Seorang pengamat mengatakan bahwa setelah era reformasi –
terjadi ’pemerataan’ korupsi. Selama ini yang sering disorot korupsi di
pemerintahan, sedangkan pihak lain (legislatif dan yudikatif) belum muncul di
hadapan publik. Salah satu penyebabnya adalah faktor kebebasan pers di era
reformasi membuat semua tindak-tanduk pejabat publik dapat diakses oleh
masyarakat. Setelah ada beberapa anggota wakil rakyat didakwa sebagai koruptor
dan telah dipidana, sekarang ini muncul lagi korupsi di level pejabat publik di
daerah dan departemen. Banyak pejabat setingkat walikota dan bupati bahkan
gubernur di negeri ini yang akhirnya berurusan dengan KPK dan dipidana karena
korupsi. Tidak salah bila ada yang berpendapat bahwa setiap orang berlomba-lomba
menjadi pejabat publik (anggota dewan, walikota/bupati hingga gubernur) karena
peluang untuk menjadi kaya terbuka lebar. Mengapa hal ini terjadi?
Dari catatan KPK dan ICW menyebutkan bahwa terjadi
peningkatan yang signifikan kekayaan seorang pejabat sebelum dan sesudah ia
menduduki jabatan publik tersebut. Bahkan ada pendapat juga bahwa perebutan
jabatan publik tersebut tak obahnya ’lowongan kerja baru’ baru mereka yang
ingin menjadi kaya dalam waktu empat atau lima tahun ke depan. Dengan kewenangan
yang dimilikinya, seorang pejabat banyak sekali ’peluang’ yang dapat
’diciptakan’ sehingga ia bisa memperkaya diri sendiri, golongan atau kelompok.
Bila seorang penulis dengan kepiawaiannya dapat
menghasilkan tulisan yang berkualitas kemudian hasil tulisan itu menghasilkan
uang, maka jadilah ia seorang writerneurship.
Seorang pengusaha yang berhasil pastilah ia seorang entrepreneurship. Mindset seorang pengusaha atau entrepreneur adalah menggunakan
resources yang ia miliki (skills, capital
dan networks) untuk menghasilkan uang
sebanyak mungkin. Dan ini sah-sah saja. Yang menjadi pertanyaan bagaimana bila
seorang yang berprofesi seorang pengusaha dan kemudian menjadi pejabat publik.
Akankah ia berperilaku sebagai pengusaha juga di dalam menjalankan amanah
jabatan publik tersebut? Dalam berbisnis atau berwirausaha dikenal istilah overhead. Bila seorang pejabat publik
sebelum ia menjabat, maka ia akan dikenai biaya ’overhead politik’ berupa biaya mahar politik (melamar ke partai
tertentu), biaya tim sukses dan biaya kampanye. Nah, bila ia terpilih – mau
tidak mau ’overhead politik’ tersebut
harus diperhitungkan selama masa jabatannya tersebut. Bila overhead politik
tersebut dirogoh dari koceknya pribadi atau pihak lain, maka pejabat publik
tersebut harus berusaha untuk menutupi biaya overhead tersebut secepat agar
selanjutnya ia bisa balik modal atau BEP bahkan mendapatkan ’profit’ dengan jabatan publik yang
disandangnya tersebut. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam rangka
kesuksesannya tersebut, maka biaya ’overhead’
semakin tinggi dan tingkat ’ketergantungan’ kepada orang yang ’mengusungnya’
tersebut akan besar. Lalu, masihkah kita berharap selama memangku jabatan
publik tersebut sang pejabat akan ’memikirkan’ kesejahteraan rakyat?
Bila fenomena ini terus berlangsung, maka negeri ini akan
banyak dibanjiri oleh pejabat publik atau politisi yang bermental ’cari untung’ atau politicianeurship. Ciri-cirinya kasat mata. Mulai dari menerapkan
komisi pada setiap proyek yang ada, membuat proyek fiktif, mark up biaya proyek atau proyek yang useless bagi kepentingan rakyat. Lebih parah lagi bila mindset balas budi terhadap orang atau
institusi yang telah ’berjasa’ menjadikannya pejabat publik tersebut membuat
sang pejabat tersebut ’terpasung’ secara psikologis – hingga tidak fokus lagi
mengurus rakyat yang telah memberikan amanat tersebut.
Marilah kita waspadai dan hindari memilih atau menitipkan
amanat kepada pejabat publik yang bercorak Politicianeurship
tersebut. Waspadalah....., waspadalah.....!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar