaikan BBM, ikut ’berperang’ pun rakyat akan siap bila semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan demi semata-mata untuk kepentingan rakyat. Yang terjadi saat ini adalah seolah-olah pemerintah tidak mempedulikan suara rakyat atau juga seakan-akan rakyat tidak ’peduli’ dengan persoalan yang sedang dihadapi pemerintah. Rasanya kita sedih mendengar pidato Presiden kita bahwa ”...pemerintahan mana yang rela dan tega untuk menaikkan BBM...” Suatu sisi pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa kenaikan BBM yang dilakukan Pemerintah merupakan pilihan pahit yang mau tidak mau harus ditelan. Namun ada suatu hal yang terlupakan oleh pak Presiden bahwa bila sang Presiden sebagai penyambung lidah rakyat tersebut dapat berkomunikasi dengan assertive langsung  kepada rakyat, maka tidak akan terjadi miscommunication seperti sekarang ini. Persoalan miscommunication ini bila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan biaya social dan ekonomi yang tidak sedikit.

Saatnya bangsa ini dapat mengelola komunikasi yang baik antara pemimpin dan rakyatnya. Komunikasi yang jujur dan cerdas akan menimbulkan trust dan energi yang fokus untuk menghadapi persoalan bangsa yang berat sekalipun. Sejarah membuktikan bahwa disaat yang genting bagi negara, sang pemimpin akan tampil dan berbicara lantang dengan rakyatnya bahwa kita harus bersama-sama untuk menghadapi tantangan ini. Karena bersama kita bisa. Mari kita buktikan Bung!

Banuayu, 24 Maret 2012

Jumat, 23 Maret 2012

Black Box Pemimpin

Black Box merupakan perangkat yang ada di setiap pesawat yang berisikan data percakapan dan penerbangan sebuah pesawat selama beroperasi. Hal yang utama dicari selain menyelamatkan penumpang pesawat ketika terjadi musibah kecelakaan pesawat adalah Black Box. Mengapa Black Box menjadi penting? Jawabannya karena bila terjadi kecelakaan akan dapat 'ditelusuri' apa dan bagaimana peristiwa yang terjadi di dalam pesawat mulai saat take off hingga si pesawat melakukan landing terakhir karena kecelakaan. Alhasil, orang biasanya akan perhatian dengan black box hanya karena ingin tahu 'penyebab' kecelakaan pesawat tersebut. Dari pihak yang berwenang apakah KNKT (Indonesia) atau NTSB di Amerika -- dapat mereka ulang saat-saat pesawat melakukan perjalanan hingga detik-detik menjelang kecelakaan. 

Black Box diperlukan saat pesawat terbang normal maupun ketika mengalami kecelakaan. Fungsi Black Box sebagai alat rekam operasional selama penerbangan (engine, instrument, weather maupun komunikasi antara pilot/copilot dengan pihak menara pengawas). Dengan kata lain, ada atau tidaknya kecelakaan dalam penerbangan -- tidak akan membuat Black Box menjadi berguna atau tidak berguna. Apapun situasi dan kondisinya, keberadaan Black Box dalam pesawat adalah wajib hukumnya. Seorang pemimpin juga dapat diibaratkan sebagai pilot bagi masyarakat atau negara yang dipimpinnya. Bila dalam kepemimpinannya tidak terjadi masalah atau 'kecelakaan kepemimpinan' maka keberadaan Black Box selama periode kepemimpinan akan disimpan rapi dalam arsip negara atau pustaka pribadi sang pemimpin atau institute pribadi yang mungkin dimiliki sang pemimpin itu. Selebihnya, biarlah itu menjadi kenangan abadi pemimpin di mata rakyatnya. Semakin banyak kontribusi dan prestasi yang pernah dicapai oleh sang pemimpin, maka dalam benak rakyatnya keberadaan 'Black Box' sang pemimpin sudah menjadi rahasia umum dan tidak perlu diselidiki lebih lanjut. Namun ketika sang pemimpin telah melakukan 'crash landing' selama kepemimpinannya dan berpotensi merugikan negara, saat itulah 'Black Box' memimpin harus dibuka oleh Biro Penyelidik Negara alias pihak Yudikatif. Bila ada indikasi sang pemimpin atau pilot tersebut melakukan human error, maka ia akan diberikan sanksi. Sanksi berupa administratif, digrounded bahkan bisa jadi sanksi pemecatan!

Sejarah Nasional Indonesia sempat beberapa kali terjadi Crash Landing Kepemimpinan. Mulai dari periode Bung Karno yang menyisakan rekaman 'Black Box' berupa dokumen Supersemar yang hingga kini belum jelas keberadaan naskah aslinya. Begitu juga kepemimpinan pak Harto harus melakukan 'crash landing' pada  tanggal 23 Mei 1998 yang akhirnya kepemimpinannya dilanjutkan dengan Co-Pilot BJ Habibie. Negara dan rakyat dalam hal ini dapat mengambil pelajaran dari beberapa kali 'crash landing' RI 01 yang sebenarnya dapat memperkaya kehidupan berkenegaraan bangsa ini. Tidak semua kecelakaan  kepemimpinan itu merupakan aib atau musibah kenegaraan kita, namun seharusnya menjadi barometer atau rekaman abadi bagi karya-karya terbaik dari putera-puteri terbaik bangsa ini yang telah diamanatkan menjadi pemimpin.

Mulai saat ini, marilah kita mengingatkan kembali bagi para pemimpin negeri ini (Walikota/Bupati, Gubernur dan Presiden) untuk dapat menerbangkan pesawat demokrasi yang saudara awaki. Saudara telah dipilih oleh rakyat untuk menjadi 'Pilot' selama periode kepemimpinan saudara. Jagalah kondisi fisik dan mental saudara dengan baik, ceklah perlengkapan (program kerja dan aparat atau SDM yang ada), dan terbanglah mengikuti jalur amanah yang  telah diberikan rakyat. Insya Allah penerbangan (masa menjabat) saudara akan dipenuhi dengan perasaan aman dan nyaman bagi rakyat. Ucapan terima kasihpun serta merta akan penumpang (rakyat) sampaikan kepada saudara sebagai pilot yang telah membawa penumpang dengan selamat di tempat tujuan. 

Banuayu, 21 Maret 2012

Made in Hollywood

Berbicara tentang Amerika Serikat setidaknya kita akan ingat bahwa negara Paman Sam itu adalah memiliki power bidang militer, politik, ekonomi dan budaya. Meskipun dari segi ekonomi sudah ada pesaingnya yakni Jepang, namun sulit dipungkiri bahwa untuk bidang politik dan militer, Amerika masih diakui kedigdayaannya hingga saat ini. Belajar dari keberhasilan Jepang, Chinapun juga belajar bahwa entry point untuk menjadi negara yang diperhitungkan di dunia internasional dimulai dengan keberhasilan segi ekonomi.Sejarah membuktikan bahwa negara yang kuat dari segi militer an sich tanpa didukung perekonomian yang kuat, lambat laun akan ambruk juga.Lihatlah ketika Uni Soviet masih berdiri, maka poros kekuatan dunia terbagi dua yakni Barat yang dikomandoi Amerika dan Timur oleh Uni Soviet. 

Pasca perang dingin usai dan menguatnya ekonomi di kawasan Asia, China 'berupaya' untuk menjadi negara digdaya seperti Amerika.Meskipun Amerika sempat menghembuskan isu pelanggaran hak azazi manusia di negeri tirai bambu itu -- China terus menggenjot pertumbuhan ekonomi mereka. Alhasil, keberhasilan membangun pertumbuhan ekonomi tersebut paralel dengan kepemimpinan yang kuat yang berorientasi kepada negara dan bukan pada partai atau golongan tertentu -- membuat China sebagai negeri tirai bambu yang dipagari 'tirai kemakmuran' bagi warganya. Tidak ada jalan lain bagi Amerika dan pihak barat untuk tidak bekerjasama dan memanfaatkan pertumbuhan ekonomi China yang 'menggiurkan' bagi para investor tersebut. Maka isu tentang pelanggaran HAM-pun bergeser ke arah komunikasi pasar bebas dan globalisasi ekonomi. Negara yang lambat merespon globalisasi akan tertinggal dengan negara yang pro aktif dan inovatif.

Sebenarnya ada yang luput dari pengamatan kita bahwa Amerika telah 'merajai' globalisasi ekonomi dengan produk perfileman mereka. Jauh sebelum perang dingin atau era globalisasi sekarang ini, produk Hollywood telah merambah dunia. Efek dari produk Hollywood itu jauh lebih dahsyat dari statement dari Gedung Putih. Mengapa? Konotosi produk Gedung Putih adalah masalah politik. Namun ketika Hollywood melemparkan produk filem mereka ke pasar internasional -- itu melewati batas-batas  'kehebatan' Gedung Putih sekalipun! Kemampuan insan filem di Hollywood menjual visi, image dan teknologi perfileman Amerika membuat seolah-olah Hollywood is America but America maybe not Hollywood!

Kemampuan produk Hollywood saat ini sudah sangat mendunia, melewati batas-batas antar negara. Bila Amerika punya mesin kapital dan global bernama Hollywood, maka India punya Bollywood. Saatnya Indonesia punya kawasan perfileman terpadu secara nasional. Kawasan perfileman tersebut merupakan kawah candradimuka bagi sineas muda berbakat Indonesia. Siapa tahu dengan dukungan pemerintah dan swasta nantinya di Indonesia ada kawasan terpadu industri perfileman nasional Indonesia. Siapa tahu pula nanti di dunia ini ada raksasa perfileman dunia yakni Hollywood, Bollywood dan Bali yang selama ini hanya dikenal sebagai pusat wisata dunia -- kelak juga akan dikenal sebagai Baliwood. Semoga ini bisa menjadi kenyataan.

Banuayu, 19 Maret 2012

Selasa, 20 Maret 2012

Key Performance Indicator (KPI) DKI 01

Dalam istilah SDM kata Key Performance Indicator (KPI) digunakan untuk menilai tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Bila selama ini terkesan para calon pejabat publik seolah-oleh punya hak untuk berjanji (namun setelah itu kemungkinan janji tersebut tidak terpenuhi), maka sanksi yang diberikan tidaklah tegas. Syukur-syukur para pemilih sang pejabat publik tersebut akhirnya beralih kepada kandidat lainnya. Namun bila janji-janji politik itu juga tidak terpenuhi, apakah yang sebaiknya dilakukan?


Pada saat pejabat incumbent DKI 01 terpilih beberapa tahun silam, santer terdengar bahwa setidaknya ada 21 (dua puluh satu) program kerja yang akan dicanangkan selama periode kepemimpinannya. Concern masyarakat DKI sebenarnya tidaklah sebanyak program tersebut yang kemudian diberi label akan diselesaikan oleh 'sang ahlinya' ternyata masih merupakan janji belaka. Orang awam dan tidak mesti orang Jakarta dapat merasakan bahwa persoalan utama sejak beberapa dekade yang didera kota Jakarta setidak-tidaknya ada 3 (tiga) yakni masalah kemacetan lalu-lintas, banjir, dan keamanan (sering tawuran, demonstrasi, premanisne dll). Nah, alangkah baiknya bila siapapun yang terpilih menjadi Orang Nomor Satu di DKI nantinya haruslah dapat dinilai dengan kinerjanya, dan bukan dari janji-janji sewaktu kampanye belaka. Dalam mengukur kinerja atau KPI tadi haruslah dibuat transparan dan terukur (Specific, Achievable, Measurable,  Realistic and Timely). Bila tiga hal di atas dapat dicapai targetnya, maka sang Gubernur boleh dikatakan sudah sukses untuk main targetnya. Lalu siapa yang akan mengawasi program sang Gubernur tersebut? Jawabannya adalah anggota Dewan yang Terhormat, pihak yudikatif daerah, tokoh masyarakat, alim ulama, tokoh kampus, mahasiswa, LSM dan tentunya pers.


Setiap satu semester (enam bulan) para 'pengawas' ini akan memberikan tanggapan dan masukan kepada sang Gubernur bahwa target atau program apa saja yang sudah on the track dan yang belum direalisasikan. 
Bila jawabannya adalah positif, maka sang Gubernur hampir dapat dipastikan dapat melanjutkan kepemimpinannya ke babak kedua. Inipun dengan catatan sang pemimpin bebas dari masalah hukum tentunya.


Semoga masyarakat Jakarta dapat memilih pemimpin terbaik mereka dan menetapkan KPI secepatnya setelah dia terpilih nantinya.


Banuayu, 20 Maret 2012

Kamis, 15 Maret 2012

Pertarungan Abad 21 “Tourism War”

Sewaktu masih ada Uni Soviet, Amerika sempat sesumbar dengan program Star Wars-nya. Namun setelah Uni Soviet bubar, maka sempat terjadi Perang Teluk tahun 1991. Saat pak BJ Habibie sempat ditanya wartawan apakah yang sebenarnya terjadi di Teluk Persia itu? Saat itu pak Habibie yang masih menjadi Menristek RI menyatakan bahwa sebenarnya yang terjadi adalah perang memperebutkan resources yakni Energi!

Belakangan gencar negara-negara di dunia ini mengkampanyekan untuk beramai-ramai mengunjungi negaranya. Mulai dari negara tetangga Singapura, Malaysia, Australia, India bahkan Korea telah membuat road map industri parawisata mereka untuk mengantisipasi abad ke 21. Mengapa hal ini dianggap strategis? Jawaban sederhana adalah bahwa industri jasa (pariwisata) merupakan industri yang tahan banting alias tidak terpengaruh oleh gejolak inflasi. Bahkan demi meraup keuntungan negara jiran Malaysia tidak malu-malu mengklaim bahwa budaya yang mereka iklankan di media massa internasional merupakan budaya milik bangsa mereka sendiri. Padahal budaya tersebut milik bangsa Indonesia. Mulai dari tarian, batik, reog bahkan lagu ‘rasa sanyange’ mereka klaim sebagai milik bangsa Malaysia. Bahkan dalam filem Upin dan Ipin versi bahasa Inggris yang ditayangkan di Cartoon Netwxxx, ketika lagu ‘rasa sanyange’ dialunkan, teks bahasa Inggrisnya dihilangkan alias tidak ada. Namun ketika ada percakapan (bahasa Melayu), hal tersebut ada teks terjemahannya. Kita semua sudah tahu apa maksudnya bukan?

Untuk menuju Negara Pariwisata atau Tourism Country tidaklah mudah. Ambil contoh daerah wisata yang terkenal di Indonesia yakni pulau Bali. Kenapa Bali jadi primadona pariwisata Indonesia?  Setidaknya ada 3 (tiga) hal utama yang membuat Bali menjadi destinasi wisatawan domestik maupun manca negara. Pertama, faktor budaya dan masyarakatnya. Kedua, keindahan alam dan heritage. Ketiga, wisata belanja (kerajinan dan kuliner). Namun semua faktor di atas tidak akan berjalan dengan baik bila tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai.

Secara garis besar industri pariwisata haruslah digagas dalam konteks negara, bukan dalam konteks ’apa adanya’ seperti sekarang ini. Bila Indonesia punya ikon Bali atau Jogyakarta, maka sebaiknya setiap kabupaten dan kota di Indonesia punya andalan wisata masing-masing. Untuk menuju ke masyarakat tourism minded dibutuhkan langkah-langkah strategis yakni dengan memperbaiki infrastruktur menuju ke lokasi atau daerah wisata tersebut. Masyarakat juga harus diberikan penyuluhan tentang pentingnya arti kehadiran wisnu atau wisman ke daerah mereka. Oleh sebab itu para pejabat daerah diwajibkan untuk ’belajar’ ke daerah wisata yang sudah mapan seperti Jogya atau Bali misalnya. Meskipun setiap daerah mempunyai karakter yang berbeda namun satu hal yang harus dicatat bahwa bangsa Indonesia yang katanya mempunyai budaya ’ramah’ tidak akan banyak membantu bila faktor keamanan dan infrastruktur tidak dibangun atau dijaga dengan baik.

Konsep Pariwisata Nasional haruslah ditata dengan sistematis. Kalau para koruptor saja bisa berpikir dan bertindak sistemik, semestinya para pejabat publik negeri ini harus lebih ’lihai’ dari para koruptor itu.Mulai hari ini marilah kita rame-rame mengunjungi daerah wisata di daerah kita masing-masing. Disamping agar lebih kenal daerah wisata negeri sendiri, juga dapat meningkatkan perekonomian daerah sekitarnya. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi. Kalau tidak kita memulainya sekarang ini ; ”Apa Kata Dunia...?”

Banuayu, 15 Maret 2012

Selasa, 13 Maret 2012

Dilema Kenaikan BBM

Ada dua hal yang kontras terjadi ketika saat-saat menjelang kenaikan BBM. Rakyat tentunya tidak setuju dengan kenaikan BBM yang bakal memicu kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok rakyat. Di sisi yang berlawanan (tentunya Pemerintah - red) mengatakan bahwa kenaikan BBM ini merupakan 'keniscayaan' atau lebih tepatnya 'keterpaksaan' yang harus dilakukan agar APBN tidak nombok. Diantara 'perseteruan'  keduanya (rakyat versus pemerintah), sebenarnya ada pihak mediator yakni pihak wakil rakyat. Sikap para anggota dewan ini kadang-kadang sulit diterka; apakah ia pro rakyat (mestinya harus pro rakyat) dengan mau tidak mau (karena faktor defisit anggaran ..?) -- akhirnya dengan berat hati harus menyetujui kenaikan BBM itu sendiri!

Setidaknya ada 3 (tiga) opsi dengan kenaikan BBM yang setiap akan adanya kenaikan bakal terjadi 'perlawanan' dari rakyat sendiri.
 Pertama, saatnya kita sebagai rakyat melakukan pola hidup 'hemat BBM'. Mengutip seorang da'i kondang menyatakan bahwa bila BBM naik, maka salah satu solusinya adalah mengurangi CC kendaraan yang kita miliki. Seandainya kita punya kendaraan 2500 CC, maka saatnya beralih ke 150 CC alias pake sepeda motor. Atau kepada O CC alias sepeda alias jalan kaki!

Kedua, Pemerintah memikirkan alternatif untuk mengganti energi fosil dengan energi pengganti.Misalnya saja electric car, energi angin, atau apa sajalah yang akan menghemat devisa negara untuk subsidi energi ini.

Ketiga, Pemerintah berusaha untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya dengan memberikan skills dan akses modal untuk meningkatkan pendapatan rakyatnya. Bila pendapatan sudah meningkat, maka kenaikan berapapun tentunya tidak terlalu perlu dirisaukan. Mengapa? Karena rakyat sudah tidak memikirkan urusan dasar lagi (urusan busung lapar) karena negara telah melaksanakan amanat dalam UUD yakni negara memberikan penghidupan yang layak bagi rakyat, menyediakan pendidikan yang terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Sudahkah semua itu dilakukan?

Banuayu, 13 Maret 2012

Senin, 12 Maret 2012

Think Objectively, Act Subjectively

Menarik sekali wawancara yang dilakukan oleh TVRI kepada mantan Presiden ke 3 RI (BJ.Habibie) tanggal 07 Maret 2012 lalu. Ketika ditanya apa yang seharusnya dilakukan untuk memajukan bangsa ini? Kondisi bangsa yang sedang terpuruk ini dimana ada yang menyebut bahwa bangsa Indonesia saat ini diibaratkan bangsa yang terbang secara ‘auto pilot’. Pak Habibie menjelaskan bahwa sebagai bangsa kita harus mengedepankan rasional dan bersifat objektif dalam menilai sesuatu. Namun untuk pelaksanaannya, kita harus ‘subjektif’ demi bangsa ini. Sebagai contoh, ketika ada proyek pembelian pesawat kepresidenan yang menelan biaya 0.5 Triliun Rupiah, sebenarnya hal tersebut oke-oke sajalah. Namun di dalam negeri kita punya industri pesawat terbang sendiri (PT DI) dimana dengan resources yang ada sebenarnya kita dapat membuat pesawat kepresidenan kita sendiri. Ketika ditanya, bagaimana mungkin Indonesia membuat pesawat kepresidenan sendiri kalau untuk proyek mobnas saja teryata tidak lulus uji emisi (sertifikasi). Menurut pak Habibie, bila ada pejabat negeri ini yang masih mempersoalkan masalah kelaikan ini atau itu…., hal tersebut hanyalah pekerjaan membual saja!

Bila dalam istilah pemasaran dikenal dengan ‘think globally, act locally’ maka saatnya bangsa Indonesia untuk berpikir mendunia (global) dan objective, tetapi bertindaklah secara arif untuk kemajuan bangsa. Kalau boleh saya menangkap kata ‘subjektif’ dalam kosa kata pak Habibie, sebenarnya beliau menginginkan tetap menjadikan kepentingan bangsa dan Negara menjadi prioritas bagi setiap pejabat negeri ini sebelum memutuskan sesuatunya. Jangan pernah menjadi bangsa yang gampang ciut nyalinya ketika berhadapan dengan nama besar atau bangsa besar di dunia ini. Pak Habibie merupakan saksi pelaku terhadap bagaimana putera terbaik bangsa ini mampu menunjukkan kompetensi dan kontribusinya bagi kemajuan teknologi nasional bahkan dunia.

Ketika bumi cendrawasih akan digali perut buminya untuk menambang tembaga sekitar tahun 1960-an, bung Karno sudah memberikan early warning bahwa negeri ini butuh engineer-engineer terbaik untuk mengolah hasil tambang di bumi pertiwi. Sayangnya, hingga saat ini bumi pertiwi perutnya dirobek-robek oleh investor dan engineer asing dengan leluasanya. Mestinya kita malu karena setelah lebih dari setengah abad setelah ‘peringatan dini’ itu disampaikan, kemampuan dan kemauan kita untuk dapat menjadi ‘daulat di negeri sendiri’ belum terwujud.

Wahai para pejabat dan pengambil keputusan di negeri ini. Saatnya kalian berpikir logis dan rasional (meskipun banyak pejabat negeri ini sudah bertitel Master dan Ph.D), namun hati dan pikiran mereka belum sepenuhnya berpikir ‘untuk negeri’. Masih perlukah mereka (para pejabat negara) kembali menyanyikan lagu “Padamu Negeri” sebelum mereka memutuskan sesuatu untuk bangsa ini.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan atau pendahulunya.
Tugas generasi sekarang adalah tetap menjaga dan meningkatkan values yang pernah dilakukan oleh generasi terbaik bangsa ini sebelumnya.

Banuayu, 12 Maret 2012

Kamis, 08 Maret 2012

Infrastructure is Our Future!


Pada Maret tahun lalu, Direktur Transportasi Kementerian Pembangunan dan Perencanaan Nasional Bambang Prihartono mengatakan pada 1996 peringkat daya saing infrastruktur Indonesia masih berada di atas China, Thailand, Taiwan, dan Sri Lanka.  
"Namun, kini Indonesia tertinggal dan hanya lebih unggul daripada Argentina dan Filipina."
Secara khusus, daya saing jalan, pelabuhan, dan kelistrikan rendah. Dalam The Global Competitiveness Report 2011—2012 yang dikeluarkan World Economic Forum, disebutkan dalam hal infrastruktur Malaysia lebih unggul ketimbang Indonesia. Negeri jiran itu menempati peringkat 26, sedangkan Indonesia di 76. Dikutip dari Lampost, 02 Januari 2012.


Beberapa waktu lalu beberapa media asing sempat menulis bahwa ada 'Indiana Jones' versi Indonesia. Lho, koq bisa gitu? Ternyata ada jembatan gantung di salah satu desa di tanah air kita ini yang rusak sehingga setiap harinya anak-anak sekolah dasar harus bergelayutan di jembatan (rusak) tersebut bak film Hollywood di Amrik sono. Berita tersebut sangat menohok rasa kemanusiaan kita sebagai anak bangsa. Bahkan ada juga ada jembatan desa yang terbuat dari bambu di daerah kabupaten Bogor yang ambruk dan menghanyutkan beberapa orang penduduk. Beberapa diantaranya ditemukan dalam kondisi sudah tidak bernyawa lagi. Belum lagi sudah banyak gedung sekolah yang roboh karena dimakan usia dan kurang perawatan. Yang paling anyar adalah ambruknya jembatan rangka besi di Kutai Kertanegara (Jembatan Kukar).


Sebenarnya merawat dan membangun infrastruktur merupakan suatu keniscayaan bagi suatu bangsa. Bangsa ini sudah terbiasa dengan 'budaya' gampang membangun dan gampang lupa melakukan perawatan. Pertumbuhan infrastruktur berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk. Bila di tahun 1980-an hingga tahun 1990-an masih ada paradigma bahwa perkembangan UKM sulit berkembang karena terkendala pemasaran. Namun seiring kompetisi global, faktor pemasaran memang salah satu hal yang penting -- namun hal yang lebih penting lagi bagaimana pemasaran dapat berjalan (distribusi barang -red) bila infrastruktur tidak ada? Atau infrastruktur yang ada sudah rusak. Tentunya overhead-nya akan meningkat seiring dengan rusak (parahnya) infrastruktur di negeri ini. Semakin tinggi overhead, semakin rendah daya saing bangsa ini di tingkat global.


Negeri Arab dan China termasuk yang pro aktif terhadap bagaimana membuat infrastruktur yang efektif dan efisien. Sudah jamak bila jalan-jalan di Arab Saudi sudah full tol, jembatan (fly-over maupun under pass). Bahkan di kedua negara itu pembangunan terowongan (tunnel) sudah biasa. Mengapa hal itu dilakukan? Tentunya dengan membangun terowongan, investasi yang dibutuhkan semakin tinggi. Bagi mereka (Arab Saudi dan China - red), dengan membangun terowongan -- maka jarak tempuh semakin pendek (karena jalur menjadi lurus dan tidak perlu berkelok). Hal tersebut tentunya akan membuat biaya operasional semakin murah. 

Bila orang Arab berkata:"Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China".
Saatnya Indonesia belajar membangun infrastruktur sampai ke negeri China. Mengapa hal ini perlu dilakukan?
Sebab dengan dukungan infrastruktur yang baik maka masa depan bangsa akan lebih baik. 
So, Infrastructure is Our FUTURE!


Banuayu, 08 Maret 2012


Sabtu, 03 Maret 2012

Petani, Buruh, dan Nelayan Kaya? Why Not?

Sekitar tiga dekade lalu, seorang guru besar pertanian pernah menceriterakan bahwa 'mengapa' generasi muda  sekarang tidak mau menjadi petani, atau sedikit sekali ada investor yang mau bergerak di bidang pertanian? Usut punya usut menurut pak profesor tersebut bahwa setelah 'dikalkulasikan' ternyata ketika seseorang akan menjadi petani maka paling banter hanya 'untung tipis' bila berprofesi sebagai petani. Menurut kalkulasi beliau, mulai dari persiapan lahan, bibit, pupuk dan pestisida hingga pasca panen -- ternyata hasil kerja keras seorang petani tidak sebanding dengan penghasilan yang akan didapatkannya setelah panen.

Setiap tahun buruh demo dan mogok?
Itu sudah seakan agenda rutin kaum buruh di negeri ini. Apalagi kalau bukan tuntutan tentang kenaikan UMR atau masalah kesejahteraan kaum buruh.

Karena ombak besar, sebagian besar nelayan tidak bisa melaut.
Lalu kalau tidak melaut, apakah keluarga nelayan akan 'puasa' dari makan dan minum?

Cobalah bandingkan dengan petani dan nelayan di Jepang yang memiliki alat pertanian modern. Harga jual beras petani di Jepang dapat membuat sang petani bisa menabung bahkan bisa liburan ke luar negeri. Baru-baru ini ada acara teve yang menjelaskan betapa nelayan Amerika yang cuma menangkap kepiting saja selama satu minggu -- ABK pangkat paling rendah saja bisa mengantongi uang sebesar 3.000 USD!
Nelayan negeri jiran (Malaysia) juga sudah meniru nelayan Jepang yang menggunakan GPS dalam menentukan arah pelayaran dan mencari (atau mencuri ikan) kawasan laut yang banyak ikannya. Tatkala nelayan kita 'menggantung jaring' karena takut ombak besar, nelayan Jepang dan Malaysia malah menyambangi ZEE negara kita dengan tenangnya.

Sayangnya dari dulu dan setidaknya kini, kaum petani, buruh dan nelayan lebih banyak dijadikan objek daripada subjek. Padahal salah satu indikator berkualitasnya hasil suatu produk industri adalah kualitas pekerja atau buruh yang membuatnya.Semakin terampil dan sejahtera seorang buruh akan paralel dengan kualitas produk yang dihasilkannya.
Saatnya pak dewan yang terhormat bersama pemerintah tentunya untuk membuat produk undang-undang yang akan menjadi road map bagi kaum petani, buruh dan nelayan agar mereka disamping memiliki profesinya masing-masing juga memiliki tingkat kesejahteraan seperti profesi lainnya pegawai bidang keuangan dan perpajakan, para medik dan dokter, pengacara, artis dan selebritis bahkan chef sekalipun.


Mindset para pemimpin saatnya diubah agar tidak memandang kaum petani, buruh dan nelayan sebagai faktor 'beban' dalam kepemimpinan mereka.Namun lebih dipikirkan dengan tindakan strategis agar mereka (petani, buruh dan nelayan - red) dapat diupgrade skill dan permodalan mereka sehingga suatu saat nanti para petani, buruh dan nelayan bukan lagi menjadi floating mass setiap kali dibutuhkan oleh kaum politikus, namun sebagai pihak yang 'diperhitungkan' suaranya.Semoga.

Banuayu, 03 Maret 2012