Minggu, 09 Juni 2013

Burn the Money Policy




Tarik ulur rencana Pemerintah untuk mengumumkan kenaikan harga BBM di awal bulan Juli 2013 seakan menjadi ‘ritual’ yang membosankan untuk diikuti. Betapa tidak, hampir disetiap rencana kenaikan BBM tersebut selalu dibarengi dengan unjuk  rasa kalangan mahasiswa dan masyarakat yang menolak kenaikan tersebut. Pemerintah dan DPR-pun terkesan ragu-ragu untuk melakukan kenaikan BBM yang sudah pasti menimbulkan efek berantai kenaikan harga barang-barang terutama sembako dan bahan baku industry. Kalangan pekerja akan menjerit karena dampaknya adalah pengeluaran biaya hidup akan meningkat dan biasanya tidak paralel dengan kenaikan upah yang diterima. Kalangan pengusahapun akan dipusingkan dengan dampak kenaikan kenaikan overhead industri mereka. So, sekecil apapun kenaikan BBM akan memberikan dampak yang negative bagi rakyat dan pihak pengusaha tentunya. Lalu bijakkah rencana pemerintah itu yang sudah dapat dipastikan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Apakah pemerintah sudah tidak memiliki creative thinking untuk membuat keputusan yang lebih elegan dan memberikan kemaslahatan bersama?
Ada suatu pendapat umum (common sense) yang sulit untuk dibantah bahwa ketika pemerintah ingin mengurangi subsidi BBM yang konon kabarnya untuk tahun 2013 ini saja sudah harus mengeluarkan dana sebesar Rp 250.000 Milyar (250 Triliun Rupiah!) Uang sebesar itu akan hangus dibakar (burn the money) saja. Mengapa? Ketika pemerintah tidak menaikkan BBM, konsekwensinya adalah harus disiapkan dana dari APBN yang dianggarkan untuk digelontorkan bagi menutupi biaya subsidi tersebut. Celakanya, subsidi yang diberikan pemerintah saat ini diibaratkan pukat harimau alias trawl di tengah lautan – yang tidak bisa membedakan lagi ikan yang mana yang harus dijaring. Sama halnya dengan subsidi BBM yang telah diberikan selama ini. Dari sisi ekonomi sudah jelas membebani dan membiarkan  uang rakyat tersebut seolah-olah dibakar. Sebagaimana judul artikel di atas bahwa kebijakan pemerintah selama ini sama saja dengan kebijakan membakar uang (burn the money policy). Betapa tidak, penggunaan BBM merupakan keniscayaan bagi seluruh rakyat. Hampir tidak ada kegiatan rutin atau sector ekonomi manapun yang tidak bergantung pada energy yang membutuhkan BBM. Di sisi lain ketika kenaikan BBM dilakukan, pemerintah sadar bahwa dampaknya pastilah sangat dirasakan oleh kalangan rakyat ekonomi menengah ke bawah. Kemudian untuk mengurangi beban rakyat tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan jaring pengaman social atau bantuan tunai langsung (BLT) yang disampaikan langsung kepada rakyat per tri wulannya. Kebijakan ini jelas tidak efektif dan tidak smart. Kenapa tidak dilakukan reverse thinking saja. Bukankah ketika BBM dinaikkan justru akan meningkatkan tingkat inflasi dan perlu mengeluarkan biaya yang tidak perlu (subsidi kepada rakyat miskin dalam bentuk BLT). Bukankah selama ini kebijakan subsidi BBM tidak mendidik rakyat untuk lebih berhemat bagi rakyat kita. Ketika kita berbicara berhemat, mestinya tidak ada pengecualian bagi siapa saja. Sesungguh aneh kiranya yang harus  berhemat justru rakyat berpenghasilan kecil saja, sementara rakyat yang tingkat ekonominya lebih tinggi ‘tidak mesti’ berhemat. Lho, bukankah dengan menikmati subsidi BBM oleh golongan ekonomi menengah ke atas malah menunjukkan pembelajaran yang salah? Mestinya orang susah tidak usah disuruh berhemat, karena sudah konsekwensi. Namun bagi orang kaya, berhemat adalah MESTI. Bila tidak mau berhemat ,  harus siap membayar lebih mahal. Jadi pilihan bagi orang kaya membeli pertamax dan rakyat miskin membeli BBM non subsidi.
Belajar dari era awal berdirinya pemerintah reformasi, dari BJ Habibie hingga Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (SBY – Budiono) saat ini, bahwa kebijakan menaikkan BBM merupakan keniscayaan. Bukankah BBM merupakan bahan yang tidak bisa diperbaharui (unrenewable energy). Sifat scarcity yang menyebabkan BBM semakin hari semakin sulit dicari dan mahal. Jadi semestinya pemerintah mencanangkan budaya hemat energy kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali. Sejalan dengan ini pemeritah juga memberikan alternative cerdas untuk menyediakan fasilitas angkutan umum masal yang bisa meringankan beban masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Karena dana subsidi mencapai 250.000 Milyar yang bisa digunakan bagi biaya research & development (R&D) untuk mengurangi konsumsi fuels energy dengan energy yang murah dan ramah lingkungan (green energy). Kebijakan menyediakan angkutan masal yang murah tersebut harus juga dibarengi dengan pembangunan infrakstruktur jalan lebih baik. Pendek kata dari dana Rp 250 Triliun tersebut dapat digunakan sebanyak 30% untuk perbaikan dan penambahan infrastruktur jalan raya atau tol, 30% untuk riset green energy atau alternative energy, 30 % untuk pemberian modal kerja atau pelatihan bagi UKM. Nah, hanya 10% dana subsidi tersebut digunakan bagi benar-benar mereka kaum dhuafa (yang benar-benar miskin dan tidak mampu). Bukankah untuk rencana membangun deep tunnel di DKI saja butuh dana sebesar 17 Triliun. Dengan dana sebesar 30 % dari total subsidi BBM, setiap tahunnya bangsa ini akan menikmati perbaikan dan penambahan infrastruktur yang baru dan modern. Setiap tahun akan banyak tumbuh calon pengusaha baru dan hasil penelitian energy terbarukan bagi peneliti-peneliti muda bangsa ini. Mengapa pak Presiden tidak memulai dari sekarang (tahun 2013). Jadikan tahun 2013 sebagai tahun pintu masuk untuk menjadikan bangsa Indonesia bebas Subsidi BBM, dan bukan sebagai tahun politik yang justru bisa menjadikan subisidi BMM menjadi sia-sia…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar