Selasa, 11 Oktober 2016

Pemimpin Baru Jakarta








Teka-teki siapa saja bakal calon (balon) dan pasangan calon (paslon) gubernur DKI periode 2017-2022 terjawab sudah. Sudah ada 3 (tiga) pasangan calon yakni petahana (Basuki T. Purnama-Jarot), (Anies Baswedan-Sandiaga Uno), dan Agus HY-Silviana Murni. Menarik disimak, tatkala ada pendapat bahwa Pilkada DKI kali ini bukan saja kontestasi antara calon gubernur alias DKI 1, tapi “who is behind them”. Sebagai pendaftar pertama di KPUD DKI adalah calon yang juga petahana BTP-Jarot yang didampingi mantan RI 1 Megawati SP. Sedangkan Anies-Sandi tidak sampai diantar ke KPUD oleh Ketum Gerindra Prabowo Subianto. Begitu pula dengan pasangan AHY-Silvi yang tidak diantar sampai ke kantor KPUD DKI oleh mantan presiden RI ke-6 SBY – meskipun AHY merupakan putera sulung beliau.

Ada “bayangan” mantan PresCapres

Fenomena dibayang-bayangi ‘orang kuat’ bagi paslon gubernur DKI 2017 ini merupakan fenomena lanjutan tatkala ada helatan pileg ataupun pilkada. Cobalah perhatikan di setiap spanduk atau baliho calon legislator yang selalu ada foto ketum partainya disamping fotonya sendiri. Mungkin si calon dewan atau paslon pilkada tersebut akan lebih percaya diri alias pede kalo disamping fotonya, juga terpampang “orang kuat” di partainya atau koalisi partai pengusung atau pendukungnya. Makanya jangan heran, tatkala paslon gubernur DKI ini mesti diantar langsung oleh ketum partai yang mengusungnya!

Ada yang berpendapat bahwa pilkada DKI 2017 ini bisa dikatan sebagai “pilkada rasa pilpres”. Maksudnya,  the man behind the gun partai pengusungnya merupakan mantan presiden atau setidaknya mantan calon presiden yang pernah berkompetisi pada pilpres sebelumnya. Selain untuk meningkatkan gengsi para paslon, ‘penampakan’ para mantan itu bisa diartikan bahwa si pasangan calon yang mereka usung tersebut dilatarbelakangi oleh orang yang pernah berjaya menjadi RI 1. Atau setidak-tidaknya ingin menyampaikan pesan bahwa siapapun yang terpilih jadi DKI 1 nantinya – punya peluang lebar untuk menjadi RI 1 sebagaimana pernah terjadi saat Pilpres 2014 lalu.

Kampanye Bebas SARA?

Jauh-jauh hari sebelum KPUD DKI menetapkan pasangan calon definitif Pilkada DKI, pihak calon petahana sudah pasang kuda-kuda dengan mewanti-wanti agar kompetitornya tidak menggunakan isu SARA (suku, agama, ras, antar golong) terhadap mereka. Namun apa yang terjadi beberapa hari lalu (07/10) tatkala sang gubernur petahana tiba-tiba mengutip surat Al-Maidah 51 saat kunker di Kepulauan Seribu dimana dia mengatakan jangan mau dibodohi oleh paslon yang lain yang menggunakan ayat dalam Al-Qur’an agar tidak memilih dirinya dalam pilgub DKI 2017. Akibat mengutip ayat Al-Qur’an secara serampangan ini – menimbulkan kemarahan bagi umat Islam Indonesia karena ada tendensi melecehkan atau menistakan agama. Akibatnya elemen-elemen Muslim Indonesia telah melaporkan hal ini kepada pihak polisi agar segera ditindaklanjuti.

Apa yang dilakukan oleh cagub petahana ini bisa dianalogikan seperti pertandingan sepak bola. Meskipun kompetisi belum dimulai secara resmi, sang “pemain bola” ini sudah mewanti-wanti agar setiap pemain harus “fair-play”; tidak boleh bawa-bawa rasis atau tackling keras. Genderang tendensius ke arah SARA sudah digaungkan tatkala ia mengatakan bahwa orang yang menggunakan surat Al-Maidah 51 tersebut adalah Rasis dan Pengecut! Lebih parahnya lagi si pengunggah video pidato yang diduga penistaaan agama (Islam) tersebut yakni Buni Yani malah telah dilaporkan ke Polisi! Ibaratnya, posisi sudah off-side, eh...malah menjatuhkan diri (diving-red) – seolah-olah korban tackling keras oleh pemain lawan.... Tapi yakinlah, penonton (voter-red) pasti tahu kok siapa pemain yang bermain kasar atau curang di lapangan.

Peran(g)  Pencitraan

Apakah setiap calon pemimpin perlu pencitraan? Pastilah jawabannya: perlu! Hanya saja, pencitraan yang melulu untuk dirinya sendiri an-sich hanyalah ibarat lipstick belaka. Hanya sementara dan berlaku sekali saja (einmalige-red), terutama saat-saat kampanye saja. Biasaya calon yang petahana selalu mengatakan bahwa kami telah berbuat, sementara yang lain baru berkata. Oleh sebab itu, kami perlu lanjutkan satu periode lagi! Sementara para penantang akan lantang berkata; pemimpin sekarang masih ada kekurangan. Seandainyapun sudah baik, maka pilihlah kami. Karena kami akan membuat Jakarta lebih baik lagi!

Peran(g) pencitraan sudah dimulai tatkala gubernur petahana telah merekut anak-anak mudah dalam wadah #temanahok. Apakah kegiatan ini sudah termasuk curi start jelang Pilkada? Meskipun kegiatan ini bisa diartikan untuk menggiring partai-partai pemilik kursi signifikan di DKI agar memasukkan ybs ke dalam radar cagub yang layak untuk diusung atau didukung dalam pilkada DKI 2017. Hasil akhirnya sudah bisa ditebak dan ‘penggiringan’ oleh aktivitas anak muda itu menuai sukses. Psywar dan budget-war pun juga dilakukan oleh sang petahana yang menyatakan bahwa perkiraan biaya untuk pilgub dipihaknya hanya berkisar 15 M saja. Bandingkan dengan pendapat para pengamat bahwa untuk pilkada setingkat bupati atau gubernur di pulau Jawa bisa mencapai 200 Milyar Rupiah!

Yang membuat para pemilih di DKI sedikit lega tatkala akhirnya pasangan calon gubernur DKI 2017 adalah penantang sang petahana menjadi equal, mengapa? Sebelum adanya 2 paslon selain petahana muncul, ada skenario pilkada DKI head to head dua pasangan calon saja. Hanya saja seandainyapun terjadi – bilamana sang penantang masih berdarah muda alias lebih senior usianya dari sang petahana, secara psikologis akan memudahkan sang petahana untuk komparasi kecepatan usia muda vs tua. Ibarat pemain bola, sudah berpengalaman tapi sudah umur di atas 30-an tahun. Sebagaimana dikatakan pengamat bahwa dengan jarak umur yang sepadan dengan sang petahana, akan membuat kompetisi pilkada DKI akan lebih semarak dan dinamis. Dari segi pendidikan misalnya. Rakyat DKI sekarang sudah tahu bahwa pasangan Anies-Sandi bergelas Master & Ph.D dari Amrik. Begitu juga Agus HY tertitle Triple Masters dan Silviana Murni sudah bergelar Doktor. Dari kubu Anies yang Mantan Mendikbud dan Pengusaha Sukses. Begitu juga Agus HY sebagai the Rising Star. Jadi menjadi gampang bagi masyarakat pemilih DKI untuk memilah-milah dulu siapa yang akan dicoblos nantinya. Mulailah dari sisi pendidikan, kemudian dilanjutkan dengan track record of success, dan yang terakhir carilah yang paling tinggi untuk skor sebagai Solution Maker bagi DKI dan bukan Trouble Maker...