Jumat, 12 Februari 2016

Dicari: "Pendekar Asli" Betawi




Ada seletukan salah satu bakal calon Gubernur DKI tahun 2012 lalu; bahwa para calon luar Jakarta dianggap sebagai orang yang 'mengadu nasib' di ibukota. Mirip-mirip lagu 'siapa suruh datang Jakarta,' begitulah. Meskipun masih sekitar dua tahun lagi pilgub DKI, namun para pengadu nasib (governor-seeker) sudah melakukan tebar pesona maupun testing the water terhadap animo masyarakat Jakarta terhadap popularitas dan akseptabilitas si empunya niatan tersebut. Mulai dari incumbent gubernur (DKI-red) termasukjuga  incumbent walikota non DKI, politisi, pengusaha, bahkan artis bakal ikut meramekan helatan akbar menuju DKI 1. Tulisan ini bukan untuk menebarkan SARA; karena setiap kali kampanye pilgub selalu ada pihak-pihak tertentu yang menghembuskan SARA tersebut. Tapi 'pendekar asli' Betawi bukan SARA atau SALAH bukan?

Meskipun saya bukan orang Betawi, namun saya agak sedih bilamana orang Betawi yang notabene sejak dulu terkenal dengan kependekarannya -- justru 'kurang terdengar' gaungnya sebagai calon DKI 1 yang akan digadang-gadangkan (baik independen maupun lewat jalur partai), mengapa? Biasanya di daerah luar DKI, anggap saja provinsi tetangga (Jabar-red); saya yakin sebagian besar rakyat tanah Pasundan menanam niat dan tekad bahwa calon gubernur mereka (bukan calon wakil gubernur-red) adalah putera terbaik dari tanah Pasundan. Kata "terbaik" di sini meliputi dari sisi profesionalisme (meliputi keilmuan dan pengalaman memimpin) yang mumpuni, relegius, paham akar budaya masyarakat Jawa Barat dan lain-lain. Begitu juga untuk wilayah Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan -- itu sebagian contoh yang dapat disampaikan. Ini keniscayaan dan bukan SARA. Namun hal itu berbeda untuk konteks Jakarta, karena Jakarta merupakan miniatur Indonesia. Dan kabarnya para pemilih Jakarta lebih rasional dan dan pintar katanya...

Saya masgul lantaran memandang calon Betawi Asli ("Pendekar Asli" Betawi-red) masih menggunakan kaca mata lama alias melihat zamannya Pendekar Si Pitung dan Babe Benyamin (mohon maaf  sebelumnya kepada keluarga Babe Benyamin yang saya cintai...). Apakah orang Betawi sekarang kagak ade nyang pinter-pinter atau pernah menjadi juragan alias CEO di perusahan ternama? Atau kagak ade nyang memiliki bintang di bahu bajunye alias jenderal? Pastilah sudah banyak orang Betawi sekarang ini dengan seabreg pengalaman dan kepiawaiannya.

Kekhawatiran saya yang mendasar adalah para "pengadu nasib" di Jakarta itu (calon DKI 1), sebagian juga incumbent pejabat publik di daerahnya. Aji mumpung mengadu nasib sebagai calon gubernur DKI merupakan preseden jelek bagi kehidupan demokrasi karena selain incumbent tersebut terikat sumpah jabatan untuk tetap menjalankan amanah sebagai kepala daerahnya sampai tuntas, namun di sisi lain 'siapa tahu' naik pangkat ke jenjang karir yang lebih tinggi itu merupakan opportunity yang jarang-jarang ada bukan? Okelah. "Kebiasaan" bilamana tidak jadi terpilih akan kembali ke posisi semula juga meninggalkan kesan yang buruk, kenapa? Boleh jadi ia menjadi pejabat publik di daerahnya yang sekarang bukanlah karena ia benar-benar ingin menjalankan amanah jabatan hingga tuntas, tapi sekaligus coba-coba cari peluang di daerah lain agar dapat jabatan yang lebih bergengsi...

Mengapa harus "Pendekar Asli" Betawi? Saatnya putera terbaik Betawi 'membangkitkan batang terandam' agar dapat percaya diri untuk melenggang menuju kursi DKI 1. Saya memimpikan pemilihan gubernur DKI tahun 2017 nanti diibaratkan seperti kontes abang-none Jakarta -- dimana peserta adalah orang-orang muda Betawi, ganteng dan cantik, cerdas, relegius, berbudaya, dan dapat diandalkan dan dibanggakan semua. Wallahu a'lam bissowwab...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar