Kamis, 03 November 2016

Menanti Lebaran Kuda?




Tatkala duo rivalitas pilpres 2014 (Jokowi-Prabowo) kembali bertemu di kediaman Prabowo Subianto di Hambalang (31/10), sontak publik mereka-reka ada apa dengan mereka?  Ada yang mengkaitkan dengan situasi menjelang Unjuk Rasa Qubra Ummat Muslim tanggal 04 Nopember 2016 besok (?) Jawaban kedua politikus tersebut sangatlah sederhana: silaturahmi. Yang menarik dalam pertemuan itu adalah keduanya sempat ngobrol bersama sambil menunggang kuda. Suatu jawaban yang menyejukkan sekaligus menyenangkan. Siapapun akan setuju bahwa dengan silaturahmi, akan membuat suasana jadi cair. Persoalan akan menjadi lebih terurai (mirip-mirip kondisi lalu-lintas saja). Bahkan ada keyakinan dengan silaturahmi akan memperpanjang usia dan memudahkan rezeki. Mudah-mudahan kedua negarawan itu (Prabowo & Jokowi) diberikan usia yang panjang. Bagi yang sedang memerintah – diberikan kemudahan dalam mengambil kebijakan dan perbaikan ekonomi (rezeki – red) bagi rakyat.


Penting & Genting


Seorang Aa Gym bahkan mengatakan dalam talkshow di salah satu tv swasta (02/11) bahwa unjuk rasa Ummat Islam tanggal 04 Nopember 2016 nanti merupakan hal ‘penting & genting’ – jadi sebaiknya pak presiden Jokowi berkenan bisa menerima utusan pengunjuk rasa tersebut di istana. Bahkan beliau menyarankan bilama ada rencana sang presiden untuk menonton konser musik atau kondangan, sebaiknya lebih diutamakan untuk menerima tamu alias pengunjuk rasa tersebut. Sebab selama ini ada kesan bahwa para pengunjukan rasa merupakan potensi masalah. Bisa bikin chaoslah, anarkislah, bisa merusak tamanlah. Tapi ada belum disentuh oleh orang nomor satu itu; siapa yang membuat orang melakukan unjuk rasa itu! Dengan kata lain Aa mengharapkan agar sang presiden nantinya bisa memahami bagaimana perasaan hati Ummat Islam yang difitnah dan dinistakan Aqidahnya oleh seseorang yang bernama Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang notabene pernah menjadi wagub DKI selama dua tahun bersama Jokowi. Bilamana presiden tidak bijak menyikapinya, Aa Gym khawatir persoalan penistaan agama an sich ini akan menjadi blunder dan berkepanjangan.

Jangan sampai Lebaran Kuda 



Dalam dunia politik ada adagium; bilamana Anda menyatakan bahwa Anda tidak berpolitik, maka saat itulah Anda sudah berpolitik! Bilamana kaum ulama saja yang menyuarakan suara Ummat saja masih ada pihak yang ‘mencurigai’ bernuansa politik, apalagi kalo yang bersuara itu adalah SBY yang mantan presiden RI ke-6. Meskipun beliau sempat curhat dan prihatin bilamana ada pihak yang mencurigai diri dan partainya dibalik rencana unjuk rasa tanggal 04 Nopember 2016 tersebut. Bahkan secara tegas beliau menyampaikan bahwa unjuk rasa 04 Nopember 2016 adalah ungkapan hati nurani ummat yang Aqidah mereka dinistakan oleh Ahok. Setali tiga uang dengan Aa Gym, diakhir konfrensi pers di kediaman di Cikeas (02/11) tersebut, SBY mengingatkan agar Jokowi serius menanggapi hal ini (kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok) dapat diselesaikan secara hukum dengan fair dan bermartabat. Sebab bilamana tidak anggap penting persoalan ini (sekali lagi, kasus dugaan penistaan agama –red), maka gelombang demonstrasi akan berlanjut hingga lebaran kuda. Tidak dijelaskan secara spesifik apa yang dimaksud dengan lebaran kuda itu.

Berbagai pendapat dan tafsiran arti ‘lebaran kuda’ tersebut sah-sah saja. Hanya SBY-lah yang tahu arti dan maksud sebenarnya. Atau kalapun di kamus bahasa Indonesia belum tercantumpun, Andapun berhak untuk nyengir kuda. Anda setuju (?)

Selasa, 11 Oktober 2016

Pemimpin Baru Jakarta








Teka-teki siapa saja bakal calon (balon) dan pasangan calon (paslon) gubernur DKI periode 2017-2022 terjawab sudah. Sudah ada 3 (tiga) pasangan calon yakni petahana (Basuki T. Purnama-Jarot), (Anies Baswedan-Sandiaga Uno), dan Agus HY-Silviana Murni. Menarik disimak, tatkala ada pendapat bahwa Pilkada DKI kali ini bukan saja kontestasi antara calon gubernur alias DKI 1, tapi “who is behind them”. Sebagai pendaftar pertama di KPUD DKI adalah calon yang juga petahana BTP-Jarot yang didampingi mantan RI 1 Megawati SP. Sedangkan Anies-Sandi tidak sampai diantar ke KPUD oleh Ketum Gerindra Prabowo Subianto. Begitu pula dengan pasangan AHY-Silvi yang tidak diantar sampai ke kantor KPUD DKI oleh mantan presiden RI ke-6 SBY – meskipun AHY merupakan putera sulung beliau.

Ada “bayangan” mantan PresCapres

Fenomena dibayang-bayangi ‘orang kuat’ bagi paslon gubernur DKI 2017 ini merupakan fenomena lanjutan tatkala ada helatan pileg ataupun pilkada. Cobalah perhatikan di setiap spanduk atau baliho calon legislator yang selalu ada foto ketum partainya disamping fotonya sendiri. Mungkin si calon dewan atau paslon pilkada tersebut akan lebih percaya diri alias pede kalo disamping fotonya, juga terpampang “orang kuat” di partainya atau koalisi partai pengusung atau pendukungnya. Makanya jangan heran, tatkala paslon gubernur DKI ini mesti diantar langsung oleh ketum partai yang mengusungnya!

Ada yang berpendapat bahwa pilkada DKI 2017 ini bisa dikatan sebagai “pilkada rasa pilpres”. Maksudnya,  the man behind the gun partai pengusungnya merupakan mantan presiden atau setidaknya mantan calon presiden yang pernah berkompetisi pada pilpres sebelumnya. Selain untuk meningkatkan gengsi para paslon, ‘penampakan’ para mantan itu bisa diartikan bahwa si pasangan calon yang mereka usung tersebut dilatarbelakangi oleh orang yang pernah berjaya menjadi RI 1. Atau setidak-tidaknya ingin menyampaikan pesan bahwa siapapun yang terpilih jadi DKI 1 nantinya – punya peluang lebar untuk menjadi RI 1 sebagaimana pernah terjadi saat Pilpres 2014 lalu.

Kampanye Bebas SARA?

Jauh-jauh hari sebelum KPUD DKI menetapkan pasangan calon definitif Pilkada DKI, pihak calon petahana sudah pasang kuda-kuda dengan mewanti-wanti agar kompetitornya tidak menggunakan isu SARA (suku, agama, ras, antar golong) terhadap mereka. Namun apa yang terjadi beberapa hari lalu (07/10) tatkala sang gubernur petahana tiba-tiba mengutip surat Al-Maidah 51 saat kunker di Kepulauan Seribu dimana dia mengatakan jangan mau dibodohi oleh paslon yang lain yang menggunakan ayat dalam Al-Qur’an agar tidak memilih dirinya dalam pilgub DKI 2017. Akibat mengutip ayat Al-Qur’an secara serampangan ini – menimbulkan kemarahan bagi umat Islam Indonesia karena ada tendensi melecehkan atau menistakan agama. Akibatnya elemen-elemen Muslim Indonesia telah melaporkan hal ini kepada pihak polisi agar segera ditindaklanjuti.

Apa yang dilakukan oleh cagub petahana ini bisa dianalogikan seperti pertandingan sepak bola. Meskipun kompetisi belum dimulai secara resmi, sang “pemain bola” ini sudah mewanti-wanti agar setiap pemain harus “fair-play”; tidak boleh bawa-bawa rasis atau tackling keras. Genderang tendensius ke arah SARA sudah digaungkan tatkala ia mengatakan bahwa orang yang menggunakan surat Al-Maidah 51 tersebut adalah Rasis dan Pengecut! Lebih parahnya lagi si pengunggah video pidato yang diduga penistaaan agama (Islam) tersebut yakni Buni Yani malah telah dilaporkan ke Polisi! Ibaratnya, posisi sudah off-side, eh...malah menjatuhkan diri (diving-red) – seolah-olah korban tackling keras oleh pemain lawan.... Tapi yakinlah, penonton (voter-red) pasti tahu kok siapa pemain yang bermain kasar atau curang di lapangan.

Peran(g)  Pencitraan

Apakah setiap calon pemimpin perlu pencitraan? Pastilah jawabannya: perlu! Hanya saja, pencitraan yang melulu untuk dirinya sendiri an-sich hanyalah ibarat lipstick belaka. Hanya sementara dan berlaku sekali saja (einmalige-red), terutama saat-saat kampanye saja. Biasaya calon yang petahana selalu mengatakan bahwa kami telah berbuat, sementara yang lain baru berkata. Oleh sebab itu, kami perlu lanjutkan satu periode lagi! Sementara para penantang akan lantang berkata; pemimpin sekarang masih ada kekurangan. Seandainyapun sudah baik, maka pilihlah kami. Karena kami akan membuat Jakarta lebih baik lagi!

Peran(g) pencitraan sudah dimulai tatkala gubernur petahana telah merekut anak-anak mudah dalam wadah #temanahok. Apakah kegiatan ini sudah termasuk curi start jelang Pilkada? Meskipun kegiatan ini bisa diartikan untuk menggiring partai-partai pemilik kursi signifikan di DKI agar memasukkan ybs ke dalam radar cagub yang layak untuk diusung atau didukung dalam pilkada DKI 2017. Hasil akhirnya sudah bisa ditebak dan ‘penggiringan’ oleh aktivitas anak muda itu menuai sukses. Psywar dan budget-war pun juga dilakukan oleh sang petahana yang menyatakan bahwa perkiraan biaya untuk pilgub dipihaknya hanya berkisar 15 M saja. Bandingkan dengan pendapat para pengamat bahwa untuk pilkada setingkat bupati atau gubernur di pulau Jawa bisa mencapai 200 Milyar Rupiah!

Yang membuat para pemilih di DKI sedikit lega tatkala akhirnya pasangan calon gubernur DKI 2017 adalah penantang sang petahana menjadi equal, mengapa? Sebelum adanya 2 paslon selain petahana muncul, ada skenario pilkada DKI head to head dua pasangan calon saja. Hanya saja seandainyapun terjadi – bilamana sang penantang masih berdarah muda alias lebih senior usianya dari sang petahana, secara psikologis akan memudahkan sang petahana untuk komparasi kecepatan usia muda vs tua. Ibarat pemain bola, sudah berpengalaman tapi sudah umur di atas 30-an tahun. Sebagaimana dikatakan pengamat bahwa dengan jarak umur yang sepadan dengan sang petahana, akan membuat kompetisi pilkada DKI akan lebih semarak dan dinamis. Dari segi pendidikan misalnya. Rakyat DKI sekarang sudah tahu bahwa pasangan Anies-Sandi bergelas Master & Ph.D dari Amrik. Begitu juga Agus HY tertitle Triple Masters dan Silviana Murni sudah bergelar Doktor. Dari kubu Anies yang Mantan Mendikbud dan Pengusaha Sukses. Begitu juga Agus HY sebagai the Rising Star. Jadi menjadi gampang bagi masyarakat pemilih DKI untuk memilah-milah dulu siapa yang akan dicoblos nantinya. Mulailah dari sisi pendidikan, kemudian dilanjutkan dengan track record of success, dan yang terakhir carilah yang paling tinggi untuk skor sebagai Solution Maker bagi DKI dan bukan Trouble Maker...

Jumat, 26 Februari 2016

Inikah "Pemimpin DKI" Tahun 2017?



 

Apakah yang bisa dibuat pejabat petahana gubernur DKI menjelang masa berakhirnya masa jabatan tahun 2017? Tentu jawabannya disamping kerja, kerja, kerja. Nampaknya mantan wakil gubernur ini punya jargon pecat, pecat, pecat. Nah, disamping itu bagaimana caranya agar ybs tetap leading di media massa (media darling). Menurut Haji Lulung bahwa penggusuran atau penertiban di kawasan Kalijodo terkesan terburu-buru dan ada kesan ‘pencitraan’ menjelang pilgub DKI 2017. Sah-sah saja memang. Siapapun yang menjadi petahana gubernur DKI, pastilah akan memanfaatkan betul setiap momentum yang ada agar lebih melekat branding pribadi maupun kesan yang ditinggalkan. Kebanyakan strategi sang petahana baik Bupati/Walikota, Gubernur, bahkan Presiden.

Strategi Setengah Cangkir Kopi

Istilah a half glass of coffee strategy (strategi setengah cangkir kopi). Artinya dalam masa jabatan pertama sang petahana, disamping menjalankan program yang sudah dicanangkan sebelumnya, biasanya juga dipersiapkan strategi dimana program tersebut masih dibutuhkan kelanjutannya pada periode kepemimpinan berikutnya. Misalnya sang pejabat petahana mencanangkan bahwa proyek jalan tol di masa pemerintahan (jilid I) dibagi sekian tahap. Maka agar proyek bisa selesai, maka masih dibutuhkan sekian tahun lagi. Biasanya fase selanjutnya itu akan mencakup pada tahun periode kedua dalam pemerintahannya (apabila terpilih kembali – red). Hal ini kasat mata karena bisa jadi proyek tersebut dihentikan bilamana rezim yang baru nantinya menganggap proyek tersebut tidak sejalan yang diinginkan. Alhasil periode kepemimpinan mirip yang terjadi seperti zaman orde baru dimana ada istilah “ganti menteri (pendidikan – red), biasanya ganti kurikulum”. Bila ini terjadi, yang dirugikan tentunya rakyat. Hal lain yang juga dilakukan oleh petahana adalah mendadak memperbaiki infrastruktur seperti jalan, pasar, sarana ibadah, sekolah, yang dilakukan di masa injury time masa kepemimpinan atan menjelang pilkada. Ini untuk mengingatkan kembali bahwa bilamana para memilih kembali memilih sang petahana, maka perbaikan infrastruktur berikutnya akan seperti ini. Padahal membangun dan memelihara infrastruktur merupakan kewajiban setiap pemimpin dimana rakyatnya berada. Tidak peduli apakah di tempat itu ada berapa persen yang memilihnya atau tidak. Strategi ini efektif untuk tataran masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan untuk kaum menengah ke atas, kecendrungan mereka adalah kepastian program yang smart dan bisa dibuktikan secara nyata di lapangan.

Menguasai DKI = Menguasai Indonesia?

Zaman kolonial dikenal istilah, kalo mau menguasai Indonesia, maka kuasailah pulau Jawa. Nampaknya perlu diklarifikasi lagi Jawa yang mana? Apakah Jawa Barat termasuk juga Jawa? Ada yang bilang bahwa Jawa Barat merupakan provinsi di pulau Jawa tapi secara kesukuannya adalah Sunda. Begitu juga dengan DKI yang secara kesukuan identik dengan Betawi. Sinyalemen barang siapa yang menguasai DKI (jadi Gubernur DKI – red), terbukti dengan jabatan marathon yang pernah diduduki presiden RI ke 7 sekarang ini. Road map from Major, Governor, and than became the President tidak terbantahkan. Jadi wajar kalo success story ini bakal diikuti oleh banyak para pemimpi untuk juga menjalani hal yang sama. Diantara sekian banyak para pemimpi itu adalah Yusril Ihza Mahendra. Sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia yang menganut budaya Timur bahwa calon pemimpin itu enggak boleh show up. Masyarakat lebih suka calon pemimpin yang rendah hati dan sederhana. Bahkan ada joke mengatakan semakin calon pemimpin itu diremehkan atau dilecehkan oleh maka simpati masyarakat akan meningkat. Banyak calon pemimpin DKI (selanjutnya disebut Pemimpi – red), ketika ditanya insan pers; apakah Anda berniat atau berminat (sama saja) untuk menjadi Gubernur DKI tahun 2017? Kebanyakan mereka akan menjawab dengan nada merendah. Nanti dululah. Lihat apakah ada partai pengusunglah. Mau melihat animo masyarakatlah. Sekali lagi mereka tidak serta merta menjawab “YA”. “Ya, saya siap menjadi Gubernur DKI Periode 2017-2022!” Mengapa?  Para pemimpi itu masih malu-malu kucing. Takut bakal ‘dihajar’ para kompetitor (pemimpi lainnya – red). Iya kalo ada partai yang meminang. Iya kalo suara partai yang mendukung/meminang itu mencukupi. Iya apabila jalur independen memenuhi persyaratan. Iya bilamana amunisi alias gizi alias keuangan mendukung, bla bla bla. Alhasil para pemimpi itu hati-hati sekali dalam menanggapi pertanyaan tentang kesiapan mereka bertarung di pilkada DKI 2017 nantinya. Bilamana para pemimpi itu masih bersikap demikian, malah menguntungkan pihak petahana. Mengapa? Secara psikologis, di alam pikiran bawah sadar masyarakat bahwa kompetitor petahana masih cari partai atau dukungan ke sana kemari. Sementara gue (petahana – red) sudah eksis dan bekerja. Yang lainnya masih sibuk cari biduk dan masih dalam tataran wacana. Jadi saya (petahana)-lah yang paling cocok untuk Anda pilih!
Lalu ada seorang anak bangsa bernama Yusril Ihza Mahendra yang mendadak memproklamirkan diri sebagai calon Gubernur DKI Periode 2017-2022. Cius nich Bang? Belum jelas partai mana saja secara resmi memberikan dukungan (yang pasti PBB sudah ya...). Keren. Kalo PBB saja sudah mendukung. Pastilah Amerika, Uni Eropa dan Jepang manut wae, he..he. It’s just kidding! Benar saja. Tidak beberapa lama kemudian sang petahana Gubernur DKI langsung komen bahwa Bang Yusril ngebet jadi Gubernur DKI lantaran pengen jadi Presiden. Nah, lu? Aneh ya? Masa jadi Presiden enggak boleh? Emangnya yang nuduh ngebet jadi Presiden enggak minat jadi Presiden juga? Bukankah existing president dulunya bilang pernah bilang “I don’t think about that (to be a President –red)”  setiap ditanya wartawan (?) – meskipun aura masyarakat Indonesia sudah bisa menebak bahwa ybs pastilah pengen jadi presiden.
Yang saya acungi jempol adalah tanggapan Bang Yusril tatkala petahana Gubernur DKI menyebutnya bahwa jabatan DKI 1 merupakan batu loncatan Presiden RI. Dengan senyumnya yang khas Bang Yusril menyatakan IYA bahwa ia bermimpi menjadi DKI 1 bla-bla, Insya Allah menjadi RI 1. Hingga saat ini tanggapan masyarakat masih rata-rata air atau datar saja. Keberanian mengungkapkan ke publik bahwa dia ingin jadi gubernur DKI dan juga pengen jadi Presiden adalah luar biasa. Ini bukan arogan. Hal ini menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi dan kesiapan mental untuk bertarung. Meskipun demikian, Bang Yusril pernah dinasehati oleh sahabatnya agar tidak meniru mantan gubernur DKI sebelumnya yang meninggalkan jabatannya untuk mengejar jabatan yang lebih tinggi. Tukang becak saja pernah mencalonkan diri jadi Gubernur DKI, moso’ mantan Menteri enggak boleh? Terus adakah yang salah bilamana seorang Gubernur DKI yang belum habis masa jabatannnya – kemudian ikut bertarung Pilpres dan menjadi Presiden RI? Justru sejarah telah membuktikannya.

Mendayung Biduk ke Hilir

Selain ada peluang DKI 1 bisa menjadi RI 1, saat ini sudah ada juga the second man alias wakil kepala daerah yang karena sesuatu dan lain hal tidak lagi menjadi menjabat – akhirnya jabatan tersebut beralih kepadanya. Wakil Gubernur Banten misalnya. Fenomena ini menarik untuk ditelaah mengingat selama ini orang tidak kepikiran bahwa maybe some day, sang kepala daerah tersebut bisa saja diberhentikan menjadi bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden sekalipun. Nah, peluang orang kedua (second man) tersebut menjadi terbuka lebar. Saya yakin pihak partaipun sekarang juga sudah mempertimbangkan orang yang bakal diusung (apakah nomor 1 atau 2), masing-masing punya peluang untuk tetap menjadi 1 & 2 selama periode jabatan, atau bilamana nomor 1 berhenti digantikan nomor 2. Istilah yang tepat bagi sang wakil yang menggantikan posisi menjadi orang nomor 1 tersebut diibaratkan ‘mendayung biduk ke hilir’ alias tinggal melanjutkan saja.

Yang perlu dipertimbangkan saat ini bagi para pemimpi DKI 1 adalah kekuatan sosial media berikut gerakan di belakangnya. Jadi sah-sah saja bilamana saat ini sudah dibuat tag #Yusrilsahabatku;#Yusrilgubernurku;#Yusrilkoncoku atau #Yusrilkawanku, de el el. Menurut pengakuan tim sukses salah satu calon gubernur DKI 2012 dan Pilpres 2014 lalu bahwa ia pernah menawarkan kampanye lewat media sosial, tapi sang capres lebih senang memilih kampanye menggunakan pendekatan langsung ke pemilih. Padahal menurutnya, kekuatan media sosial saat ini merupakan kekuatan yang diperhitungkan selain media massa atau elektronik.
Menurut hemat saya, pilkada DKI 2017 nanti bilamana sang petahana tetap mencalonkan diri, untuk penghematan biaya pilkada – sebaiknya cukup 2 calon saja. Misalnya Yusril vs Petahana. Bilamana hal ini terjadi tentulah sangat menarik. Spanduk dan baliho bakal rame dengan tulisan berikut: Datanglah  Rame-Rame ke TPS Pilgub DKI 2017. Pilihlah antara Laksamana “Chengho” Yusril vs Ahok...


Jumat, 12 Februari 2016

Dicari: "Pendekar Asli" Betawi




Ada seletukan salah satu bakal calon Gubernur DKI tahun 2012 lalu; bahwa para calon luar Jakarta dianggap sebagai orang yang 'mengadu nasib' di ibukota. Mirip-mirip lagu 'siapa suruh datang Jakarta,' begitulah. Meskipun masih sekitar dua tahun lagi pilgub DKI, namun para pengadu nasib (governor-seeker) sudah melakukan tebar pesona maupun testing the water terhadap animo masyarakat Jakarta terhadap popularitas dan akseptabilitas si empunya niatan tersebut. Mulai dari incumbent gubernur (DKI-red) termasukjuga  incumbent walikota non DKI, politisi, pengusaha, bahkan artis bakal ikut meramekan helatan akbar menuju DKI 1. Tulisan ini bukan untuk menebarkan SARA; karena setiap kali kampanye pilgub selalu ada pihak-pihak tertentu yang menghembuskan SARA tersebut. Tapi 'pendekar asli' Betawi bukan SARA atau SALAH bukan?

Meskipun saya bukan orang Betawi, namun saya agak sedih bilamana orang Betawi yang notabene sejak dulu terkenal dengan kependekarannya -- justru 'kurang terdengar' gaungnya sebagai calon DKI 1 yang akan digadang-gadangkan (baik independen maupun lewat jalur partai), mengapa? Biasanya di daerah luar DKI, anggap saja provinsi tetangga (Jabar-red); saya yakin sebagian besar rakyat tanah Pasundan menanam niat dan tekad bahwa calon gubernur mereka (bukan calon wakil gubernur-red) adalah putera terbaik dari tanah Pasundan. Kata "terbaik" di sini meliputi dari sisi profesionalisme (meliputi keilmuan dan pengalaman memimpin) yang mumpuni, relegius, paham akar budaya masyarakat Jawa Barat dan lain-lain. Begitu juga untuk wilayah Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan -- itu sebagian contoh yang dapat disampaikan. Ini keniscayaan dan bukan SARA. Namun hal itu berbeda untuk konteks Jakarta, karena Jakarta merupakan miniatur Indonesia. Dan kabarnya para pemilih Jakarta lebih rasional dan dan pintar katanya...

Saya masgul lantaran memandang calon Betawi Asli ("Pendekar Asli" Betawi-red) masih menggunakan kaca mata lama alias melihat zamannya Pendekar Si Pitung dan Babe Benyamin (mohon maaf  sebelumnya kepada keluarga Babe Benyamin yang saya cintai...). Apakah orang Betawi sekarang kagak ade nyang pinter-pinter atau pernah menjadi juragan alias CEO di perusahan ternama? Atau kagak ade nyang memiliki bintang di bahu bajunye alias jenderal? Pastilah sudah banyak orang Betawi sekarang ini dengan seabreg pengalaman dan kepiawaiannya.

Kekhawatiran saya yang mendasar adalah para "pengadu nasib" di Jakarta itu (calon DKI 1), sebagian juga incumbent pejabat publik di daerahnya. Aji mumpung mengadu nasib sebagai calon gubernur DKI merupakan preseden jelek bagi kehidupan demokrasi karena selain incumbent tersebut terikat sumpah jabatan untuk tetap menjalankan amanah sebagai kepala daerahnya sampai tuntas, namun di sisi lain 'siapa tahu' naik pangkat ke jenjang karir yang lebih tinggi itu merupakan opportunity yang jarang-jarang ada bukan? Okelah. "Kebiasaan" bilamana tidak jadi terpilih akan kembali ke posisi semula juga meninggalkan kesan yang buruk, kenapa? Boleh jadi ia menjadi pejabat publik di daerahnya yang sekarang bukanlah karena ia benar-benar ingin menjalankan amanah jabatan hingga tuntas, tapi sekaligus coba-coba cari peluang di daerah lain agar dapat jabatan yang lebih bergengsi...

Mengapa harus "Pendekar Asli" Betawi? Saatnya putera terbaik Betawi 'membangkitkan batang terandam' agar dapat percaya diri untuk melenggang menuju kursi DKI 1. Saya memimpikan pemilihan gubernur DKI tahun 2017 nanti diibaratkan seperti kontes abang-none Jakarta -- dimana peserta adalah orang-orang muda Betawi, ganteng dan cantik, cerdas, relegius, berbudaya, dan dapat diandalkan dan dibanggakan semua. Wallahu a'lam bissowwab...