Senin, 06 Mei 2013

Memilih Pemimpin (Tanpa) Transaksi


Menjelang pemilihan presiden tahun 2014 nanti, negeri ini akan melewati masa pemilihan wakil rakyat alias pileg (pemilihan legislatif) untuk memilih calon wakil rakyat. Yang namanya wakil rakyat, mestinya merefleksikan rakyat yang diwakilinya. Oleh sebab untuk memilih wakil rakyat nantinya, mulai sekarang mesti mengingat pesan Bang Napi yang menyatakan kita harus 'waspada' dan 'waspadalah' terhadap upaya-upaya pribadi, kelompok, golongan, atau partai politik sekalipun yang menggunakan segala cara dan jurus-jurus jitu untuk menggolkan calon wakil rakyat dari partai mereka. Mengapa harus waspada? Sebab, satu suara yang Anda coblos dalam bilik suara tersebut, merupakan molekul-molekul demokrasi untuk menentukan apakah bangsa ini akan menjadi bangsa penantang bagi bangsa-bangsa lain yang sudah lebih maju dibandingkan dengan negara kita, atau justru menjadi bangsa pecundang (the loser).

Bila banyak partai politik yang mengusung publik figure, pengusaha, pengacara, atau artis sekalipun untuk meningkatkan pundi-pundi suara di legislatif -- itu sah-sah saja. Persoalannya adalah bagaimana kita bisa menggantungkan asa dan amanah kita terhadap mereka bila kita hanya melihat hard competency saja. Padahal yang namanya hard competency itu bersifat short time, mengutamakan tampilan luarnya saja. Padahal untuk mencari pemimpin itu mestinya tidak seperti memilih barang dagangan saja. Istilah pedagang adalah 'ada rupa, ada harga'. Bila Anda menginginkan barang yang bagus, tentunya Anda harus bersiap untuk membayar mahal. No lunch free! Begitulah istilah dalam dunia bisnis. Tidak ada makan siang gratis. So, bila ada rakyat dan juga calon wakil rakyat yang berpikir seperti itu, sehatkah demokrasi di tanah air kita? Sayangnya, memori pikiran rakyat kita sudah terbiasa dengan short term charging, artinya barang siapa yang memberikan sesuatu yang 'menguntungkan' bagi rakyat (sembako, pakaian, atau sumbangan lainnya) kepada rakyat (dan tentunya nilainya lebih besar dari sumbangan calon lainnya) -- ini dijadikan barometer untuk memilih. Jadi, jangan salahkan bila para caleg yang berkompetisi tersebut terdiri dari kalangan yang memiliki uang banyak, ketimbang yang hanya bermodalkan kejujuran, integritas,atau pikiran-pikiran besar untuk membawa bangsa ini ke arah kemajuan.

Anda sudah dapat membayangkan siapa dan koalisi orang macam apakah yang akan menghiasi ruang kantor atau sekolah yang ada di negeri kita (foto presiden dan wapres) di tahun 2014 nanti bila para anggota dewan yang memenangkan pertarungan di pileg tersebut memakan strategi mengikuti mindset no lunch free tersebut kepada para calon pemilihnya. Bagi penganut paham ini bahwa untuk mendapatkan gain yang lebih besar, Anda harus menginvestasikan modal yang lebih besar lagi daripada investor lainnya. Muara dari semua posisi jabatan publik tersebut akan seandainyapun mereka raih, maka hari-hari ke depan bangsa ini akan dilewati dengan transaksi-transaki yang lebih besar lagi. Lalu sebagai rakyat yang telah memilih wakil kita di lembaga legislatif dan selanjutnya mereka 'berkolaborasi' untuk memilih RI 1 -- bila terjadi descripancy dalam pelaksanaannya, masihkah kita punya 'kuasa' untuk menarik semua dukungan itu? Jawabannya: BERSAMA KITA BISA! Namun hal tersebut sulit untuk dilakukan karena kita mesti menunggu sekian tahun lagi sampai kita memilih wakil rakyat & presiden kita yang baru lagi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar