Kamis, 12 September 2013

Dicari: Partai Percaya Diri!


Galibnya orang menjadi anggota atau pengurus partai adalah untuk menjadi kader terbaik dan menduduki posisi puncak sebagai pemangku jabatan puncak di partai tersebut. Adalah aneh bin ajaib bila ada partai yang memiliki sekian banyak anggota dan (pengurus) tentunya, namun untuk mencari kader terbaik mereka -- harus 'mengimpor' dari pihak lain. Mirip-mirip ketika tanah di negeri ini sangat luas dan kebutuhan akan tahu dan tempe tergolong tinggi; ternyata ketika harga kedelai melambung tinggi; kitapun harus impor dari negara lain!

Beberapa tahun lalu partai Golkar mengadakan konvensi untuk menjaring putera-puteri terbaik bangsa untuk kelak dicalonkan sebagai capres dari parta berlambang beringin tersebut. Hal serupa diikuti oleh partai demokrat -- juga dalam rangka menjaring putera-puteri terbaik bangsa untuk kelak diusung sebagai capres dari partai berwarna biru tersebut. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataan politik di Indonesia karena begitu banyak partai, sulit bagi suatu partai untuk dapat menang mutlak dalam pileg ataupun pilpres. Oleh sebab itu pilihan melakukan koalisi menjadi suatu keniscayaan. Mungkin hanya partai yang dipimpin Wiranto yang sebelum pileg sudah berani memproklamirkan dirinya sebagai capres 2014 dari pihak partai. Hal ini perlu diapresiasi mengingat 'kerapuhan' kabinet yang dibentuk akibat koalisi dalam pencapresan. Dalam kabinet SBY-JK dan SBY-Budiono yang diusung oleh multi partai; terlihat bahwa koalisi gemuk menghasilkan kinerja partai yang lamban karena obesitas birokrasi dan sarat dengan praktik in-efisiensi dalam pengelolaan sumber daya. Mental instan sebagai pemenang dan jadi presiden, hampir dihinggapi oleh sebagian besar partai di negeri ini. Mereka akan menggunakan segala daya dan upaya agar partai dan jagoan mereka bisa menjadi orang nomor satu di republik ini. Mental serba instan ini terlihat sejak pencalegan hingga bentuk koalisi yang akan mereka lakukan. Ujung-ujungnya tidak jelas lagi siapa dan dari partai mana mereka berasal. Maklum saja, orang bisa gonta-ganti partai bila ia tidak terpilih di partai atau partai mereka tidak memenuhi electoral threshold. Sehingga jati diri sebagai orang atau partai menjadi tidak jelas. Menjadi orang partai tak obahnya seorang pialang yang memiliki mindset sebagai profit taker belaka.

Ada kisah sebuah partai di Jerman yang diawal pembentukannya bisa dikatakan sebagai partai kecil atau gurem. Namun berkat komitmen dan menegakkan visi/misi partai secara konsisten, akhirnya orang terbaik di partai mereka bisa menjadi Kanselir. Perjalanan dan penantian serta kerja keras tersebut tidak terjadi dalam 1 (satu) atau 2 (dua) kali pemilu, tapi memakan waktu 98 tahun sejak partai itu didirikan! Mungkin orang akan mencibir atau menganggap lelucon bila ada orang mau mendirikan partai dan baru bisa berkuasa setelah mendekati 1 (satu) abad. Namun fakta kelak akan membuktikan bahwa partai yang hanya memikirkan kepentingan sesaat (menjadi penguasa an sich) -- diibaratkan partai yang hanya memiliki akar serabut atau buah yang banyak saja. Kepercayaan diri sebagai kader partai yang menjunjung tinggi visi dan misi memang membutuhkan keuletan, kesabaran, dan komitmen yang tinggi ditingkat pengurus atau pendiri partai. Kita belum melihat ada partai di negeri ini yang didirikan untuk mencapai cita-cita bersama rakyat dan tidak peduli berapa lama orang di partai mereka yang akan menjadi orang nomor satu di republik ini....

Minggu, 08 September 2013

The Power of Commitment

Menjadi seorang yang memegang janji atau commitment tidaklah mudah. Seorang bung Hatta telah menunjukkan komitmennya tatkala harus menjalani hukuman dari sang kakek dengan harus berdiri di bawah pohon karena suatu kesalahan, dilakoninya tatkala beliau baru berusia 6 tahun. Saat ini sangat sulit untuk mencari seseorang pemimpin yang komit dengan apa yang pernah ia janjikan. Kalaupun ada, itu hanya sebatas ucapan di mulut atau kampanye di media surat kabar atau elektronik. Yang miris kita lihat sekarang bahwa komitmen para pemimpin negeri ini masih dilatarbelakangi oleh aji mumpung. Mumpung masih menjabat, mumpung masih mendapatkan fasilitas dari negara, mumpung masih tenar di masyarakat. Lihatlah berita di surat kabar atau media elektronik yang mensinyalir para pejabat publik (yang nota bene adalah pejabat ekskutif) yang ketika masih menjabat, dengan dalih hak dan kepentingan rakyat -- akhirnya menggunakan aji mumpung mereka dengan menggunakan politik 2 (dua) kaki. Dengan kata lain, saat ia masih memiliki tanggung jawab di lembaga ekskutif, ia juga memasang kuda-kuda untuk menjadi pejabat legislatif (anggota dewan) di lembaga DPR. Atau kita lihat betapa beberapa orang pemangku jabatan yang masih bertanggungjawab sebagai kepala daerah (bupati/walikota atau gubernur) di daerah masing-masing, mencalonkan diri di daerah lain dengan jabatan yang lebih tinggi lagi. Sepintas lalu hal ini tidak ada persoalan. Toch secara aturan para pejabat yang masih menjabat tersebut dapat mengambil cuti diluar tanggungan negara. Yang menjadi persoalan apakah etis dan bisa menjadi jaminan tatkala seseorang bupati/walikota atau gubernur yang mengikuti pertarungan pemilihan kepala daerah sebagai bupati/walikota, gubernur, bahkan seorang presiden sekalipun! 

Adalah hal yang tidak etis tatkala seorang pejabat setingkat walikota/bupati atau gubernur yang ketika diambil sumpahnya untuk memegang amanah sebagai kepala daerah di masing-masing daerah yang harus mencurahkan tenaga dan pikiran mereka untuk membangun dan bertanggung jawab atas amanah yang diembankan di pundak mereka selama 4 (empat) atau 5 (lima) tahun, ternyata karena melihat peluang untuk bisa menduduki jabatan publik yang lebih besar lagi, harus ikut bertarung dengan meninggalkan jabatan yang diembannya sekarang? Dalam pilgub DKI tahun 2012 lalu, setidaknya ada 2 (dua) orang pejabat publik setingkat walikota dan gubernur yang harus meninggalkan daerahnya masing-masing untuk mengadu 'peruntungan' di ibu kota. Disinyalir karena sekali lagi ada 'peluang' maka gubernur DKI yang baru beberapa bulan diembannya untuk menjabat jabatan yang lebih tinggi lagi (Presiden), maka sang gubernur tersebut seolah-olah diberkan 'kartu hijau' untuk nyapres pada pilpres 2014 nanti. Alasan yang dipakai adalah karena ybs dianggap memiliki prestasi karena dalam waktu yang 'singkat' telah 'mampu' membenahi Jakarta! Tidak ada yang salah dengan adanya peluang atau kesempatan yang tentunya akan diambil atau dimanfaatkan oleh siapapun untuk bisa meraihnya. Namun yang menjadi pertanyaan di benak kita adalah seberapa besar komitmen dari setiap pejabat publik di negeri ini untuk tetap fokus menjalankan roda pemerintahan atau menjalani masa dalam jabatannya sesuai dengan waktu yang telah disepakati tersebut. Bisa dibayangkan seorang gubernur yang mestinya harus meluangkan waktu dan tenaganya fokus mengurusi daerah yang dipimpinnya, namun di sisi lain ia juga sibuk untuk memikirkan bagaimana harus membagi waktu untuk kepentingan kampanye dalam rangka pileg, pilgub, atau pilpres sekalipun. Ketika hati dan pikiran para pemangku jabatan publik itu terpecah, maka saat itu ia dikategorikan sebagai orang yang tidak memenuhi janji atau komitmen yang telah diikrarkannya sesaat ia dilantik menjadi pejabat publik.

Keberhasilan atas kemajuan suatu bangsa harus didukung oleh pemimpin yang memegang janjinya, fokus pada pekerjaan atau tanggung jawab yang harus dipikulnya, dan menyibukkan dirinya untuk melakukan segala sesuatu yang memberikan manfaat sebesar-besar kepentingan rakyat. Bukan pemimpin yang ketika diwawancarai selalu mengatakan bahwa bila ada peluang untuk jabatan yang lebih tinggi namun harus meninggalkan jabatannya yang sekarang yang masih belum rampung; dengan gagahnya ia mengatakan bahwa hal itu tidak terpikirkan sama sekali....Memang jabatan tidak untuk dipikirkan semata, tetapi yang lebih penting bagaimana tetap fokus dengan jabatan yang sekarang dan tidak menjadikan aji mumpung sebagai panglima....

Selasa, 03 September 2013

Menjadi Bangsa Reaktif atau Kreatif?


Tatkala sampah menjadi masalah di kota besar di Indonesia terutama Jakarta, masyarakat kita seolah-olah diberikan pilihan bahwa sampah adalah 'masalah' dan harus dibuang jauh-jauh. Pemda DKI-pun harus membuang sampah (TPS) di daerah tetangganya yakni Bantar Gebang (Bekasi). Begitu juga saat kemacetan mendera jalan-jalan di seantero Jakarta, sekali lagi yang menjadi 'biang keroknya' karena jumlah kendaraan yang tidak sesuai dengan infrastruktur jalan, perilaku pengemudi yang tidak disiplin, dan penegakan aturan berlalu lintas yang masih tidak tegas. Begitu juga ketika pemerintah yang 'ragu-ragu' menaikkan harga BBM, sekali lagi rakyat kita bereaksi kencang; tolak kenaikkan BBM? Pendek kata, setiap persoalah selalu ditanggapi dengan 2 (dua) kubu yang berlawanan; setuju atau tidak setuju; menerima atau menolak. Ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih bersikap reaktif terhadap persoalan yang dihadapi.

Cobalah perhatikan negeri tetangga kita seperti Malaysia atau Singapura. Apakah di negeri mereka tidak ada sampah, sedikit kendaraan, atau tidak butuh BBM? Kedua negara itu pastilah memiliki tingkat persoalan yang dihadapi tidak kalah peliknya dengan kita. Bahkan untuk air minum saja misalnya, pihak Singapura harus impor dari Indonesia. Untuk membangun infrastruktur perkebunan dan pelabuhan atau property, pihak Malaysia harus mengimpor tenaga kerja juga dari Indonesia. Dengan kata lain bahwa di kedua negeri jiran itu memiliki persoalan yang boleh dikatakan beda-beda tipislah. Hanya saja pemimpin negara mereka selalu bersikap kreatif terhada persoalan yang ada. Menyadari akan persaingan global pariwisata, Singapura dan Malaysia mempersiapkan dengan matang infrastruktur di negara masing-masing. Malaysia mengklaim bahwa dengan melancong ke Malaysia, maka Anda telah mendatangi seluruh budaya negara-negara di Asia. Begitu juga dengan Singapura yang memposisikan diri sebagai negara tempat membuat pertemuan bisnis atau membuat kantor bisnis terbaik di kawasan Asia Tenggara! 

Indonesia memiliki lebih dari apapun yang dipunyai Singapura atau Malaysia. Sayangnya pemimpin negeri ini tidak mau melakukan bench marking atau studi banding dengan menjelaskan bahwa seandainya negeri tetangga punya program yang baik, maka Indonesia mestinya punya program yang lebih baik lagi. Cobalah perhatikan bahwa untuk membuat pesawat terbang saja kita sudah mampu, apalagi kalau hanya membuka lahan untuk bawang putih atau kacang kedelai. Tugas pemimpin membuat program atau terobosan baru sehingga masyarakat negeri ini menjadi lebih percaya diri dengan dibekali pinjaman untuk modal usaha yang bila perlu tanpa bunga, pelatihan gratis, atau program yang membuat setiap individu bangsa ini mejadi pribadi yang mandiri dan percaya diri. Semua itu harus dimulai dari pribadi pemimpin tertinggi negeri ini. Saat pelik menghadapi ancaman dan perang sekalipun, seorang pemimpin seperti Soekarno-Hatta tidak pernah menunjukkan kegentarannya mereka, bahkan saat mereka harus dibuang di pulau terpencil dan dipenjarakan di sana. Bila para pemimpin di negeri ini telah menunjukkan sikap pantang menyerah, rela berkorban demi negara -- tentu rakyatnya tidak akan banyak menuntut atau turun ke jalan untuk memprotes para pemimpin mereka. Itu semua akan terjadi bila sang pemimpin tidak mengeluh tatkala didera persoalan, tapi tetap semangat dengan menggunakan semua kreatifitas yang ada di benaknya...

Minggu, 01 September 2013

Turunkan Vs Naikkan Harga Kedelai




Ironis sekaligus memilukan. Begitulah perasaan kita sebagai anak bangsa melihat betapa para perajin tahu dan tempe menjerit karena bahan baku tahu dan tempe yakni kedelai meroket. Pilihan perajin tahu dan tempe adalah sulit. Menaikkan harga sama dengan 'bunuh diri'. Tapi tidak menaikkan harga malah mempercepat 'bunuh diri' itu sendiri. Seperti biasa tanggapan pemangku jabatan di negeri ini melihat 'jeritan' perajin tahu dan tempe itu normatif saja. Sama halnya ketika ada kemacetan menjelang lebaran yang saban tahun mendera negeri ini. Sebenarnya yang perlu diperhatikan saat ini adalah bahwa kebutuhan kedelai mestinya disikapi dengan langkah-langkah strategis dan jangka panjang, bukan dengan jangka pendek dengan menambah kran impor kedelai!

Orang bijak berkata bahwa 'orang yang masih melakukan kesalahan yang sama; bisa diibaratkan sebagai seekor keledai! Nah, kedelai sudah merupakan kebutuhan pokok rakyat ini yang semestinya pula diberikan insentif bagi para petani yang menanam kedelai. Bila tidak, maka mekanisme pasar akan terjadi. Petani yang memiliki skala industri yang lebih besar, efisien, dan modernlah yang akan memenangi persaingan global itu. Sementara lahan yang luas di negeri ini akan kurang diminati oleh petani untuk menanam kedelai karena hanya memberikan keuntungan atau marjin yang tipis saja. Sayangnya lagi, tatkala para perajin tahu dan tempe menjerit -- para petanipun cuek karena tidak ada hubungannya dengan mereka. Menanam komoditas lain lebih menarik daripada menanam kedelai. Kalau sudah begini, siapakah yang harus disalahkan; perajin tahu tempe-kah, atau petani kedelai-kah?

Kalau pemangku jabatan di negeri ini mau berpikir dan bertindak smart, semestinya tidak perlu ragu dan pusing untuk mengatasi kelangkaan atau kenaikan harga kedelai yang menghantui para perajin tahu dan tempe negeri kita. Caranya? Berikan insentif khusus bagi para petani kedelai yang akan menanam kedelai. Dengan demikian para petani akan meningkatkan kapasitas produksi mereka. Untuk menstabilkan harga kedelai saat panen, BULOG membeli dengan harga yang 'pantas' untuk para petani. Selanjutnya para pejabat di daerah (kota atau kabupaten) yang memiliki banyak petani dan atau perajin tahu dan tempe, sebaiknya memberikan motivasi dan inovasi agar meningkatkan nilai tambah (value added) bagi para pengusaha tahu dan tempe agar bisa meningkatkan proses olah dari tahu dan tempe menjadi bahan jadi yang lebih memiliki prospek untuk konsumen di dalam dan luar negeri. Sudah banyak diketahui bahwa kedelai bisa juga dibikin yogurt atau keju. Dengan sinergisitas antara petani kedelai dengan perajin/pengusaha tahu dan tempe yang difasilitasi oleh pemerintah, maka nilai jual petani kedelai dengan pengusaha/perajin tahu dan tempe akan bertambah. Bila semua sinergi itu terjadi; bukan tidak mungkin kita tidak akan melihat lagi demo para perajin tahu atau tempe yang meminta harga kedelai diturunkan, mengapa? Karena para petani kedelai akan menikmati hasil jual kedelai dengan harga bagus, dan perajin/pengusaha tahu dan tempe dapat meningkatkan diversifikasi produk mereka dengan olahan selain tahu dan tempe yang memiliki nilai jual yang lebih prospek lagi.  Mari kita selesaikan persoalan bangsa ini (kedelai) dengan menggunakan semangat kebangsaan kita. Jangan pernah menyelesaikan persoalan mahalnya harga kedelai dengan mengulang kesalahan yang sama dimasa lalu seperti keledai yang masih mau jatuh pada lubang yang sama.Wallahu a'lam bissowab.....