Ada anekdot pada waktu rezim Saddam Husein masih berkuasa,
bahwa mengapa kecenderungan tentara Irak saat itu suka ‘berperang’ dengan
negara tetangganya? Salah-satu yang menjadi sorotan adalah bahwa penguasa Irak
itu mempunyai tentara yang sangat handal dan well trained. Jadi dengan dukungan
training dan dana yang cukup, maka tentara tersebut sangat profesional dan
loyal terhadap Saddam Husein. Nah, salah-satu yang harus diperhatikan bila
punya tentara yang profesional dan loyal adalah battle field bagi tentara tersebut. Jadi bila battle field itu tidak ada, maka harus segera dicari siapa musuhnya.
Bagaimana jika tidak ada musuh dan battle
field-nya? Jawabannya adalah bahwa tentara tersebut justru akan menyerang
balik tuannya sendiri!
Tatkala perusahaan pembuat pesawat Indonesia (PT
Dirgantara Indonesia) justru banyak mem-PHK karyawan, maka analoginya mirip
yang terjadi di Irak tadi, hanya saja mereka bukan tentara tetapi tenaga juru
tera (insinyur) terbaik yang dimiliki bangsa ini. Akibatnya mereka yang
terdidik tersebut (well trained people)
akan mencari pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki (ahli
rancang bangun pesawat komersil atau militer). Hal yang manusiawi ketika ilmu
dan keahlian kita sebagai anak bangsa kurang atau tidak dihargai oleh negeri
sendiri, maka merekapun akan ‘bertebaran’ di seantero jagad bumi untuk
melanjutkan kehidupan dan menjual skills
mereka. Adalah berkah sekaligus keuntungan bagi Perusahaan yang berhasil
merekrut dan mempekerjakan mantan karyawan PT DI tersebut untuk berkarya di
Perusahaan mereka. Mereka (perusahaan perekrut – red) tidak usah repot-repot
mentraining karyawan tersebut karena mereka sudah teruji pada perusahaan
sebelumnya. Sayangnya, tatkala Indonesia
membutuhkan pesawat canggih (komersial atau militer), lagi-lagi kita harus
berurusan dengan pembuat pesawat (aircraft)
yang sudah terkenal di dunia – yang nota benenya karya tersebut juga dihasilkan
oleh anak bangsa Indonesia
sendiri. Kita harus membayar mahal pembelian pesawat yang high tech tersebut karena memang man hours pekerjanya termasuk yang termahal di dunia. Tentunya akan
lain ceriteranya bila para ahli pembuat pesawat terbang tersebut dipekerjakan
di tanah air mereka sendiri. Namun apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur.
Kondisi industri dirgantara negara lain semakin canggih (karena juga didukung
tenaga ahli dari eks karyawan pembuat pesawat Indonesia), sedangkan kondisi
pabrik milk bangsa sendiri justru sebaliknya.
Sejarah membuktikan bahwa akan terjadi capital flight bila kondisi suatu negara
bakal merugikan para investornya. Hanya saja dalam capital flight perpindahan hanya berupa uang atau investasi saja,
sedangkan well trained people flight
lebih dari itu! Kerugian yang bakal dialami oleh negara yang orang terdidiknya
diambil oleh negara lain adalah mereka kehilangan human invest yang merupakan
intangible asset bagi negara. Saatnya negarawan negeri ini berpikir untuk
membuat anak negeri yang terdidik di negeri ini tidak lari atau bekerja di luar
negeri. Bila tidak dipikirkan dari sekarang, setidaknya ada 2 (dua) hal yang
akan menjadi konsekwensinya. Bila kita mengirimkan tenaga kerja yang low
quality alias unskilled, maka akan terus terulang banyaknya TKI atau TKW yang
menjadi korban di luar negeri. Sebaliknya bila well trained people tidak
mendapatkan pekerjaan yang layak di dalam negeri, maka bersiap-siaplah kita
akan menjadi bangsa pasar bagi produk-produk berkualitas yang nota bene
dihasilkan oleh tenaga kerja bangsa sendiri dengan harga yang lebih mahal tentunya. Semoga hal ini tidak terjadi!
Banuayu, 15 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar