Sewaktu masih ada Uni Soviet, Amerika sempat sesumbar
dengan program Star Wars-nya. Namun
setelah Uni Soviet bubar, maka sempat terjadi Perang Teluk tahun 1991. Saat pak
BJ Habibie sempat ditanya wartawan apakah yang sebenarnya terjadi di Teluk
Persia itu? Saat itu pak Habibie yang masih menjadi Menristek RI menyatakan
bahwa sebenarnya yang terjadi adalah perang memperebutkan resources yakni Energi!
Belakangan gencar negara-negara di dunia ini
mengkampanyekan untuk beramai-ramai mengunjungi negaranya. Mulai dari negara
tetangga Singapura, Malaysia, Australia, India bahkan Korea telah membuat road map industri parawisata mereka
untuk mengantisipasi abad ke 21. Mengapa hal ini dianggap strategis? Jawaban
sederhana adalah bahwa industri jasa (pariwisata) merupakan industri yang tahan
banting alias tidak terpengaruh oleh gejolak inflasi. Bahkan demi meraup
keuntungan negara jiran Malaysia tidak malu-malu mengklaim bahwa budaya yang
mereka iklankan di media massa internasional merupakan budaya milik bangsa
mereka sendiri. Padahal budaya tersebut milik bangsa Indonesia. Mulai dari
tarian, batik, reog bahkan lagu ‘rasa sanyange’ mereka klaim sebagai
milik bangsa Malaysia. Bahkan dalam filem Upin dan Ipin versi bahasa Inggris
yang ditayangkan di Cartoon Netwxxx,
ketika lagu ‘rasa sanyange’ dialunkan, teks bahasa Inggrisnya dihilangkan alias
tidak ada. Namun ketika ada percakapan (bahasa Melayu), hal tersebut ada teks
terjemahannya. Kita semua sudah tahu apa maksudnya bukan?
Untuk menuju Negara Pariwisata atau Tourism Country tidaklah mudah. Ambil contoh daerah wisata yang
terkenal di Indonesia yakni pulau Bali. Kenapa Bali jadi primadona pariwisata
Indonesia? Setidaknya ada 3 (tiga) hal
utama yang membuat Bali menjadi destinasi wisatawan domestik maupun manca
negara. Pertama, faktor budaya dan
masyarakatnya. Kedua, keindahan alam dan heritage.
Ketiga,
wisata belanja (kerajinan dan kuliner). Namun semua faktor di atas tidak akan
berjalan dengan baik bila tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai.
Secara garis besar industri pariwisata haruslah digagas
dalam konteks negara, bukan dalam konteks ’apa adanya’ seperti sekarang ini.
Bila Indonesia punya ikon Bali atau Jogyakarta, maka sebaiknya setiap kabupaten
dan kota di Indonesia punya andalan wisata masing-masing. Untuk menuju ke
masyarakat tourism minded dibutuhkan
langkah-langkah strategis yakni dengan memperbaiki infrastruktur menuju ke
lokasi atau daerah wisata tersebut. Masyarakat juga harus diberikan penyuluhan
tentang pentingnya arti kehadiran wisnu atau wisman ke daerah mereka. Oleh
sebab itu para pejabat daerah diwajibkan untuk ’belajar’ ke daerah wisata yang sudah mapan seperti Jogya atau Bali
misalnya. Meskipun setiap daerah mempunyai karakter yang berbeda namun satu hal
yang harus dicatat bahwa bangsa Indonesia yang katanya mempunyai budaya ’ramah’
tidak akan banyak membantu bila faktor keamanan dan infrastruktur tidak
dibangun atau dijaga dengan baik.
Konsep Pariwisata Nasional haruslah ditata dengan
sistematis. Kalau para koruptor saja bisa berpikir dan bertindak sistemik, semestinya
para pejabat publik negeri ini harus lebih ’lihai’
dari para koruptor itu.Mulai hari ini marilah kita rame-rame mengunjungi daerah wisata di daerah kita masing-masing.
Disamping agar lebih kenal daerah wisata negeri sendiri, juga dapat
meningkatkan perekonomian daerah sekitarnya. Kalau bukan kita yang memulai,
siapa lagi. Kalau tidak kita memulainya sekarang ini ; ”Apa Kata Dunia...?”
Banuayu, 15 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar