Selasa, 30 April 2013

Menyeleksi Calon Wakil Rakyat


Pemilu 2014 masih satu tahun lagi. Para partai yang lolos verifikasi KPU sedang membuat ancang-ancang agar caleg yang mereka ajukan bisa merebut hati rakyat dan menjadi wakil partainya untuk selanjutnya sendiri-sendiri atau berkoalisi mengajukan calon presiden. Yang menarik disimak adalah strategi partai untuk merekrut caleg mereka yang nota bene terdiri dari kalangan orang yang banyak duit (pengusaha, pengacara, atau pesohor). Namun sangat disayangkan orang-orang yang berfungsi sebagai vote getter tersebut -- setelah menjadi anggota dewan yang terhormat -- kebanyakan hanyalah menjadi 'asesoris' demokrasi saja, mengapa? Sudah menjadi rahasia umum bahwa strategi partai untuk mencari public pigure dalam partai mereka -- hanyalah upaya untuk mendongkrak perolehan suara terbanyak dalam pileg. Mereka memang publik pigure yang kaya popularitas, tapi miskin kreativitas atau memahami fungsi keberadaan mereka sebagai wakil rakyat. Jadi sungguh ironis kalau ada rakyat yang merasa hak-haknya terlanggar, ujung-ujungnya berdemonstrasi di gedung wakil rakyat. Bila saja para wakil rakyat tersebut menjalankan fungsinya dengan baik, maka peristiwa demonstrasi yang memadati gedung wakil rakyat dapat dieleminir.

Sangat disayangkan bahwa kebanyakan rakyat kita hanya melihat calon wakil rakyat mereka dari tampilan luarnya saja alias aspek visual, belum menyentuh hal-hal yang substansi seperti kompetensi minimal, kejujuran, kreativitas, atau integritas calon wakil mereka. Dan celakanya lagi transaksi yang dipahami oleh mereka (rakyat - red) adalah transaksi tunai. Jadi bila mereka melihat ada calon anggota legislatif yang langsung memberikan bantuang secara langsung (mirip-mirip BLT - red) -- mereka cenderung akan memilihnya. Sedangkan calon yang hidupnya tidak berkelebihan dan memiliki integritas tinggi -- kurang dipertimbangkan. Alhasil para calon yang strategi marketing yang cepat dan langsung, akan mengalahkan kampanye calon wakil rakyat yang bersahaja, menyampaikan program-program kerja yang bisa dilaksanakan, atau menyampaikan keinginan agar rakyat memiliki jiwa mandiri -- justru dikalahkan oleh program kerja yang sesaat dan tidak substansial.

Bila kita ingin memperbaiki bangsa ini, pilihlah orang-orang terbaik di sekitarmu. Terbaik dari segi pendidikan, track record masa lalunya, mengutamakan kejujuran dan kerja keras, serta berpikir dan bertindak hanya untuk kemajuan dan kemaslahatan bersama. Bukan untuk memperkaya diri sendiri, keluarga,atau golongan saja. Orang-orang seperti itu masih banyak berada di sekitar kita, namun mereka enggan untuk menampakkan diri mereka karena mereka sadar bahwa saat ini rakyat masih doyan memilih orang yang memberikan sesuatu yang tunai dan sekali pakai, daripada memilih orang yang akan membawa daerahnya lebih berpendidikan dan maju. Tugas kita mencari mereka itu...

Kamis, 11 April 2013

Emporing of the former of Our Presidents




Mungkin sebagai bangsa kita perlu belajar kepada bangsa Amerika bagaimana memperlalukan para mantan presiden mereka. Lihatlah aktivitas para mantan presiden Amerika saat tidak lagi menjabat. Ada yang menjadi penasehat senior urusan politik luar negeri, duta lingkungan hidup, atau mewakili Amerika untuk urusan bantuan kemanusiaan. Pendek kata ketika mereka menjadi orang biasa, negara tetap menempatkan mereka sebagai orang terhormat bagi bangsa Amerika. Begitu juga ketika bangsa Amerika dilanda musibah atau persoalan pelik -- serta merta para mantan presiden itu memberikan semangat dan dukungan. Hal ini menambah energi dan soliditas sebagai bangsa yang besar. Bila ada hal-hal yang perlu diimprove oleh incumbent president -- tidak serta merta para mantan presiden itu memberikan komen negatif atau memberikan statement yang membuat presiden yang berkuasa menjadi kelihatan powerless di mata rakyatnya. Justru dengan komen yang positif dan sharing pengalaman dari masa pemerintahan terdahulu akan memberikan percepatan terhadap pencarian solusi terbaik.

Seorang Habibie atau Megawati dapat dijadikan supporting team bagi presiden yang masih berkuasa untuk memberikan pandangan atau masukan atas persoalan bangsa yang mendera. Beliau mempunyai kapasitas dan pengalaman untuk alih teknologi terutama yang berhubungan dengan teknologi tingkat tinggi (high-tech). Corporate culture yang beliau miliki selama bekerja di luar negeri bisa dijadikan rujukan untuk membentuk ‘nation culture’ bagi generasi muda. Kemampuan beliau dalam membentuk dan menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak patut dijadikan rujukan bagi pemimpin sekarang. Begitu juga dengan Megawati yang sudah mengalami berbagai pengalaman kepartaian dan social masyarakat – dapat dijadikan rujukan untuk mencari solusi bila terjadi perselisihan antar masyarakat, antar partai, atau antar pemimpin daerah dalam menyelesaikan persoalan.
Meskipun para mantan presiden tersebut merupakan politikus dan mempunyai partai yang berbeda dengan presiden yang sedang berkuasan, namun tetap ada sisi yang sama yakni: NEGARAWAN. Seorang negarawan tidak mengenal istilah berhenti mengabdi untuk negeri meskipun ia atau partainya tidak berkuasa lagi. Adalah hal yang kontra produktif bila para mantan presiden tersebut tidak dapat diberdayakan untuk kemajuan bangsa kita. Bukankah setiap pemimpin itu punya sisi plus minusnya. Sisi keberhasilan merupakan hal yang patut ditiru oleh presiden yang baru terhadap presiden sebelumnya. Tapi kegagalan juga dapat dijadikan hal yang positif dengan mempelajari apa dan mengapa keputusan politik itu diambil dan dampak yang ditimbulkannya. Jadi tidak ada yang rugi atau dirugikan bila seluruh komponen bangsa ini bahu membahu dalam memecahkan persoalan bangsa. Pesan yang nyata dan bisa dijadikan tauladan bagi rakyat adalah bagaimana para mantan presiden kita tetap menjadi seorang negarawan dan berkontribusi positif bagi bangsa meskipun  ia tidak menjabat sebagai presiden lagi,


Rabu, 10 April 2013

Menahan Diri untuk Menjadi Pemimpin




Ada anekdot, apa bedanya pemimpin dulu (zaman pra kemerdekaan - red) dengan pemimpin saat ini? Bila menyigi sejarah pergerakan bangsa Indonesia, maka pemimpin yang lahir dikala itu bukanlah pemimpin yang dengan gampang menjadi pemimpin. Berbagai perjuangan, pergerakan, dan pengorbanan yang luar biasa mereka alami hingga akhirnya diakui sebagai pemimpin sejati. Bahkan aneka intimidasi, penyiksaan, bahkan keluar masuk penjara merupakan hal biasa. Di abad XX ini ada juga seorang pemimpin yang harus mendekam di penjara selama 27 tahun sebelum akhirnya bebas -- mendirikan partai -- hingga terpilih menjadi pemimpin Afrika Selatan. Contoh lainnya adalah seorang kanselir Jerman yang partainya harus sabar menanti kesempatan menjadi orang nomor 1 di negara tersebut dengan waktu penantian hingga 98 tahun sejak partainya didirikan!

Fenomena ingin segera menjadi pemimpin nampaknya semakin marak pasca jatuhunya rezim orde baru saat reformasi tahun 1998 lalu. Partai tumbuh ibarat cendawan di musim hujan. Sejak pilpres 1999 lalu -- aneka partai politik lahir, tumbuh, berkembang, bahkan ada juga yang mati -- dan kemudian 'ganti baju' dengan partai 'baru'. Alhasil pendirian partai (baru - red) bukannya media untuk mendapatkan pemimpin terbaik, tetapi malah sebagai 'pelarian' calon pemimpin yang tidak bisa diserap pasar. Konsekwensi logis lainnya adalah bubble party alias partai yang miskin komitmen untuk membuat partai yang tumbuh dan berkembang untuk jangka waktu yang panjang.

Sulitnya mencari pemimpin terbaik di negeri ini sama persis ketika mencari tim sepak bola nasional yang handal dan dibanggakan. Pengalaman membuktikan bahwa klub sepak bola yang hebat dikomandani oleh mantan pemain yang berprestasi dan mempunyai tradisi juara yang membanggakan. Bila ada klub yang karena banyak uang dan membeli para pemainnya dari klub-klub pesaingnya dengan iming-iming pembayaran yang lebih tinggi; bisa jadi klub baru tersebut menjadi juara. Namun belum menjamin untuk menjadi klub yang disegani karena tradisi kualitas mental juara yang dilakoninya. Begitu juga seorang pemimpin, ketika ia hanya mempunyai target menjadi pemenang pemilu dan terpilih menjadi Presiden, tanpa didukung oleh ideologi dan komitmen yang kuat -- kemungkinan suatu saat ia akan dilupakan karena tidak mempunyai komitmen untuk mencetak tradisi pengkaderan yang berdasarkan pencapaian prestasi dan komitmen menjaga tradisi tersebut untuk jangka waktu yang panjang.

Merubah Mindset Bangsa; Menjadikan Masalah sebagai Peluang




Saat beberapa kota besar di negeri ini pusing bagaimana mencari lokasi untuk pembuangan sampah (TPA) -- ada persoalan masyarakat di sekitar TPA yang menolaknya. Alasan kerusakan lingkungan dan kesehatan merupakan alasan utama masyarakat yang menolak keberadaan tempat penampungan atau pengolahan sampah tersebut. Tapi bangsa Norwegia bisa membuat power plant yang bahan bakunya dari sampah. Bahkan di Amerika ada seorang menjadi milyuner hanya dengan mengelola sampah (waste management). Keberadaan pembangkit listrik tersebut disamping bisa mengurangi volume sampah dalam negeri, juga membuka peluang impor sampah dari negara tetangganya. Keberadaan Power Plant itu sendiri juga mendatangkan manfaat karena menghasilkan energi listrik yang cukup besar.

Beberapa waktu lalu ada seorang ibu di Pulau Buru yang mempunyai home industry yang menghasilkan gas  dari kotoran sapi. Menurutnya, minimal setiap orang punya 2 (dua) ekor sapi saja, maka akan dapat mencukupi kebutuhan gas elpiji untuk 1 (satu) hari. Kotoran sapi juga bisa untuk pupuk organik bagi pertanian disamping menghasilkan gas. Begitu juga dengan sisa daun yang dapat diolah kembali menjadi bahan untuk pembuatan sejenis fiber kayu.

Swedia merupakan negara penghasil olahan cokelat terbesar di dunia. Sama halnya Jerman yang merupakan negara pengekspor hasil olahan kopi terbesar di dunia. Adakah kedua negara itu memiliki pohon cokelat atau kopi? Tak sebatangpun! Tapi dengan kreativitas dan teknologi yang mereka miliki -- negara mereka bisa menjadi makmur dengan mengolah bahan baku menjadi barang jadi dari negara-negara agraris yang menghasilkan cokelat dan kopi seperti Indonesia. Namun apa yang dialami oleh para petani kopi dan kakao di negeri kita? Kehidupan mereka tidak lebih baik daripada negara yang tidak memiliki pohon atau kebunnya sekalipun!

Sama halnya dengan hasil pertanian dan perkebunan, migas dan pertambangan di negeri ini masih merupakan industri 'primitif' karena masih berkutat mengekspor bahan mentah ke negara industri maju. Lihatlah betapa ada kontrak penjualan gas selama 30 tahun dengan harga yang tidak ada perubahan. Atau ada pertambangan di Irian Jaya yang hasil tambangnya tidak saja bahan tambang yang ada di dalam kontraknya saja yang ikut dibawa ke negara pemilik tambang tersebut. Kalau sudah begini, siapa yang paling bertanggung jawab untuk membenahinya? Jawaban utamanya adalah pemimpin tertinggi di republik ini. Bagaimana agar kita bisa mendapatkan pemimpin yang bisa menciptakan peluang diantara sekian banyak permasalahan yang menghimpit bangsa ini? Jawaban berikutnya adalah cari dan pilihlah para wakil rakyat yang kelak dapat menjadi penyambung lidah rakyat agar dapat memilih salah seorang pemimpin terbaik diantara calon pemimpin yang baik lainnya. Jadi sebaiknya hindari sikap apatis atau memilih golput saat terjadinya pemilihan legislatif atau pilpres mendatang...

Merubah Mindset Bangsa; Menjadikan Masalah sebagai Peluang

Saat beberapa kota besar di negeri ini pusing bagaimana mencari lokasi untuk pembuangan sampah (TPA) -- ada persoalan masyarakat di sekitar TPA yang menolaknya. Alasan kerusakan lingkungan dan kesehatan merupakan alasan utama masyarakat yang menolak keberadaan tempat penampungan atau pengolahan sampah tersebut. Tapi bangsa Norwegia bisa membuat power plant yang bahan bakunya dari sampah. Bahkan di Amerika ada seorang menjadi milyuner hanya dengan mengelola sampah (waste management). Keberadaan pembangkit listrik tersebut disamping bisa mengurangi volume sampah dalam negeri, juga membuka peluang impor sampah dari negara tetangganya. Keberadaan Power Plant itu sendiri juga mendatangkan manfaat karena menghasilkan energi listrik yang cukup besar.

Beberapa waktu lalu ada seorang ibu di Pulau Buru yang mempunyai home industry yang menghasilkan gas  dari kotoran sapi. Menurutnya, minimal setiap orang punya 2 (dua) ekor sapi saja, maka akan dapat mencukupi kebutuhan gas elpiji untuk 1 (satu) hari. Kotoran sapi juga bisa untuk pupuk organik bagi pertanian disamping menghasilkan gas. Begitu juga dengan sisa daun yang dapat diolah kembali menjadi bahan untuk pembuatan sejenis fiber kayu.

Swedia merupakan negara penghasil olahan cokelat terbesar di dunia. Sama halnya Jerman yang merupakan negara pengekspor hasil olahan kopi terbesar di dunia. Adakah kedua negara itu memiliki pohon cokelat atau kopi? Tak sebatangpun! Tapi dengan kreativitas dan teknologi yang mereka miliki -- negara mereka bisa menjadi makmur dengan mengolah bahan baku menjadi barang jadi dari negara-negara agraris yang menghasilkan cokelat dan kopi seperti Indonesia. Namun apa yang dialami oleh para petani kopi dan kakao di negeri kita? Kehidupan mereka tidak lebih baik daripada negara yang tidak memiliki pohon atau kebunnya sekalipun!

Sama halnya dengan hasil pertanian dan perkebunan, migas dan pertambangan di negeri ini masih merupakan industri 'primitif' karena masih berkutat mengekspor bahan mentah ke negara industri maju. Lihatlah betapa ada kontrak penjualan gas selama 30 tahun dengan harga yang tidak ada perubahan. Atau ada pertambangan di Irian Jaya yang hasil tambangnya tidak saja bahan tambang yang ada di dalam kontraknya saja yang ikut dibawa ke negara pemilik tambang tersebut. Kalau sudah begini, siapa yang paling bertanggung jawab untuk membenahinya? Jawaban utamanya adalah pemimpin tertinggi di republik ini. Bagaimana agar kita bisa mendapatkan pemimpin yang bisa menciptakan peluang diantara sekian banyak permasalahan yang menghimpit bangsa ini? Jawaban berikutnya adalah cari dan pilihlah para wakil rakyat yang kelak dapat menjadi penyambung lidah rakyat agar dapat memilih salah seorang pemimpin terbaik diantara calon pemimpin yang baik lainnya. Jadi sebaiknya hindari sikap apatis atau memilih golput saat terjadinya pemilihan legislatif atau pilpres mendatang...

Selasa, 02 April 2013

Memimpikan Timnas Sepak Bola Indonesia Juara Dunia







Ketika ada pendapat bahwa jumlah penduduk yang besar bisa menghasilkan tim sepak bola berkaliber dunia, seorang pengamat sepak bola menjelaskan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah penduduk dengan kualitas pemain sepak bola. Dijelaska bahwa China, India, Amerika (kecuali Brazil) tidak memiliki catatan sebagai negara yang pernah menjadi juara dunia (world cup champion). Namun seiring dengan otonomi daerah era reformasi berlangsung, semakin banyak daerah memiliki klub sepak bola yang baik. Dari Irian atau Papua ada beberapa klub (Persipura, Persiwa, dan Persiram). Jawa Barat dan Timur juga memiliki klub sepak bola lebih dari satu, bahkan provinsi Kalimantan sekarangpun memiliki klub sepak bola yang disegani.

Untuk menuju timnas sepak bola berkaliber internasional, tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Diperlukan komitment dan konsistensi dalam melakukan perekrutan dan pembinaan para pemain. Saya termasuk orang yang tidak percaya sepenuhnya bahwa jumlah penduduk yang besar tidak menjamin akan melahirkan pemain sepak bola yang handal, berkualitas, dan profesional. Apa yang dilakukan oleh klub profesional saat ini masih didukung banyaknya pemain asing. Tapi hal tersebut tidak perlu dipermasalahkan karena klub besar dunia di benua biru (Eropah) juga didominasi oleh pemain asing. Hanya saja yang menjadi keyakinan saya saat adalah bahwa animo masyarakat Indonesia untuk mendukung dan menonton setiap pertandingan klub kesayangannya semakin tinggi. Pihak PSSI, Pemda dan Pengusaha hendaknya dapat memaintain klub-klub sepak bola yang ada di daerah mereka agar menjadi klub yang profesional.

Saat ini kita memiliki 33 provinsi dan ratusan kabupaten dan kota. Secara gamblang saja bahwa untuk membentuk timnas sepak bola minimal dibutuhkan 15 (lima belas) orang pemain (termasuk pemain cadangan). Saran saya, agar setiap pemerintah daerah yang memiliki calon bibit pemain yang baik (memiliki fisik dan IQ yang tinggi) dapat diutus minimal 1 (satu) orang kepada PSSI. Pemilihan pemain berbakat ini sudah mulai sejak mereka berada di bangku sekolah dasar hingga SMA. Karena mereka yang terpilih adalah orang yang terbaik dari daerah kota/kabupaten atau provinsi, maka selain lambang Garuda di dada, nama pemain juga disematkan dalam kostum mereka. Mengapa? Secara psikologis para pemain akan bermain sebaik mungkin karena tatkala mereka bermain tidak serius dan melakukan kesalahan, para supporter akan tahu nama dan asal (provinsi) pemain tersebut. Alhasil diharapkan sikap bekerja maksimal sebagai timpun akan terbentuk. Jadi bukanlah tidak mungkin suatu saat lagu Indonesia Raya akan bergema di tengah stadion saat timnas sepak bola Indonesia menjuarai Piala Asia atau Piala Dunia....