Jumat, 17 Februari 2012

Membeli Integritas!

Membeli Integritas!

Lho, kok integritas bisa dibeli?
Apa mungkin hal itu bisa terjadi?
Apapun profesi anda saat ini maka persoalan integritas merupakan persoalan yang mendasar. Bila anda seorang atasan, tentunya mengharapkan bawahan yang mempunyai integritas. Begitu pula sebaliknya, seorang bawahan mengharapkan mempunyai atasan yang berintegritas pula!
Lalu ketika seorang atasan mempunyai bawahan – tentunya ia berharap kinerja bawahan atau institusi yang dipimpinnya akan bagus dan berprestasi. Semakin tinggi integritas bawahan yang dipimpinnya, maka semakin besar peluang untuk mencapai target yang telap ditetapkan. Namun di sisi lain, seorang bawahan juga melihat dan menanti atasannya juga mempunyai integritas yang tinggi. Apakah mungkin suatu target atau kinerja dapat dicapai bila integritas salah satunya (atasan atau bawahan) tidak dimiliki?

Hakekatnya seorang atasan harus ’membeli’ integritas bawahannya. Mengapa. Karena selain tenaga, pikiran, skills serta perasaan -- seorang bawahan telah mempersembahkan semua itu kepada atasan, pemimpin, bahkan negara sekalipun. Beberapa waktu ini di mass media sering terdengar ada tahanan di rutan yang bebas keluar masuk sel tanpa prosedur semestinya. Bahkan ada bandar narkoba yang sudah dalam status terhukumpun masih bisa menjalankan bisnis ilegal tersebut dari dalam penjara.
Aparat hukum lainnya juga mengalami hal sama. Mulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, imigrasi bahkan instansi seperti kehutanan, kelautan, perpajakan -- terlibat dalam hal jual-beli ’integritas’ ini. Indikasinya jelas, seorang nenek mencuri sendal atau piring karena faktor ekonomi, segera diproses oleh aparat hukum ke meja hijau dan segera jatuhi hukuman penjara. Bandingkan dengan seorang koruptor kakap yang telah merampok kekayaan negara ini, dengan terseok-seok bahkan seolah-olah aparat hukum ekstra hati-hati bahkan cenderung memperlambat  proses hukumnya.

Belum pernah terekspose di media massa adanya seorang aparat hukum dengan pangkat yang rendah sekalipun, dengan tegas dan percaya diri bahwa dirinya tidak mau menerima suap karena menurutnya apa yang ia terima dari negara sudah cukup baginya. Tentunya pernyataan seperti ini sangat utopis di tengah hiruk pikuk masyarakat kita yang cenderung materialis dan hedonis saat ini.

Ceritera tentang integritas yang dibeli ini pernah terjadi ketika salah seorang khulafaur Rassydin mendatangi seorang gembala. Ia meminta agar salah seekor domba gembalaannya dapat dibeli. Namun sang gembala itu (masih remaja) mengatakan bahwa ia hanya bertugas mengembalakan domba-domba itu dan bukan untuk menjualnya. Dengan bujuk rayu dan logika, sang Khulafaur Rassydin menyatakan bahwa karena yang ia ingin beli hanya seekor domba, sementara domba-domba yang ia gembalakan berjumlah ratusan – kecil kemungkinan si empunya akan menghitung domba-domba tersebut. Bilang saja ke majikannya bahwa domba yang hilang itu karena tersesat atau dimakan serigala. Akhir ceritera, sang gembala itu tetap menolak untuk menjual domba gembalaannya meskipun diiming-imingi uang. Disamping ia hanya diberikan amanat untuk menggembalakan domba (bukan menjual – red), sang gembala menjelaskan kepada sang Khulafaur Rassydin bahwa seandainya majikannya tidak melihat, maka pasti Allah akan melihat perbuatannya!

Bila atasan tidak ’membeli’ (menerima dan menghargai) integritas bawahannya, maka pihak lain akan melihat hal ini sebagai peluang. Peluang negatif tentunya. Namun semua itu sekali lagi tergantung kepada pribadi kita masing-masing.
 Integritas yang dipunyai seseorang itu tergantung dari self values yang dimilikinya. Namun biasanya pula seorang atasan yang mempunyai integritas tinggi akan diikuti oleh bawahannya. Orang bilang ”Like Father like Son!”
Air pincuran akhirnya sampai ke pelimbahan juga. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari...


Banuayu, 14 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar