Apakah yang bisa dibuat pejabat
petahana gubernur DKI menjelang masa berakhirnya masa jabatan tahun 2017? Tentu
jawabannya disamping kerja, kerja, kerja. Nampaknya mantan wakil gubernur ini
punya jargon pecat, pecat, pecat. Nah, disamping itu bagaimana caranya agar ybs
tetap leading di media massa (media darling). Menurut Haji Lulung
bahwa penggusuran atau penertiban di kawasan Kalijodo terkesan terburu-buru dan
ada kesan ‘pencitraan’ menjelang pilgub DKI 2017. Sah-sah saja memang. Siapapun
yang menjadi petahana gubernur DKI, pastilah akan memanfaatkan betul setiap
momentum yang ada agar lebih melekat branding pribadi maupun kesan yang
ditinggalkan. Kebanyakan strategi sang petahana baik Bupati/Walikota, Gubernur,
bahkan Presiden.
Strategi Setengah Cangkir Kopi
Istilah a half glass of coffee strategy (strategi setengah cangkir kopi).
Artinya dalam masa jabatan pertama sang petahana, disamping menjalankan program
yang sudah dicanangkan sebelumnya, biasanya juga dipersiapkan strategi dimana
program tersebut masih dibutuhkan kelanjutannya pada periode kepemimpinan
berikutnya. Misalnya sang pejabat petahana mencanangkan bahwa proyek jalan tol
di masa pemerintahan (jilid I) dibagi sekian tahap. Maka agar proyek bisa
selesai, maka masih dibutuhkan sekian tahun lagi. Biasanya fase selanjutnya itu
akan mencakup pada tahun periode kedua dalam pemerintahannya (apabila terpilih
kembali – red). Hal ini kasat mata karena bisa jadi proyek tersebut dihentikan
bilamana rezim yang baru nantinya menganggap proyek tersebut tidak sejalan yang
diinginkan. Alhasil periode kepemimpinan mirip yang terjadi seperti zaman orde
baru dimana ada istilah “ganti menteri (pendidikan – red), biasanya ganti
kurikulum”. Bila ini terjadi, yang dirugikan tentunya rakyat. Hal lain yang
juga dilakukan oleh petahana adalah mendadak memperbaiki infrastruktur seperti
jalan, pasar, sarana ibadah, sekolah, yang dilakukan di masa injury time masa kepemimpinan atan
menjelang pilkada. Ini untuk mengingatkan kembali bahwa bilamana para memilih
kembali memilih sang petahana, maka perbaikan infrastruktur berikutnya akan
seperti ini. Padahal membangun dan memelihara infrastruktur merupakan kewajiban
setiap pemimpin dimana rakyatnya berada. Tidak peduli apakah di tempat itu ada
berapa persen yang memilihnya atau tidak. Strategi ini efektif untuk tataran
masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan untuk kaum menengah ke atas,
kecendrungan mereka adalah kepastian program yang smart dan bisa dibuktikan
secara nyata di lapangan.
Menguasai DKI = Menguasai Indonesia?
Zaman kolonial dikenal istilah, kalo mau menguasai Indonesia, maka
kuasailah pulau Jawa. Nampaknya perlu diklarifikasi lagi Jawa yang mana? Apakah
Jawa Barat termasuk juga Jawa? Ada yang bilang bahwa Jawa Barat merupakan provinsi
di pulau Jawa tapi secara kesukuannya adalah Sunda. Begitu juga dengan DKI yang
secara kesukuan identik dengan Betawi. Sinyalemen barang siapa yang menguasai
DKI (jadi Gubernur DKI – red), terbukti dengan jabatan marathon yang pernah
diduduki presiden RI ke 7 sekarang ini. Road
map from Major, Governor, and than became the President tidak terbantahkan.
Jadi wajar kalo success story ini
bakal diikuti oleh banyak para pemimpi untuk juga menjalani hal yang sama.
Diantara sekian banyak para pemimpi itu adalah Yusril Ihza Mahendra. Sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia
yang menganut budaya Timur bahwa calon pemimpin itu enggak boleh show up. Masyarakat lebih suka calon
pemimpin yang rendah hati dan sederhana. Bahkan ada joke mengatakan semakin calon pemimpin itu diremehkan atau
dilecehkan oleh maka simpati masyarakat akan meningkat. Banyak calon pemimpin
DKI (selanjutnya disebut Pemimpi – red), ketika ditanya insan pers; apakah Anda
berniat atau berminat (sama saja) untuk menjadi Gubernur DKI tahun 2017?
Kebanyakan mereka akan menjawab dengan nada merendah. Nanti dululah. Lihat apakah ada partai pengusunglah. Mau melihat animo masyarakatlah. Sekali lagi mereka tidak
serta merta menjawab “YA”. “Ya, saya siap menjadi Gubernur DKI Periode
2017-2022!” Mengapa? Para pemimpi itu
masih malu-malu kucing. Takut bakal ‘dihajar’ para kompetitor (pemimpi lainnya
– red). Iya kalo ada partai yang
meminang. Iya kalo suara partai yang
mendukung/meminang itu mencukupi. Iya apabila jalur independen memenuhi
persyaratan. Iya bilamana amunisi alias gizi alias keuangan mendukung, bla bla
bla. Alhasil para pemimpi itu hati-hati sekali dalam menanggapi pertanyaan
tentang kesiapan mereka bertarung di pilkada DKI 2017 nantinya. Bilamana para
pemimpi itu masih bersikap demikian, malah menguntungkan pihak petahana.
Mengapa? Secara psikologis, di alam pikiran bawah sadar masyarakat bahwa
kompetitor petahana masih cari partai atau dukungan ke sana kemari. Sementara
gue (petahana – red) sudah eksis dan bekerja. Yang lainnya masih sibuk cari
biduk dan masih dalam tataran wacana. Jadi saya (petahana)-lah yang paling
cocok untuk Anda pilih!
Lalu ada seorang anak bangsa
bernama Yusril Ihza Mahendra yang mendadak memproklamirkan diri sebagai calon
Gubernur DKI Periode 2017-2022. Cius nich
Bang? Belum jelas partai mana saja secara resmi memberikan dukungan (yang
pasti PBB sudah ya...). Keren. Kalo
PBB saja sudah mendukung. Pastilah Amerika, Uni Eropa dan Jepang manut wae, he..he. It’s just kidding!
Benar saja. Tidak beberapa lama kemudian sang petahana Gubernur DKI langsung
komen bahwa Bang Yusril ngebet jadi
Gubernur DKI lantaran pengen jadi
Presiden. Nah, lu? Aneh ya? Masa jadi
Presiden enggak boleh? Emangnya yang nuduh ngebet jadi Presiden enggak minat jadi Presiden juga?
Bukankah existing president dulunya
bilang pernah bilang “I don’t think about
that (to be a President –red)” setiap ditanya wartawan (?) – meskipun aura
masyarakat Indonesia sudah bisa menebak bahwa ybs pastilah pengen jadi presiden.
Yang saya acungi jempol adalah
tanggapan Bang Yusril tatkala petahana Gubernur DKI menyebutnya bahwa jabatan
DKI 1 merupakan batu loncatan Presiden RI. Dengan senyumnya yang khas Bang
Yusril menyatakan IYA bahwa ia bermimpi menjadi DKI 1 bla-bla, Insya Allah
menjadi RI 1. Hingga saat ini tanggapan masyarakat masih rata-rata air atau
datar saja. Keberanian mengungkapkan ke publik bahwa dia ingin jadi gubernur DKI
dan juga pengen jadi Presiden adalah luar biasa. Ini bukan arogan. Hal ini menunjukkan
kepercayaan diri yang tinggi dan kesiapan mental untuk bertarung. Meskipun demikian,
Bang Yusril pernah dinasehati oleh sahabatnya agar tidak meniru mantan gubernur
DKI sebelumnya yang meninggalkan jabatannya untuk mengejar jabatan yang lebih tinggi.
Tukang becak saja pernah mencalonkan diri jadi Gubernur DKI, moso’ mantan Menteri enggak boleh? Terus
adakah yang salah bilamana seorang Gubernur DKI yang belum habis masa
jabatannnya – kemudian ikut bertarung Pilpres dan menjadi Presiden RI? Justru
sejarah telah membuktikannya.
Mendayung Biduk ke Hilir
Selain ada peluang DKI 1 bisa
menjadi RI 1, saat ini sudah ada juga the second man alias wakil kepala daerah
yang karena sesuatu dan lain hal tidak lagi menjadi menjabat – akhirnya jabatan
tersebut beralih kepadanya. Wakil Gubernur Banten misalnya. Fenomena ini
menarik untuk ditelaah mengingat selama ini orang tidak kepikiran bahwa maybe
some day, sang kepala daerah tersebut bisa saja diberhentikan menjadi bupati/walikota,
gubernur, bahkan presiden sekalipun. Nah, peluang orang kedua (second man)
tersebut menjadi terbuka lebar. Saya yakin pihak partaipun sekarang juga sudah
mempertimbangkan orang yang bakal diusung (apakah nomor 1 atau 2),
masing-masing punya peluang untuk tetap menjadi 1 & 2 selama periode
jabatan, atau bilamana nomor 1 berhenti digantikan nomor 2. Istilah yang tepat
bagi sang wakil yang menggantikan posisi menjadi orang nomor 1 tersebut
diibaratkan ‘mendayung biduk ke hilir’ alias tinggal melanjutkan saja.
Yang perlu dipertimbangkan saat
ini bagi para pemimpi DKI 1 adalah kekuatan sosial media berikut gerakan di
belakangnya. Jadi sah-sah saja bilamana saat ini sudah dibuat tag #Yusrilsahabatku;#Yusrilgubernurku;#Yusrilkoncoku
atau #Yusrilkawanku, de el el. Menurut pengakuan tim sukses salah satu
calon gubernur DKI 2012 dan Pilpres 2014 lalu bahwa ia pernah menawarkan
kampanye lewat media sosial, tapi sang capres lebih senang memilih kampanye
menggunakan pendekatan langsung ke pemilih. Padahal menurutnya, kekuatan media
sosial saat ini merupakan kekuatan yang diperhitungkan selain media massa atau
elektronik.
Menurut hemat saya, pilkada DKI
2017 nanti bilamana sang petahana tetap mencalonkan diri, untuk penghematan
biaya pilkada – sebaiknya cukup 2 calon saja. Misalnya Yusril vs Petahana.
Bilamana hal ini terjadi tentulah sangat menarik. Spanduk dan baliho bakal rame dengan tulisan berikut: Datanglah Rame-Rame
ke TPS Pilgub DKI 2017. Pilihlah antara Laksamana
“Chengho” Yusril vs Ahok...