Rabu, 29 Mei 2013

Kebiasaan Membeli Serba Bekas


Beberapa hari lalu saya sempat geli membaca berita bahwa Indonesia bakal membeli (lagi) tank-tank bekas milik AD Jerman. Mengapa saya harus mengatakan 'geli' ketika membaca berita itu? Terus-terang, bahwa perkara beli dan membeli ada persoalan uang. Ada harga, adalah pula rupa. Bagus barangnya, bagus pula harganya. Namun ketika angkatan bersenjata negara akan membeli perlengkapan perang seperti tank bekas tersebut, masih juga diembel-embeli  'boleh dibeli' asalkan jangan digunakan untuk melanggar HAM. Membeli barang bekas merupakan pilihan selain harus membeli secara cash. Tapi mengapa harus membeli barang bekas, seandainya ada pilihan barang baru yang juga bisa dibayar secara kredit. Hal ini perlu disampaikan  di sini karena sudah menjadi joke bahwa kebiasaan membeli barang bekas ini bisa menurunkan kredibilitas bangsa kita. Sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan kecelakaan di laut atau udara, salah satunya disebabkan oleh pesawat atau kapal yang dibeli adalah bekas. Cobalah diperhatikan, berapa banyak pesawat tempur, pesawat penumpang, kapal perang, ferry, bahkan trukpun kita masih hobi membeli yang bekas.

Substansi agar kebiasaan membeli barang bekas tadi  dihentikan adalah bagaimana barang yang kita beli tersebut selain memiliki fungsi ekonomis, barang juga memiliki fungsi self-esteem sebagai bangsa. Dapat dibayangkan ketika armada perang Malaysia atau Singapura sandar berdampingan dengan kapal perang Indonesia, dari sisi visual saja sudah dapat dibayangkan bahwa performance barang baru dan bekas akan kelihatan. Belum lagi faktor persenjataan yang dimilikinya. Memang sangat aneh cara berpikir bangsa ini, tatkala membeli kapal perang bekas, tetapi untuk persenjataan dan perangkat komunikasinya sudah 'diremajakan'. Nah, kalau biaya membeli bekas saja sudah begitu besar, kenapa pula harus pake biaya renovasi yang diyakini juga akan membengkak. Bisa jadi kebiasaan membeli barang bekas tersebut 'disinyalir' ada 'udang di balik batu' alias syarat kepentingan yang kemungkinan merugikan bangsa.

Bahkan ada ide juga bahwa daripada kita repot-repot menyelenggarakan pemilihan presiden yang banyak menguras uang dan energi bangsa, apa salahnya kita cari saja pemimpin bekas. Cukup kita kontrak bekas pemimpin dari negara yang sudah maju, misalnya Amerika atau Jepang. Bila dalam waktu 100 hari tidak ada program kerja yang jelas untuk memajukan bangsa, kontraknya dapat kita putus. Meskipun hal ini bertentangan dengan UUD kita, tapi substansinya bahwa hal tersebut sejalan dengan kebiasaan pemimpin negeri ini untuk membeli segala sesuatu yang serta bekas. Yang harus diubah adalah mindset bagaimana kebiasaan membeli yang bekas menjadi membeli yang baru dan lebih bermutu dari negara lain. Bukankah pihak industri dalam negeri (PINDAD) telah berhasil membuat panser Anoa yang terkenal itu. Pesawat dan kapal patroli cepat versi militerpun kita sudah produksi. Jadi, daripada repot-repot membeli barang bekas, kembangkanlah potensi anak negeri untuk melakukan riset agar dapat memproduksi barang-barang yang bisa menggantikan kebiasaan membeli dari negara yang lain dan bekas lagi...

Rabu, 22 Mei 2013

Un-confidence Leader

 

Salah satu yang menjadi perhatian para kandidat pemimpin public seperti calon walikota/bupati,gubernur, bahkan presiden sekalipun adalah kampanye. Dalam kampanye mereka menggunakan metode langsung dan tidak langsung. Kebanyakan dari calon pemimpin tersebut menggunakan metode tidak langsung. Cukup bikin spanduk atau baliho, iklan di media cetak atau elektronik. Kampanye tidak langsung ini merupakan 'paket hemat' karena tidak perlu menguras tenaga atau pikiran yang berlebihan. Tidak perlu cuap-cuap mengutarakan visi dan misi kepada calon pemilihnya, juga tidak bakal dikomplen oleh masyarakat. Si calon pemimpin tersebut cukup bayar biaya cetak atau iklan yang jumlahnya cukup besar. Besaran biaya seorang calon walikota/bupati atau gubernur tersebut bisa mencapai miliaran rupiah. Bahkan menurut catatan Mendagri Gemawan Fauzi – untuk level provinsi tertentu di tanah air – dalam pemilihan gubernur, angka biaya pelenggaraan pemili han kepala daerah (pilkada) bisa mencapai 0,5 Triliun Rupiah! Tapi ada juga informasi yang cukup mengejutkan dari seorang Joko Wi yang sekarang gubernur DKI yang dalam suatu media menjelaskan bahwa dalam pilgub DKI tersebut ia hanya menghabiskan uang dengan kisaran 4 (empat) milyar Rupiah (?)

Yang menarik juga untuk dicermati bahwa hampir tidak ada calon pemimpin publik itu yang tidak memasang spanduk atau baliho dalam kampanye mereka. Isi dari spanduk tersebut minimal foto calon pasangan dan yel-yel atau motto mereka. Tapi ada spanduk atau baliho para calon pemimpin tersebut yang terkesan kurang pede alias un-confidence. Mau tahu? Cobalah perhatikan – kebanyakan calon pemimpin daearah itu (juga yang mencalonkan diri sebagai legislator/caleg) yang dibekingi (tepatnya background) iklan mereka dengan ketua partai mereka. Lucunya lagi, saking tidak pedenya mereka itu (calon legislator atau pemimpin publik) yang seolah-olah 'mengkerdilkan' diri mereka sendiri. Aneh bukan, masa tampilan iklan di spanduk, baliho, atau teve – justru yang menonjol atau tertonjolkan malah beking atau background mereka yang notabene bukanlah orang yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah atau legislative. Justru dengan iklan seperti itu menunjukkan betapa tidak percaya dirinya sang calon dewan terhormat atau walikota/bupati dan gubernur tersebut. Ini memberi kesan kepada rakyat yang bakal memilihnya bahwa seolah-olah sang calon tersebut memiliki kualitas dan kapasitas seperti orang yang ada di samping ada di belakang (bahkan di depan mereka - red). Kondisi seperti ini tidak perlu terjadi apabila sang calon tersebut memiliki kepercayaan diri dengan lebih menonjolkan kualitas pikir dan konsep, bukan mengandalkan tampilan atau visualisasi saja. Lebih baik lagi bila calon pejabat publik tersebut diadu konsep mereka dalam debat terbuka yang disiarkan langsung oleh media televisi lokal atau nasional. Dengan debat pubik tersebut akan dapat diketahui hal-hal sebagai berikut;

  1. Tingkat pemahaman akan konsep atau program yang akan dilaksanakan apabila ybs terpilih menjadi legislator atau pejabat publik lainnya;
  2. Kecerdasan emosional tatkala diberikan pertanyaan atau kritikan oleh nara sumber atau peserta debat;
  3. Mengetahui rekam jejak tentang kejujuran dalam menjalankan pekerjaan selama ini (apakah pengusaha, pengacara, atau pejabat yang masih memegang jabatan di pemerintahan), termasuk juga harta kekayaan yang dimilikinya;
  4. Mengetahui kemampuan sang calon untuk melihat persoalan real yang ada dalam jabatan yang akan diembannya kelak dan gambaran apa saja yang bisa dilakukan (bukan dibicarakan saja - red) selama kurun waktu memangku jabatan tersebut;
  5. Terakhir, bagaimanakah sikap ia seandainya ia TERPILIH atau TIDAK TERPILIH dalam jabatan yang akan diperebutkan tersebut. Jawaban ini yang biasanya merupakan closing statement bagi para kandidat, setidaknya akan menjadi klimaks kepada siapa suara rakyat pemilih itu akan diberikan.
Pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang bisa mengeksplorasi potensi komunikasi, menjaga empati atas persoalan yang tengah dihadapi rakyat, mendorong terciptanya kemampuan setiap orang untuk dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri masing-masing yang dapat difasilitasi oleh manajerial pemimpinnya dengan mementingkan kebersamaan dalam kemajuan. Jadi hindari segala sesuatu yang hanya menampilkan cangkangnya saja (shield of visualization) atau berusaha untuk menyembunyikan ketidakmampuannya dengan memberikan data atau penjelasan yang tidak match dengan kondisi yang sebenarnya. Meskipun kita hanya beberapa menit di dalam bilik suara untuk menentukan siapa yang kelak akan menjadi pemimpin kita di masa depan, namun kesalahan Anda tersebut akan mengakibatkan kita atau rakyat akan menderita ditahun-tahun masa kepemimpinannya. Semoga hal ini tidak terjadi.

Minggu, 19 Mei 2013

National Program for Safety Driving


Persoalan geng motor yang marak terjadi di tengah masyarakat saat ini bukanlah berita baru. Dengan tertangkapnya komandan geng motor yang menjadi the most public enemy people yakni Klewang, setidaknya membuat masyarakat dan aparat kepolisian sadar akan bahaya pembiaran berkembangnya geng motor itu di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini hampir saat jam sibuk, ada beberapa stasiun teve swasta yang menayangkan secara langsung (live) tentang kondisi terkini suasana lalu-lintas di kota-kota besar Indonesia. Dalam tayangan berdurasi sekian menit tersebut terlihat bagaimana kemacetan atau suasana di persimpangan atau jalan-jalan protokol yang dipenuhi oleh sepeda motor dan kendaraan roda empat. Sang reporter menjelaskan tingkat kemacetan yang ada, apa penyebabnya, dan apa-apa saja yang harus dilakukan bila melewati jalanan di kawasan yang tertangkap kamera CCTV tersebut.

Saat ini -- satu tahun menjelang pilpres 2014; alangkah baiknya bila para calon presiden tersebut berlomba-lomba untuk memasang iklan di surat kabar atau media elektronik untuk mendukung kampanye Polri yang sering disampaikan oleh reporter cantik di NTMC yang di akhir laporan langsungnya selalu berkata; " ... jadikan keselamatan sebagai kebutuhan...!" Pemimpin yang berani beriklan atau berkampanye untuk hal-hal yang nyata dan berguna seperti kampanye untuk selalu mematuhi peraturan berlalu-lintas,mestinya menjadi tema yang cukup dilirik. Meskipun tidak se-seksi bila berkampanye dengan program kerja seandainya terpilih menjadi presiden, dengan kampanye mendukung motto menjadikan keselamatan sebagai kebutuhan tersebut akan menjadikan sang calon tersebut menanam benih-benih kesadaran kepada masyarakat, terutama generasi muda untuk selalu memperhatikan faktor keselamatan baik terhadap kendaraan, diri sendiri, maupun keselamatan orang lain. Kampanye yang efektif berikutnya adalah mendatangi sekolah sekolah (mulai dari Play Group/TK, SD hingga SMU bahkan Perguruan Tinggi) untuk secara berkala melakukan sosialisasi tentang perlunya mematuhi peraturan berlalu lintas. Pihak Dinas Pendidikan Nasional juga memberikan catatan bagi sekolah yang mengawasi secara ketat bagi siswa/siswi mereka sewaktu mereka berada di sekolah yang menggunakan sepeda motor atau mobil. Pihak sekolah akan melakukan sidak terhadap pemilikan SIM atau perlengkapan standar keselamatan (helm, safety belt, dll) sehingga dapat mengelimir potensi bahaya kecelakaan di jalan raya.

Selanjutnya pihak pemkot/pemkab, pemprov, serta pemerintah pusat untuk memasukkan salah satu penilaian sebagai provinsi terbaik dalam melaksanakan penerapan peraturan berlalu-lintas yang baik dan benar. Program ini akan sama prestige-nya dengan penganugerahan tokoh lingkungan hidup atau award lainnya yang sudah ada saat ini. Ending dari award tentang kepatuhan mentaati aturan berlalu lintas ini merupakan sarana untuk menumbuhkan kesadaran nasional untuk menjadikan keselamatan sebagai kebutuhan. Insya Allah bila program ini dilakukan, maka berita tentang keberingasan geng motor atau Klewang-pun akan menjadi berita terakhir yang beredar di tengah masyarakat kita.

Jumat, 10 Mei 2013

Contraflow Leader

Istilah Contraflow lebih sering dijumpai untuk kategori bidang engineering atau lalu-lintas. Umumnya pengertian contraflow adalah jalur untuk melakukan evakuasi atau jalan darurat karena terjadinya suatu kecelakaan atau bencana. Jadi contraflow biasa diterapkan untuk mengurangi kepadatan lalu-lintas karena faktor volume kendaraan yang melewati suatu jalur jalan yang melebihi kapasitasnya sehingga terjadi stagnant. Indonesia memiliki sejarah yang kurang bagus untuk memberikan infrastruktur untuk angkutan jalan raya. Lebih parahnya lagi ketidakbecusan pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana angkutan jalan raya justru terjadi di ibukota negara. Jadi untuk kota Jakarta saat ini dijadikan barometer bagi daerah lainnya di tanah air dalam mengatasi setikdaknya 2 (dua) hal yakni kemacetan dan banjir. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah (DKI) untuk mengatasi kedua hal tersebut, setidaknya hingga saat ini persoalan tersebut belum bisa dituntaskan. Oleh sebab itu penggunaan sistim contraflow untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas di saat jam-jam sibuk menjadi salah satu alternatif pengurangan kemacetan di DKI.

Selain kemacetan lalu-lintas yang hampir melanda kota-kota besar di Indonesia, negeri ini juga sedang 'kebingungan' untuk mencari sosok calon pemimpin nasional mereka. Mengapa? Karena berdasarkan survey, untuk pencalegan saja -- masih banyak wajah-wajah lama (yang kebanyakan didominasi oleh orang-orang Pusat) untuk bertarung menjadi wakil rakyat di daerah pemilihan tertentu. Artinya, ada kesan seolah-olah produk Pusat lebih bisa diandalkan ketimbang produk daerah, benarkah demikian? Namun sebagai pemimpin daerah yang biasa mengurus daerah, tidak perlu berkecil hati karena pasca terpilihnya Joko Widodo yang mantan Walikota Solo sebagai Gubernur DKI -- telah membuktikan bahwan kualitas pemimpin di daerah tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Dengan kemenangan Joko Wi tersebut telah mematahkan argumen bahwa pemimpin daerah pasti kalah bila bertarung di tingkat pusat (DKI) karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi di daerah tidak serumit yang dihadapi di Jakarta. Ternyata asumsi tersebut terpatahkan oleh seorang Joko Wi. Bahkan saat ditanya hal tersebut sesaat sebelum pemilihan gubernur DKI, Joko Wi justru mengatakan bahwa hakekat manajemen itu adalah bagaimana melihat permasalahan yang ada dan mencari solusi.

Hal yang menarik lainnya adalah masih ada keinginan pemimpin yang sudah berkiprah di tingkat pusat atau nasional untuk bertarung menjadi pemimpin di daerah. Mulai dari jabatan walikota, bupati, bahkan gubernur termasuk yang saat ini sedang getol-getolnya diincar. Lalu melihat fenomena ini apakah kita mengatakan bahwa pejabat pusat atau nasional yang sudah berkiprah, sebaiknya tidak usah mengadu nasib lagi untuk menjadi pemimpin di daerah? Jawabannya; tidak mesti. Mengapa? Sebab, keinginan pejabat pusat atau orang pusat untuk menjadi pemimpin di daerah karena mereka telah memiliki bekal kompetensi, capital, atau network yang luas yang apabila kelah terpilih menjadi pemimpin di daerah, semua kelebihan tersebut akan dimanfaatkan untuk kemajuan daerah tersebut. Jadi mana yang lebih baik; pejabat atau pemimpin daerah yang berlaga di tingkat nasional atau justru pemimpin nasional yang berlaga untuk menjadi pemimpin di daerah? Sekali lagi kedua pilihan itu (pusat ke daerah atau sebaliknya) dapat diibaratkan sebagai CONTRAFLOW LEADER. Mengapa mereka tetap dibutuhkan saat ini? Karena di negeri ini masih terjadi sumbatan atau stagnant kaderisasi pemimpin baik di tingkat partai politik ataupun pejabat publik....

Senin, 06 Mei 2013

Memilih Pemimpin (Tanpa) Transaksi


Menjelang pemilihan presiden tahun 2014 nanti, negeri ini akan melewati masa pemilihan wakil rakyat alias pileg (pemilihan legislatif) untuk memilih calon wakil rakyat. Yang namanya wakil rakyat, mestinya merefleksikan rakyat yang diwakilinya. Oleh sebab untuk memilih wakil rakyat nantinya, mulai sekarang mesti mengingat pesan Bang Napi yang menyatakan kita harus 'waspada' dan 'waspadalah' terhadap upaya-upaya pribadi, kelompok, golongan, atau partai politik sekalipun yang menggunakan segala cara dan jurus-jurus jitu untuk menggolkan calon wakil rakyat dari partai mereka. Mengapa harus waspada? Sebab, satu suara yang Anda coblos dalam bilik suara tersebut, merupakan molekul-molekul demokrasi untuk menentukan apakah bangsa ini akan menjadi bangsa penantang bagi bangsa-bangsa lain yang sudah lebih maju dibandingkan dengan negara kita, atau justru menjadi bangsa pecundang (the loser).

Bila banyak partai politik yang mengusung publik figure, pengusaha, pengacara, atau artis sekalipun untuk meningkatkan pundi-pundi suara di legislatif -- itu sah-sah saja. Persoalannya adalah bagaimana kita bisa menggantungkan asa dan amanah kita terhadap mereka bila kita hanya melihat hard competency saja. Padahal yang namanya hard competency itu bersifat short time, mengutamakan tampilan luarnya saja. Padahal untuk mencari pemimpin itu mestinya tidak seperti memilih barang dagangan saja. Istilah pedagang adalah 'ada rupa, ada harga'. Bila Anda menginginkan barang yang bagus, tentunya Anda harus bersiap untuk membayar mahal. No lunch free! Begitulah istilah dalam dunia bisnis. Tidak ada makan siang gratis. So, bila ada rakyat dan juga calon wakil rakyat yang berpikir seperti itu, sehatkah demokrasi di tanah air kita? Sayangnya, memori pikiran rakyat kita sudah terbiasa dengan short term charging, artinya barang siapa yang memberikan sesuatu yang 'menguntungkan' bagi rakyat (sembako, pakaian, atau sumbangan lainnya) kepada rakyat (dan tentunya nilainya lebih besar dari sumbangan calon lainnya) -- ini dijadikan barometer untuk memilih. Jadi, jangan salahkan bila para caleg yang berkompetisi tersebut terdiri dari kalangan yang memiliki uang banyak, ketimbang yang hanya bermodalkan kejujuran, integritas,atau pikiran-pikiran besar untuk membawa bangsa ini ke arah kemajuan.

Anda sudah dapat membayangkan siapa dan koalisi orang macam apakah yang akan menghiasi ruang kantor atau sekolah yang ada di negeri kita (foto presiden dan wapres) di tahun 2014 nanti bila para anggota dewan yang memenangkan pertarungan di pileg tersebut memakan strategi mengikuti mindset no lunch free tersebut kepada para calon pemilihnya. Bagi penganut paham ini bahwa untuk mendapatkan gain yang lebih besar, Anda harus menginvestasikan modal yang lebih besar lagi daripada investor lainnya. Muara dari semua posisi jabatan publik tersebut akan seandainyapun mereka raih, maka hari-hari ke depan bangsa ini akan dilewati dengan transaksi-transaki yang lebih besar lagi. Lalu sebagai rakyat yang telah memilih wakil kita di lembaga legislatif dan selanjutnya mereka 'berkolaborasi' untuk memilih RI 1 -- bila terjadi descripancy dalam pelaksanaannya, masihkah kita punya 'kuasa' untuk menarik semua dukungan itu? Jawabannya: BERSAMA KITA BISA! Namun hal tersebut sulit untuk dilakukan karena kita mesti menunggu sekian tahun lagi sampai kita memilih wakil rakyat & presiden kita yang baru lagi...

Minggu, 05 Mei 2013

Disiplin di Jalan Raya Menunjukkan Disiplin Bangsa

Sangat miris melihat data statistik bahwa akibat kecelakaan di jalan raya selama tahun 2012 (BIN 2013) telah merenggut 27.000 nyawa. Bukan itu saja kerugian yang mengikutinya. Selain meninggalkan korban jiwa, juga menyebabkan korban mengalami sakit atau cacat, belum lagi kerugian karena kerusakan properti dan infrastruktur akibat kecelakaan itu. Berapa lama seorang karyawan tidak masuk kerja karena harus dirawat di rumah sakit. Belum lagi traumatik pasca kecelakaan tersebut. Memang ada benarnya bila orang mengaitkan bahwa disiplin suatu bangsa tidak usah jauh-jauh cara mengujinya. Lihat saja bagaimana masyarakat suatu bangsa itu berperilaku di jalan raya! Bila perilaku berlalu-lintasnya baik dan menghargai hukum (lalu-lintas) -- dapat merefleksikan bahwa bangsa tersebut adalah bangsa yang disiplin dan (tentunya) maju. Indonesia termasuk negeri yang perkembangan kendaraan roda dua dan empatnya tidak diiringi dengan pertambahan luas jalan yang ada. Akibatnya terjadi kemacetan yang semakin hari semakin parah ditambah perilaku pengendaranya yang tidak disiplin.

Lalu bagaimanakah upaya kita sebagai bangsa yang memiliki penduduk dan alat transportasi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun? Potret besar tentang amburadulnya sistem dan perilaku berlalu-lintas yang buruk dapat kita lihat di kota Jakarta. Lihatlah, betapa setiap kali turun hujan atau para demonstran turun ke jalan raya -- sudah dapat dipastikan jalanan di Jakarta bertambah parah kemacetannya! Langkah apakah yang harus dilakukan (bersama) sebagai anak bangsa untuk mengatasi hal ini? Persoalan berlalu-lintas merupakan perpaduan antara sistem, infrastruktur, dan behaviour dari setiap pengguna jalan raya bukan? Ujung dari semua kendaraan tersebut adalah pengendaranya. Pemerintah seyogianya menerapkan hal yang ketat untuk mendapatkan SIM bagi siapa saja yang akan mengurus kepentingan untuk mendapatkannya. Mulai dari pengendara sepeda motor, kendaraan roda dua, terutama bagi sopir kendaraan transportasi umum. Nah, khusus bagi pengemudi kendaraan roda empat untuk umum dan atau kendaraan operasional bagi perusahaan -- diberikan sertifikasi. Sama halnya dengan guru atau dosen yang telah memiliki sertifikasi tertentu diberikan tunjangan profesi. Bagi pengemudi angkot atau kendaraan alat berat, mestinya diberikan sertifikasi khusus. Si pengemudi diberikan pendidikan atau training khusus sehingga ia dapat mengoperasikan kendaraannya dengan baik dan benar, mengindahkan kaedah-kaedah keselamatan (safety) dan melayani para penumpangnya dengan nyaman dan ramah (bagi pengemudi angkutan umum). Selain itu di masing-masing daerah diadakan penilaian dan pemilihan sekolah atau instansi terbaik yang nihil pelanggaran lalu-lintasnya. Pihak Polri bisa bekerja sama dengan pihak sekolah (diknas), departemen perhubungan, pemerintah daerah/pusat terkait. Di tingkat nasional nantinya akan dipilih provinsi terbaik dalam menjalankan peraturan berlalu-lintas, memiliki infrastruktur lalu-lintas yang baik, dan memiliki manajemen pengendalian lalu-lintas dan manajemen pasca kecelakaan lalu-lintas yang terbaik pula. Bila perlu penghargaan tersebut diberikan oleh kepala negara di istana!

Satu hal yang selama ini seolah-olah bangsa ini belum pernah belajar dari masa lalu sejarah bagaimana kita sebagai bangsa mengatur dan menjalankan perilaku berlalu-lintas. Ketika laju kendaraan tidak seimbang dengan jumlah kendaraan yang melaluinya; pastilah para konsumen menyalahkan polisi atau pemerintah karena tidak bisa membuat jalan yang luas selebar lapangan bola misalnya. Sementara itu alasan klasik dari polisi atau pejabat publik bahwa laju kendaraan yang tidak bisa dikendalikan dan para pengendaranya yang tidak disiplin! Mestinya yang harus dibentuk adalah bagaimana sebagai pengguna jalan raya, rakyat diberikan banyak pilihan untuk menggunakan moda apa yang ia inginkan. Begitu juga di sisi pemerintah harus melahirkan program yang inovatif untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan serta keselamatan bagi rakyatnya. Langkah yang harus diambil pemerintah itu haruslah langkah yang cerdas (smart) dan bukan langkah yang ragu-ragu dan tidak cerdas. Bukankah setiap ada rencana untuk menaikkan BBM selalu ditentang oleh sebagian besar rakyat kita, mengapa ini terjadi? Salah satunya adalah bahwa pemerintah kita sekali lagi tidak memberikan banyak pilihan untuk bisa memilih moda transportasi yang sesuai dengan yang mereka inginkan. Orang kaya di Jakarta tidak bisa menikmati berkendara dengan nyaman dengan kendaraan pribadi (sekalipun yang mewah dan canggih), apalagi rakyat miskin! Lihatnya apa yang dilakukan oleh pemerintah Jepang yang telah menerapkan angkutan transportasi masal (bus) sudah menggunakan mesin hybrid, begitu juga dengan Malaysia yang menggunakan uang hasil subsidi energi mereka dengan mengkaji energi alternatif bagi kendaraan umum atau pribadi. Jadi uangnya dipergunakan untuk kepentingan jangka panjang dan bukan untuk program ala sinterklas yang berkonotasi tidak efisien dan syarat untuk kepentingan politis belaka.Persoalan berlalu-lintas bukanlah persoalan karena volume kendaraan yang tidak sesuai dengan ruas jalan yang ada an sich. Persoalan yang sebenarnya adalah bagaimana pemegang amanah jabatan tinggi dan tertinggi  di negeri ini mampu memberikan beragam pilihan moda transportasi yang aman, nyaman, dan murah bagi rakyatnya. Jadi bila ada kemacetan dan banyaknya korban kecelakaan di jalan raya, siapakah yang mesti disalahkan?