Rabu, 11 April 2012

Waspadai Politicianeurship

Seorang pengamat mengatakan bahwa setelah era reformasi – terjadi ’pemerataan’ korupsi. Selama ini yang sering disorot korupsi di pemerintahan, sedangkan pihak lain (legislatif dan yudikatif) belum muncul di hadapan publik. Salah satu penyebabnya adalah faktor kebebasan pers di era reformasi membuat semua tindak-tanduk pejabat publik dapat diakses oleh masyarakat. Setelah ada beberapa anggota wakil rakyat didakwa sebagai koruptor dan telah dipidana, sekarang ini muncul lagi korupsi di level pejabat publik di daerah dan departemen. Banyak pejabat setingkat walikota dan bupati bahkan gubernur di negeri ini yang akhirnya berurusan dengan KPK dan dipidana karena korupsi. Tidak salah bila ada yang berpendapat bahwa setiap orang berlomba-lomba menjadi pejabat publik (anggota dewan, walikota/bupati hingga gubernur) karena peluang untuk menjadi kaya terbuka lebar. Mengapa hal ini terjadi?
Dari catatan KPK dan ICW menyebutkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan kekayaan seorang pejabat sebelum dan sesudah ia menduduki jabatan publik tersebut. Bahkan ada pendapat juga bahwa perebutan jabatan publik tersebut tak obahnya ’lowongan kerja baru’ baru mereka yang ingin menjadi kaya dalam waktu empat atau lima tahun ke depan. Dengan kewenangan yang dimilikinya, seorang pejabat banyak sekali ’peluang’ yang dapat ’diciptakan’ sehingga ia bisa memperkaya diri sendiri, golongan atau kelompok.

Bila seorang penulis dengan kepiawaiannya dapat menghasilkan tulisan yang berkualitas kemudian hasil tulisan itu menghasilkan uang, maka jadilah ia seorang writerneurship. Seorang pengusaha yang berhasil pastilah ia seorang entrepreneurship. Mindset seorang pengusaha atau entrepreneur adalah menggunakan resources yang ia miliki (skills, capital dan networks) untuk menghasilkan uang sebanyak mungkin. Dan ini sah-sah saja. Yang menjadi pertanyaan bagaimana bila seorang yang berprofesi seorang pengusaha dan kemudian menjadi pejabat publik. Akankah ia berperilaku sebagai pengusaha juga di dalam menjalankan amanah jabatan publik tersebut? Dalam berbisnis atau berwirausaha dikenal istilah overhead. Bila seorang pejabat publik sebelum ia menjabat, maka ia akan dikenai biaya ’overhead politik’ berupa biaya mahar politik (melamar ke partai tertentu), biaya tim sukses dan biaya kampanye. Nah, bila ia terpilih – mau tidak mau ’overhead politik’ tersebut harus diperhitungkan selama masa jabatannya tersebut. Bila overhead politik tersebut dirogoh dari koceknya pribadi atau pihak lain, maka pejabat publik tersebut harus berusaha untuk menutupi biaya overhead tersebut secepat agar selanjutnya ia bisa balik modal atau BEP bahkan mendapatkan ’profit’ dengan jabatan publik yang disandangnya tersebut. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam rangka kesuksesannya tersebut, maka biaya ’overhead’ semakin tinggi dan tingkat ’ketergantungan’ kepada orang yang ’mengusungnya’ tersebut akan besar. Lalu, masihkah kita berharap selama memangku jabatan publik tersebut sang pejabat akan ’memikirkan’ kesejahteraan rakyat?

Bila fenomena ini terus berlangsung, maka negeri ini akan banyak dibanjiri oleh pejabat publik atau politisi yang bermental ’cari untung’ atau politicianeurship. Ciri-cirinya kasat mata. Mulai dari menerapkan komisi pada setiap proyek yang ada, membuat proyek fiktif, mark up biaya proyek atau proyek yang useless bagi kepentingan rakyat. Lebih parah lagi bila mindset balas budi terhadap orang atau institusi yang telah ’berjasa’ menjadikannya pejabat publik tersebut membuat sang pejabat tersebut ’terpasung’ secara psikologis – hingga tidak fokus lagi mengurus rakyat yang telah memberikan amanat tersebut.
Marilah kita waspadai dan hindari memilih atau menitipkan amanat kepada pejabat publik yang bercorak Politicianeurship tersebut. Waspadalah....., waspadalah.....!


Banuayu, 01 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar