Teka-teki siapa saja bakal calon
(balon) dan pasangan calon (paslon) gubernur DKI periode 2017-2022 terjawab
sudah. Sudah ada 3 (tiga) pasangan calon yakni petahana (Basuki T.
Purnama-Jarot), (Anies Baswedan-Sandiaga Uno), dan Agus HY-Silviana Murni. Menarik
disimak, tatkala ada pendapat bahwa Pilkada DKI kali ini bukan saja kontestasi
antara calon gubernur alias DKI 1, tapi “who
is behind them”. Sebagai pendaftar pertama di KPUD DKI adalah calon yang
juga petahana BTP-Jarot yang didampingi mantan RI 1 Megawati SP. Sedangkan
Anies-Sandi tidak sampai diantar ke KPUD oleh Ketum Gerindra Prabowo Subianto.
Begitu pula dengan pasangan AHY-Silvi yang tidak diantar sampai ke kantor KPUD
DKI oleh mantan presiden RI ke-6 SBY – meskipun AHY merupakan putera sulung
beliau.
Ada “bayangan” mantan PresCapres
Fenomena dibayang-bayangi ‘orang
kuat’ bagi paslon gubernur DKI 2017 ini merupakan fenomena lanjutan tatkala ada
helatan pileg ataupun pilkada. Cobalah perhatikan di setiap spanduk atau baliho
calon legislator yang selalu ada foto ketum partainya disamping fotonya
sendiri. Mungkin si calon dewan atau paslon pilkada tersebut akan lebih percaya
diri alias pede kalo disamping fotonya, juga terpampang “orang kuat” di
partainya atau koalisi partai pengusung atau pendukungnya. Makanya jangan
heran, tatkala paslon gubernur DKI ini mesti diantar langsung oleh ketum partai
yang mengusungnya!
Ada yang berpendapat bahwa pilkada
DKI 2017 ini bisa dikatan sebagai “pilkada
rasa pilpres”. Maksudnya, the man behind the gun partai
pengusungnya merupakan mantan presiden atau setidaknya mantan calon presiden
yang pernah berkompetisi pada pilpres sebelumnya. Selain untuk meningkatkan
gengsi para paslon, ‘penampakan’ para mantan itu bisa diartikan bahwa si
pasangan calon yang mereka usung tersebut dilatarbelakangi oleh orang yang
pernah berjaya menjadi RI 1. Atau setidak-tidaknya ingin menyampaikan pesan
bahwa siapapun yang terpilih jadi DKI 1 nantinya – punya peluang lebar untuk
menjadi RI 1 sebagaimana pernah terjadi saat Pilpres 2014 lalu.
Kampanye Bebas SARA?
Jauh-jauh hari sebelum KPUD DKI
menetapkan pasangan calon definitif Pilkada DKI, pihak calon petahana sudah
pasang kuda-kuda dengan mewanti-wanti agar kompetitornya tidak menggunakan isu
SARA (suku, agama, ras, antar golong) terhadap mereka. Namun apa yang terjadi
beberapa hari lalu (07/10) tatkala sang gubernur petahana tiba-tiba mengutip
surat Al-Maidah 51 saat kunker di Kepulauan Seribu dimana dia mengatakan jangan
mau dibodohi oleh paslon yang lain yang menggunakan ayat dalam Al-Qur’an agar
tidak memilih dirinya dalam pilgub DKI 2017. Akibat mengutip ayat Al-Qur’an
secara serampangan ini – menimbulkan kemarahan bagi umat Islam Indonesia karena
ada tendensi melecehkan atau menistakan agama. Akibatnya elemen-elemen Muslim
Indonesia telah melaporkan hal ini kepada pihak polisi agar segera
ditindaklanjuti.
Apa yang dilakukan oleh cagub
petahana ini bisa dianalogikan seperti pertandingan sepak bola. Meskipun
kompetisi belum dimulai secara resmi, sang “pemain bola” ini sudah
mewanti-wanti agar setiap pemain harus “fair-play”;
tidak boleh bawa-bawa rasis atau tackling keras. Genderang tendensius ke
arah SARA sudah digaungkan tatkala ia mengatakan bahwa orang yang menggunakan
surat Al-Maidah 51 tersebut adalah Rasis
dan Pengecut! Lebih parahnya lagi si pengunggah video pidato yang diduga
penistaaan agama (Islam) tersebut yakni Buni Yani malah telah dilaporkan ke
Polisi! Ibaratnya, posisi sudah off-side,
eh...malah menjatuhkan diri (diving-red) – seolah-olah korban
tackling keras oleh pemain lawan.... Tapi yakinlah, penonton (voter-red) pasti
tahu kok siapa pemain yang bermain kasar atau curang di lapangan.
Peran(g) Pencitraan
Apakah setiap calon pemimpin
perlu pencitraan? Pastilah jawabannya: perlu! Hanya saja, pencitraan yang
melulu untuk dirinya sendiri an-sich
hanyalah ibarat lipstick belaka.
Hanya sementara dan berlaku sekali saja (einmalige-red),
terutama saat-saat kampanye saja. Biasaya calon yang petahana selalu mengatakan
bahwa kami telah berbuat, sementara yang lain baru berkata. Oleh sebab itu,
kami perlu lanjutkan satu periode lagi! Sementara para penantang akan lantang
berkata; pemimpin sekarang masih ada kekurangan. Seandainyapun sudah baik, maka
pilihlah kami. Karena kami akan membuat Jakarta lebih baik lagi!
Peran(g) pencitraan sudah dimulai
tatkala gubernur petahana telah merekut anak-anak mudah dalam wadah #temanahok.
Apakah kegiatan ini sudah termasuk curi start jelang Pilkada? Meskipun kegiatan
ini bisa diartikan untuk menggiring partai-partai pemilik kursi signifikan di
DKI agar memasukkan ybs ke dalam radar cagub yang layak untuk diusung atau
didukung dalam pilkada DKI 2017. Hasil akhirnya sudah bisa ditebak dan ‘penggiringan’
oleh aktivitas anak muda itu menuai sukses. Psywar dan budget-war pun juga
dilakukan oleh sang petahana yang menyatakan bahwa perkiraan biaya untuk pilgub
dipihaknya hanya berkisar 15 M saja. Bandingkan dengan pendapat para pengamat
bahwa untuk pilkada setingkat bupati atau gubernur di pulau Jawa bisa mencapai
200 Milyar Rupiah!
Yang membuat para pemilih di DKI
sedikit lega tatkala akhirnya pasangan calon gubernur DKI 2017 adalah penantang
sang petahana menjadi equal, mengapa?
Sebelum adanya 2 paslon selain petahana muncul, ada skenario pilkada DKI head to head dua pasangan calon saja.
Hanya saja seandainyapun terjadi – bilamana sang penantang masih berdarah muda
alias lebih senior usianya dari sang petahana, secara psikologis akan
memudahkan sang petahana untuk komparasi kecepatan usia muda vs tua. Ibarat
pemain bola, sudah berpengalaman tapi sudah umur di atas 30-an tahun. Sebagaimana
dikatakan pengamat bahwa dengan jarak umur yang sepadan dengan sang petahana,
akan membuat kompetisi pilkada DKI akan lebih semarak dan dinamis. Dari segi
pendidikan misalnya. Rakyat DKI sekarang sudah tahu bahwa pasangan Anies-Sandi
bergelas Master & Ph.D dari
Amrik. Begitu juga Agus HY tertitle Triple
Masters dan Silviana Murni sudah bergelar Doktor. Dari kubu Anies yang
Mantan Mendikbud dan Pengusaha Sukses. Begitu juga Agus HY sebagai the Rising Star. Jadi menjadi gampang
bagi masyarakat pemilih DKI untuk memilah-milah dulu siapa yang akan dicoblos
nantinya. Mulailah dari sisi pendidikan,
kemudian dilanjutkan dengan track record of success, dan yang
terakhir carilah yang paling tinggi untuk skor sebagai Solution Maker
bagi DKI dan bukan Trouble Maker...