Selasa, 22 Mei 2012

Contra Flow Investment (Bagaimana China Membangun Infrastruktur di Afrika) Bagian Kedua Tulisan

Bagian Kedua

Sudah jamak diketahui bahwa produk film barat khususnya Hollywood merupakan industri kapitalis dan global dan high technology. Ujung-ujungnya tentunya high cost. Baru-baru ini pihak BBC TV memperlihatkan bagaimana untuk membuat film berdurasi beberapa menit tersebut ternyata membutuhkan biaya yang cukup mahal. Kreativitas tim akhirnya muncul dengan menggunakan filosofi biaya yang optimal dengan hasil yang maksimal. Hal yang sama juga dilakukan oleh crew production house di India yang membuat film action dengan modal tidak semahal biaya yang dikeluarkan oleh produser film Hollywood. Pendek kata kreativitas harus diutamakan ketika berhadapan dengan pesaing yang lebih dulu eksis dan mempunyai teknologi dan modal yang lebih besar. 

"Bila anda tidak bisa lebih besar, maka sebaiknya anda lebih cepat. Atau setidaknya bila keduanya tidak bisa dipenuhi, maka setidaknya anda haruslah lebih murah"

Mungkin hal inilah yang mendasari bagaimana investasi China merambah demikian massive di benua Afrika. Contra flow kedua dalam tulisan ini menunjukkan bahwa segmentasi investasi mutlak dilakukan bila kita tetap mau melakukan ekspansi modal ke negara lain yang nota benen juga mempunyai banyak pilihan investasi dari negara lain. Pilihan menggunakan teknologi tepat guna dan low cost ditambah dengan faktor kemudahan dalam 'barter' investasi, sehingga 'tawaran' yang diajukan oleh China lebih reasonable dibandingkan dengan kompetitor (investor) lainnya.

Keunggulan lainnya bahwa China secara budaya dan kontinental tidak terlalu jauh berbeda dengan Afrika. Faktor kemiripan sejarah masa lalu yang juga sama-sama merasakan akibat penjajahan -- hal mana sebagian besar negara-negara Afrika adalah merupakan daerah bekas jajahan bangsa Eropa. Stigma para penjajah akan mengeksploitasi hasil bumi dari daerah jajahan tentunya tidak begitu saja dilupakan oleh bangsa-bangsa yang pernah mengalami penjajahan itu sendiri. Meskipun tidak dapat dipungkiri posisi tawar negara yang low technology and capital dapat di'kendalikan' oleh negara yang berposisi sebagai investor.

Pendekatan low cost dan kemudahan pembayaran (bisa barter - red) juga diiringi dengan pembuktian bahwa bangsa China merupakan bangsa yang bisa bekerja sama dengan negara manapun dengan overhead yang rendah bila hal yang sama dilakukan oleh pihak barat misalnya. Dalam suatu wawancara BBC TV dengan pekerja China yang mengerjakan proyek infrastruktur di salah satu negara Afrika -- sang kontraktor menjelaskan bahwa mereka bekerja sangat disiplin dan keras. Mereka jarang berinteraksi (inklusif) dengan penduduk lokal mengingat sifat pekerjaan mereka yang sangat dikejar target. Namun dengan teknologi IT saat ini -- kerinduan pekerja China terhadap keluarganya di kampung halaman yang berjarak ribuan mil dapat diatasi.

Adalah hal yang mungkin saja terjadi bila ada pengusaha swasta nasional atau BUMN RI yang mendapatkan kontrak pembangunan mega proyek (infrastruktur) di negara-negara Afrika atau Arab yang menyedot tenaga kerja profesional yang banyak. Bukan tidak mungkin juga bila contra flow investment ini juga dimanfaatkan oleh Indonesia, maka suatu saat kita akan banyak mengekspor tenaga-tenaga ahli konstruksi yang teruji dari segi kualitas dan tentunya dengan effective cost yang bersaing. Daripada kita mengeksport TKI atau TKW yang low quality dan tentunya low protection (safety and regulation), alangkah baiknya mindset ekspor tenaga kerja dibuat perencanaan yang strategis (per kawasan atau G to G) dengan negara yang membutuhkan capital atau manpower dari Indonesia.

Bila China saja mampu melakukannya, kenapa Indonesia tidak bisa? Yang membedakan antara China dengan Indonesia adalah Yin dan Yang. China tidak saja piawai dalam membaca peluang dan memanfaatkannya, sedangkan Indonesia masih melihat ada treatment pada setiap opportunity yang ada. Saatnya kita harus melihat opportunity meskipun ada treatment di hadapan kita.


Banuayu, 21 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar