Kalaulah ada negara yang sukses dalam merubah perekonomian
dan mindset bangsanya -- selain bangsa Jepang, di Asia adalah Malaysia.
Mengapa Malaysia?
Rekam jejak bangsa Jepang untuk dapat menerobos dominasi negara besar seperti
Amerika Serikat dan Jerman (Eropah), membuat bangsa Jepang harus putar otak
agar negeri dan produk mereka dikenal di dunia internasional. Menurut pengakuan
pakar sejarah bahwa masuknya Jepang ke kancah PD II saat meluluh lantakkan Pearl Harbour adalah dalam rangka
memberikan shock therapy kepada
Amerika bahwa bangsa Jepang tidak bisa dianggap sebelah mata oleh mereka.
Dengan kemampuan armada militer yang mereka miliki, Jepang telah mengobarkan
perang ke wilayah Pasifik dimana Amerika menjadi digdayanya.
Setelah
usai PD II dimana negara yang kalah perang oleh Sekutu yakni Jerman dan Jepang,
sudah hancur lebur infrastruktur dan ekonominya. Korea
(Selatan) juga termasuk negara yang luluh lantak setelah usai Perang Korea antara
Utara yang didukung komunis dan Selatan yang dibantu Amerika. Beberapa decade setelah PD
II, Jepang bangkit dan kembali Berjaya dengan ekonomi dan teknologinya. Begitu
juga dengan Korea Selatan. Posisi ekonomi Korsel saat ini di Asia sudah
membayang-bayangi Jepang (disamping China dan India).
Malaysia ’belajar’
dari Jepang dan Korea ’bagaimana’
kedua bangsa itu meraih pencapaian besar saat ini karena mereka melakukan duplikasi dan plagiatisasi dari negara-negara
yang sudah sukses sebelumnya. Untuk menguasai teknologi logam untuk industri
otomotif, bangsa Jepang harus ’belajar’ ke Jerman selama 20 tahun. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Korea Selatan ketika membangun industri otomotif
mereka. Malaysia juga ingin seperti bangsa Jepang yang maju dan terpandang.
Maka program plagiatisasipun mereka lakukan dengan seksama. Bahkan sekarang ini
Malaysia sudah punya visi Malaysia 2050 dimana untuk pencapaian tersebut mereka
akan melakukan plagiatisasi bagaimana mindset
orang Jepang dalam bekerja (misalnya disiplin, kerjasama tim, loyalitas).
Jadi sebenarnya yang dilakukan oleh Malaysia saat ini tidak lebih dari cara
mudah dan sederhana dengan meniru ’apa’
dan ’bagaimana’ bangsa Jepang menjadi bangsa yang maju.
Tidak ada yang salah kalau langkah plagiatisasi (positif)
dilakukan demi kemajuan bangsa. Toch,
tidak ada bangsa yang hidup sendiri ditengah globalisasi ini. Hanya saja
janganlah plagiatisasi itu dilakukan membabi buta dan melanggar etika hukum
internasional. Sebagai contoh kecil, Malaysia mengklaim produk batik, angklung,
tari-tarian sebagai produk asli Malaysia. Padahal semua itu jelas-jelas milik
bangsa Indonesia. Tapi di sisi lain kita jangan membenci Malaysia yang telah
sukses melakukan plagiatisasi untuk kemajuan bangsanya. Plagiatisasi (negatif)
yang dilakukan oleh Malaysia tidaklah perlu ditiru karena membuktikan
mereka (Malaysia) ingin maju tapi kurang
didukung kreatifitas dan inovasi. Namun mereka memiliki semangat, disiplin,
kerja keras dan kepemimpinan yang baik sehingga apapun yang mereka lakukan
untuk negara mereka akan berujung..” right or wrong is my country...”
Hal terakhir sangat kuat dimiliki oleh bangsa Indonesia
ketika menghadapi penjajah dan mempertahankan setiap jengkal tanah NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar