Selasa, 20 Februari 2018


Robohnya Konstruksi Kami


Ketika dalam waktu yang relatif singkat proyek infrastruktur yang digadang-gadang pemerintah ada yang ambruk, saya ingat joke seorang teman tatkala masih mahasiswa sekitar 20 tahun lalu. Rekan itu kebetulan mahasiswa jurusan teknik mesin. Menurutnya, ada kompetisi membuat jembatan yang menghubungkan antara neraka dan surga. Sesuai aturan kompetisi, tim yang duluan menyelesaikan proyek jembatan dianggap sebagai pemenang. Maka para engineer berpacu dengan waktu untuk segera menyesaikan pekerjaan tersebut. Engineer arsitek agak hati-hati karena tidak ingin proyek dikerjakan asal-asalan. Sementara itu para engineer sipil langsung bekerja. Bagi mereka menggarap proyek seperti itu sudah hal biasa. 

Dalam waktu relatif singkat, kelihatan bahwa tim engineer sipil lebih cepat dalam bekerja.  Beda dengan engineer arsitek yang relatif lamban. Beberapa bulan kemudian engineer sipil telah berhasil membuat jembatan yang menghubungkan antara surga dan neraka. Sementara itu engineer arsitek masih belum merampungkan pekerjaan mereka. Alhasil si pemenang adalah engineer sipil...
Moral cerita adalah bahwa engineer sipil sudah biasa mengerjakan pekerjaan itu. Sedangkan engineer arsitek tipe pemikir, bukan tipe pekerja seperti engineer sipil. 


SOP vs ZMZT

Untuk melakukan suatu pekerjaan konstruksi tentulah harus memenuhi berbagai kriteria yang disyaratkan. Mulai dari sertifikasi perusahaan, SDM, finansial, dan lain-lain. Setiap perusahaan konstruksi juga memiliki standard operating procedure (SOP) di dalam merekrut dan mempekerjakan karyawan mereka. Sedikit saja kesalahan atau kelalaian terhadap SOP -- tentu akan berakibat fatal. Terbukti, Setiap ada kesalahan dalam konstruksi dan ambruk, tentunya memakan korban manusia. Di sisi lain pemerintah sebagai pemilik proyek, juga harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap para kontraktor dan sub kontraktor yang ikut dalam proyek pemerintah tersebut. Mengambil istilah dalam penerbangan, maka siapapun yang terlibat dalam pengerjaan proyek itu harus bebas dan kesalahan. Dan tidak mentolerir sekecil apapun kesalahan yang dilakukan (zero mistake, zero tolerance).

Anda mungkin masih ingat cerita seorang pilot Air France yang karena kondisi darurat, akhirnya mematikan ke 4 engine pesawatnya karena salah satunya terbakar. Akibatnya pesawat terbang tanpa engine. Namun keajaiban terjadi. Meskipun tanpa bantuan dorongan mesin, pesawat jet tersebut berhasil mendarat di bandara terdekat dengan selamat. Rupanya sang pilot yang sudah kawakan itu berhasil mengendalikan dan mendaratkan pesawat -- hanya mengandalkan dorongan angin saja. 

Banyak pujian yang dilontarkan kepada sang pilot karena telah berhasil mendarat darurat tanpa menimbulkan korban seorangpun penumpang. Anda tahu apa yang dilakukan manajemen Air France  saat itu? Sang pilot akhirnya dipecat dari perusahaan karena tidak mengindahkan SOP yang ada! Jadi menurut mereka, pesawat berhasil mendarat bukan karena sang kapten pilot hebat, tapi karena faktor keberuntungan saja....

Oleh sebab itu para stock holder khususnya pemangku jabatan bagian pekerjaan umum, sudah selayaknya mengevaluasi total pengerjaan pembangunan infrastuktur yang sekarang ini. 
Lebih baik selamat, dan selamat lebih baik!...

Senin, 19 Februari 2018


Seluang

Hari Minggu (18/02/18) KPU telah menetapkan nomor urut peserta Pemilu 2019 sebanyak 14 partai. Selain partai muka lama terdapat pula 4 partai muka baru. Meskipun ada 2 partai yang dianggap tidak memenuhi syarat  peserta pemilu -- keberadaan 14 partai setidaknya akan membuat suasana tahun 2018-2019 akan semakin meriah. Minimal meriah dengan atribut para calon legislator maupun pemimpin daerah yang akan bertarung dalam pemilu kada. Tidak seheboh atau semeriah saat final Piala Presiden 2018 di GBK. Entah karena dianggap sudah lumrah atau karena yang dilihat rakyat hanya itu-itu saja.

Muncul Sekali 5 Tahun

Mungkin itulah kata yang cocok buat partai ataupun pengurus partai dan atau siapapun yang ingin mendulang suara -- agar dirinya atau partainya dipilih oleh rakyat. Selanjutnya akan ada ritual perang spanduk dan baner, debat calon kandidat, hari pencoblosan, de el el. Acara 5 tahunan ini merupakan lahan yang menguntungkan bagi konsultan dan pengamat politik, pembuat baju kaos, dan tentunya EO penggerak massa. Setelah masa kampanye...., masa tenaaanggg..., dan hari pencoblosan. Meskipun KPU sudah mengingatkan untuk melarang keras keras terjadinya politik uang dalam perhelatan akbar 5 tahunan ini, tapi potensi ke arah itu masih akan tetap ada. Setelah itu apa lagi? Rakyat tidak terlalu penting (atau setidaknya menganggap penting apa yang ada di "kepala" para calon legislator atau kepala daerah). Dan nampaknya membedah 'isi kepala' atau mindset mengapa kita harus memilih mereka (?) tidak menjadi isu yang penting atau menarik. Sehingga kita akan terus mengalami 'ritual' lima tahunan ini tanpa terlalu mengharapkan apa visi & misi serta target yang hendak dicapai oleh sang legislator atau kepala daerah itu.

Fenomena Seluang

Bagi masyarakat Sumsel khususnya dan daerah lain di Indonesia, tentu sudah mengenal ikan seluang -- yang merupakan ikan air tawar yang biasa hidup di di sungai. Tubuhnya yang berukuran 2-4 inci merupakan species yang sering muncul dan menghilang di permukaan sungai. Kebiasaan muncul & menghilang si ikan seluang ini -- ada kemiripan dengan sepak terjang dan kebiasaan partai politik dan orang-orang yang ingin mendulang suara rakyat agar memilih dirinya atau partai. Bedanya mereka itu muncul sekali 5 tahun! Kalo ikan seluang akan selalu muncul-menghilang dalam hitungan jam saja.

Bedanya lagi, kalo si ikan seluang memberikan manfaat bagi manusia untuk dijadikan penganan dan lauk karena kaya protein dan gizi untuk tubuh manusia. Kalo yang muncul-menghilang sekali 5 tahun..., gimana..(?)


Mang Tujah,

SKA 200218

Jumat, 26 Mei 2017

Kamis, 03 November 2016

Menanti Lebaran Kuda?




Tatkala duo rivalitas pilpres 2014 (Jokowi-Prabowo) kembali bertemu di kediaman Prabowo Subianto di Hambalang (31/10), sontak publik mereka-reka ada apa dengan mereka?  Ada yang mengkaitkan dengan situasi menjelang Unjuk Rasa Qubra Ummat Muslim tanggal 04 Nopember 2016 besok (?) Jawaban kedua politikus tersebut sangatlah sederhana: silaturahmi. Yang menarik dalam pertemuan itu adalah keduanya sempat ngobrol bersama sambil menunggang kuda. Suatu jawaban yang menyejukkan sekaligus menyenangkan. Siapapun akan setuju bahwa dengan silaturahmi, akan membuat suasana jadi cair. Persoalan akan menjadi lebih terurai (mirip-mirip kondisi lalu-lintas saja). Bahkan ada keyakinan dengan silaturahmi akan memperpanjang usia dan memudahkan rezeki. Mudah-mudahan kedua negarawan itu (Prabowo & Jokowi) diberikan usia yang panjang. Bagi yang sedang memerintah – diberikan kemudahan dalam mengambil kebijakan dan perbaikan ekonomi (rezeki – red) bagi rakyat.


Penting & Genting


Seorang Aa Gym bahkan mengatakan dalam talkshow di salah satu tv swasta (02/11) bahwa unjuk rasa Ummat Islam tanggal 04 Nopember 2016 nanti merupakan hal ‘penting & genting’ – jadi sebaiknya pak presiden Jokowi berkenan bisa menerima utusan pengunjuk rasa tersebut di istana. Bahkan beliau menyarankan bilama ada rencana sang presiden untuk menonton konser musik atau kondangan, sebaiknya lebih diutamakan untuk menerima tamu alias pengunjuk rasa tersebut. Sebab selama ini ada kesan bahwa para pengunjukan rasa merupakan potensi masalah. Bisa bikin chaoslah, anarkislah, bisa merusak tamanlah. Tapi ada belum disentuh oleh orang nomor satu itu; siapa yang membuat orang melakukan unjuk rasa itu! Dengan kata lain Aa mengharapkan agar sang presiden nantinya bisa memahami bagaimana perasaan hati Ummat Islam yang difitnah dan dinistakan Aqidahnya oleh seseorang yang bernama Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang notabene pernah menjadi wagub DKI selama dua tahun bersama Jokowi. Bilamana presiden tidak bijak menyikapinya, Aa Gym khawatir persoalan penistaan agama an sich ini akan menjadi blunder dan berkepanjangan.

Jangan sampai Lebaran Kuda 



Dalam dunia politik ada adagium; bilamana Anda menyatakan bahwa Anda tidak berpolitik, maka saat itulah Anda sudah berpolitik! Bilamana kaum ulama saja yang menyuarakan suara Ummat saja masih ada pihak yang ‘mencurigai’ bernuansa politik, apalagi kalo yang bersuara itu adalah SBY yang mantan presiden RI ke-6. Meskipun beliau sempat curhat dan prihatin bilamana ada pihak yang mencurigai diri dan partainya dibalik rencana unjuk rasa tanggal 04 Nopember 2016 tersebut. Bahkan secara tegas beliau menyampaikan bahwa unjuk rasa 04 Nopember 2016 adalah ungkapan hati nurani ummat yang Aqidah mereka dinistakan oleh Ahok. Setali tiga uang dengan Aa Gym, diakhir konfrensi pers di kediaman di Cikeas (02/11) tersebut, SBY mengingatkan agar Jokowi serius menanggapi hal ini (kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok) dapat diselesaikan secara hukum dengan fair dan bermartabat. Sebab bilamana tidak anggap penting persoalan ini (sekali lagi, kasus dugaan penistaan agama –red), maka gelombang demonstrasi akan berlanjut hingga lebaran kuda. Tidak dijelaskan secara spesifik apa yang dimaksud dengan lebaran kuda itu.

Berbagai pendapat dan tafsiran arti ‘lebaran kuda’ tersebut sah-sah saja. Hanya SBY-lah yang tahu arti dan maksud sebenarnya. Atau kalapun di kamus bahasa Indonesia belum tercantumpun, Andapun berhak untuk nyengir kuda. Anda setuju (?)

Selasa, 11 Oktober 2016

Pemimpin Baru Jakarta








Teka-teki siapa saja bakal calon (balon) dan pasangan calon (paslon) gubernur DKI periode 2017-2022 terjawab sudah. Sudah ada 3 (tiga) pasangan calon yakni petahana (Basuki T. Purnama-Jarot), (Anies Baswedan-Sandiaga Uno), dan Agus HY-Silviana Murni. Menarik disimak, tatkala ada pendapat bahwa Pilkada DKI kali ini bukan saja kontestasi antara calon gubernur alias DKI 1, tapi “who is behind them”. Sebagai pendaftar pertama di KPUD DKI adalah calon yang juga petahana BTP-Jarot yang didampingi mantan RI 1 Megawati SP. Sedangkan Anies-Sandi tidak sampai diantar ke KPUD oleh Ketum Gerindra Prabowo Subianto. Begitu pula dengan pasangan AHY-Silvi yang tidak diantar sampai ke kantor KPUD DKI oleh mantan presiden RI ke-6 SBY – meskipun AHY merupakan putera sulung beliau.

Ada “bayangan” mantan PresCapres

Fenomena dibayang-bayangi ‘orang kuat’ bagi paslon gubernur DKI 2017 ini merupakan fenomena lanjutan tatkala ada helatan pileg ataupun pilkada. Cobalah perhatikan di setiap spanduk atau baliho calon legislator yang selalu ada foto ketum partainya disamping fotonya sendiri. Mungkin si calon dewan atau paslon pilkada tersebut akan lebih percaya diri alias pede kalo disamping fotonya, juga terpampang “orang kuat” di partainya atau koalisi partai pengusung atau pendukungnya. Makanya jangan heran, tatkala paslon gubernur DKI ini mesti diantar langsung oleh ketum partai yang mengusungnya!

Ada yang berpendapat bahwa pilkada DKI 2017 ini bisa dikatan sebagai “pilkada rasa pilpres”. Maksudnya,  the man behind the gun partai pengusungnya merupakan mantan presiden atau setidaknya mantan calon presiden yang pernah berkompetisi pada pilpres sebelumnya. Selain untuk meningkatkan gengsi para paslon, ‘penampakan’ para mantan itu bisa diartikan bahwa si pasangan calon yang mereka usung tersebut dilatarbelakangi oleh orang yang pernah berjaya menjadi RI 1. Atau setidak-tidaknya ingin menyampaikan pesan bahwa siapapun yang terpilih jadi DKI 1 nantinya – punya peluang lebar untuk menjadi RI 1 sebagaimana pernah terjadi saat Pilpres 2014 lalu.

Kampanye Bebas SARA?

Jauh-jauh hari sebelum KPUD DKI menetapkan pasangan calon definitif Pilkada DKI, pihak calon petahana sudah pasang kuda-kuda dengan mewanti-wanti agar kompetitornya tidak menggunakan isu SARA (suku, agama, ras, antar golong) terhadap mereka. Namun apa yang terjadi beberapa hari lalu (07/10) tatkala sang gubernur petahana tiba-tiba mengutip surat Al-Maidah 51 saat kunker di Kepulauan Seribu dimana dia mengatakan jangan mau dibodohi oleh paslon yang lain yang menggunakan ayat dalam Al-Qur’an agar tidak memilih dirinya dalam pilgub DKI 2017. Akibat mengutip ayat Al-Qur’an secara serampangan ini – menimbulkan kemarahan bagi umat Islam Indonesia karena ada tendensi melecehkan atau menistakan agama. Akibatnya elemen-elemen Muslim Indonesia telah melaporkan hal ini kepada pihak polisi agar segera ditindaklanjuti.

Apa yang dilakukan oleh cagub petahana ini bisa dianalogikan seperti pertandingan sepak bola. Meskipun kompetisi belum dimulai secara resmi, sang “pemain bola” ini sudah mewanti-wanti agar setiap pemain harus “fair-play”; tidak boleh bawa-bawa rasis atau tackling keras. Genderang tendensius ke arah SARA sudah digaungkan tatkala ia mengatakan bahwa orang yang menggunakan surat Al-Maidah 51 tersebut adalah Rasis dan Pengecut! Lebih parahnya lagi si pengunggah video pidato yang diduga penistaaan agama (Islam) tersebut yakni Buni Yani malah telah dilaporkan ke Polisi! Ibaratnya, posisi sudah off-side, eh...malah menjatuhkan diri (diving-red) – seolah-olah korban tackling keras oleh pemain lawan.... Tapi yakinlah, penonton (voter-red) pasti tahu kok siapa pemain yang bermain kasar atau curang di lapangan.

Peran(g)  Pencitraan

Apakah setiap calon pemimpin perlu pencitraan? Pastilah jawabannya: perlu! Hanya saja, pencitraan yang melulu untuk dirinya sendiri an-sich hanyalah ibarat lipstick belaka. Hanya sementara dan berlaku sekali saja (einmalige-red), terutama saat-saat kampanye saja. Biasaya calon yang petahana selalu mengatakan bahwa kami telah berbuat, sementara yang lain baru berkata. Oleh sebab itu, kami perlu lanjutkan satu periode lagi! Sementara para penantang akan lantang berkata; pemimpin sekarang masih ada kekurangan. Seandainyapun sudah baik, maka pilihlah kami. Karena kami akan membuat Jakarta lebih baik lagi!

Peran(g) pencitraan sudah dimulai tatkala gubernur petahana telah merekut anak-anak mudah dalam wadah #temanahok. Apakah kegiatan ini sudah termasuk curi start jelang Pilkada? Meskipun kegiatan ini bisa diartikan untuk menggiring partai-partai pemilik kursi signifikan di DKI agar memasukkan ybs ke dalam radar cagub yang layak untuk diusung atau didukung dalam pilkada DKI 2017. Hasil akhirnya sudah bisa ditebak dan ‘penggiringan’ oleh aktivitas anak muda itu menuai sukses. Psywar dan budget-war pun juga dilakukan oleh sang petahana yang menyatakan bahwa perkiraan biaya untuk pilgub dipihaknya hanya berkisar 15 M saja. Bandingkan dengan pendapat para pengamat bahwa untuk pilkada setingkat bupati atau gubernur di pulau Jawa bisa mencapai 200 Milyar Rupiah!

Yang membuat para pemilih di DKI sedikit lega tatkala akhirnya pasangan calon gubernur DKI 2017 adalah penantang sang petahana menjadi equal, mengapa? Sebelum adanya 2 paslon selain petahana muncul, ada skenario pilkada DKI head to head dua pasangan calon saja. Hanya saja seandainyapun terjadi – bilamana sang penantang masih berdarah muda alias lebih senior usianya dari sang petahana, secara psikologis akan memudahkan sang petahana untuk komparasi kecepatan usia muda vs tua. Ibarat pemain bola, sudah berpengalaman tapi sudah umur di atas 30-an tahun. Sebagaimana dikatakan pengamat bahwa dengan jarak umur yang sepadan dengan sang petahana, akan membuat kompetisi pilkada DKI akan lebih semarak dan dinamis. Dari segi pendidikan misalnya. Rakyat DKI sekarang sudah tahu bahwa pasangan Anies-Sandi bergelas Master & Ph.D dari Amrik. Begitu juga Agus HY tertitle Triple Masters dan Silviana Murni sudah bergelar Doktor. Dari kubu Anies yang Mantan Mendikbud dan Pengusaha Sukses. Begitu juga Agus HY sebagai the Rising Star. Jadi menjadi gampang bagi masyarakat pemilih DKI untuk memilah-milah dulu siapa yang akan dicoblos nantinya. Mulailah dari sisi pendidikan, kemudian dilanjutkan dengan track record of success, dan yang terakhir carilah yang paling tinggi untuk skor sebagai Solution Maker bagi DKI dan bukan Trouble Maker...

Jumat, 26 Februari 2016

Inikah "Pemimpin DKI" Tahun 2017?



 

Apakah yang bisa dibuat pejabat petahana gubernur DKI menjelang masa berakhirnya masa jabatan tahun 2017? Tentu jawabannya disamping kerja, kerja, kerja. Nampaknya mantan wakil gubernur ini punya jargon pecat, pecat, pecat. Nah, disamping itu bagaimana caranya agar ybs tetap leading di media massa (media darling). Menurut Haji Lulung bahwa penggusuran atau penertiban di kawasan Kalijodo terkesan terburu-buru dan ada kesan ‘pencitraan’ menjelang pilgub DKI 2017. Sah-sah saja memang. Siapapun yang menjadi petahana gubernur DKI, pastilah akan memanfaatkan betul setiap momentum yang ada agar lebih melekat branding pribadi maupun kesan yang ditinggalkan. Kebanyakan strategi sang petahana baik Bupati/Walikota, Gubernur, bahkan Presiden.

Strategi Setengah Cangkir Kopi

Istilah a half glass of coffee strategy (strategi setengah cangkir kopi). Artinya dalam masa jabatan pertama sang petahana, disamping menjalankan program yang sudah dicanangkan sebelumnya, biasanya juga dipersiapkan strategi dimana program tersebut masih dibutuhkan kelanjutannya pada periode kepemimpinan berikutnya. Misalnya sang pejabat petahana mencanangkan bahwa proyek jalan tol di masa pemerintahan (jilid I) dibagi sekian tahap. Maka agar proyek bisa selesai, maka masih dibutuhkan sekian tahun lagi. Biasanya fase selanjutnya itu akan mencakup pada tahun periode kedua dalam pemerintahannya (apabila terpilih kembali – red). Hal ini kasat mata karena bisa jadi proyek tersebut dihentikan bilamana rezim yang baru nantinya menganggap proyek tersebut tidak sejalan yang diinginkan. Alhasil periode kepemimpinan mirip yang terjadi seperti zaman orde baru dimana ada istilah “ganti menteri (pendidikan – red), biasanya ganti kurikulum”. Bila ini terjadi, yang dirugikan tentunya rakyat. Hal lain yang juga dilakukan oleh petahana adalah mendadak memperbaiki infrastruktur seperti jalan, pasar, sarana ibadah, sekolah, yang dilakukan di masa injury time masa kepemimpinan atan menjelang pilkada. Ini untuk mengingatkan kembali bahwa bilamana para memilih kembali memilih sang petahana, maka perbaikan infrastruktur berikutnya akan seperti ini. Padahal membangun dan memelihara infrastruktur merupakan kewajiban setiap pemimpin dimana rakyatnya berada. Tidak peduli apakah di tempat itu ada berapa persen yang memilihnya atau tidak. Strategi ini efektif untuk tataran masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan untuk kaum menengah ke atas, kecendrungan mereka adalah kepastian program yang smart dan bisa dibuktikan secara nyata di lapangan.

Menguasai DKI = Menguasai Indonesia?

Zaman kolonial dikenal istilah, kalo mau menguasai Indonesia, maka kuasailah pulau Jawa. Nampaknya perlu diklarifikasi lagi Jawa yang mana? Apakah Jawa Barat termasuk juga Jawa? Ada yang bilang bahwa Jawa Barat merupakan provinsi di pulau Jawa tapi secara kesukuannya adalah Sunda. Begitu juga dengan DKI yang secara kesukuan identik dengan Betawi. Sinyalemen barang siapa yang menguasai DKI (jadi Gubernur DKI – red), terbukti dengan jabatan marathon yang pernah diduduki presiden RI ke 7 sekarang ini. Road map from Major, Governor, and than became the President tidak terbantahkan. Jadi wajar kalo success story ini bakal diikuti oleh banyak para pemimpi untuk juga menjalani hal yang sama. Diantara sekian banyak para pemimpi itu adalah Yusril Ihza Mahendra. Sudah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia yang menganut budaya Timur bahwa calon pemimpin itu enggak boleh show up. Masyarakat lebih suka calon pemimpin yang rendah hati dan sederhana. Bahkan ada joke mengatakan semakin calon pemimpin itu diremehkan atau dilecehkan oleh maka simpati masyarakat akan meningkat. Banyak calon pemimpin DKI (selanjutnya disebut Pemimpi – red), ketika ditanya insan pers; apakah Anda berniat atau berminat (sama saja) untuk menjadi Gubernur DKI tahun 2017? Kebanyakan mereka akan menjawab dengan nada merendah. Nanti dululah. Lihat apakah ada partai pengusunglah. Mau melihat animo masyarakatlah. Sekali lagi mereka tidak serta merta menjawab “YA”. “Ya, saya siap menjadi Gubernur DKI Periode 2017-2022!” Mengapa?  Para pemimpi itu masih malu-malu kucing. Takut bakal ‘dihajar’ para kompetitor (pemimpi lainnya – red). Iya kalo ada partai yang meminang. Iya kalo suara partai yang mendukung/meminang itu mencukupi. Iya apabila jalur independen memenuhi persyaratan. Iya bilamana amunisi alias gizi alias keuangan mendukung, bla bla bla. Alhasil para pemimpi itu hati-hati sekali dalam menanggapi pertanyaan tentang kesiapan mereka bertarung di pilkada DKI 2017 nantinya. Bilamana para pemimpi itu masih bersikap demikian, malah menguntungkan pihak petahana. Mengapa? Secara psikologis, di alam pikiran bawah sadar masyarakat bahwa kompetitor petahana masih cari partai atau dukungan ke sana kemari. Sementara gue (petahana – red) sudah eksis dan bekerja. Yang lainnya masih sibuk cari biduk dan masih dalam tataran wacana. Jadi saya (petahana)-lah yang paling cocok untuk Anda pilih!
Lalu ada seorang anak bangsa bernama Yusril Ihza Mahendra yang mendadak memproklamirkan diri sebagai calon Gubernur DKI Periode 2017-2022. Cius nich Bang? Belum jelas partai mana saja secara resmi memberikan dukungan (yang pasti PBB sudah ya...). Keren. Kalo PBB saja sudah mendukung. Pastilah Amerika, Uni Eropa dan Jepang manut wae, he..he. It’s just kidding! Benar saja. Tidak beberapa lama kemudian sang petahana Gubernur DKI langsung komen bahwa Bang Yusril ngebet jadi Gubernur DKI lantaran pengen jadi Presiden. Nah, lu? Aneh ya? Masa jadi Presiden enggak boleh? Emangnya yang nuduh ngebet jadi Presiden enggak minat jadi Presiden juga? Bukankah existing president dulunya bilang pernah bilang “I don’t think about that (to be a President –red)”  setiap ditanya wartawan (?) – meskipun aura masyarakat Indonesia sudah bisa menebak bahwa ybs pastilah pengen jadi presiden.
Yang saya acungi jempol adalah tanggapan Bang Yusril tatkala petahana Gubernur DKI menyebutnya bahwa jabatan DKI 1 merupakan batu loncatan Presiden RI. Dengan senyumnya yang khas Bang Yusril menyatakan IYA bahwa ia bermimpi menjadi DKI 1 bla-bla, Insya Allah menjadi RI 1. Hingga saat ini tanggapan masyarakat masih rata-rata air atau datar saja. Keberanian mengungkapkan ke publik bahwa dia ingin jadi gubernur DKI dan juga pengen jadi Presiden adalah luar biasa. Ini bukan arogan. Hal ini menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi dan kesiapan mental untuk bertarung. Meskipun demikian, Bang Yusril pernah dinasehati oleh sahabatnya agar tidak meniru mantan gubernur DKI sebelumnya yang meninggalkan jabatannya untuk mengejar jabatan yang lebih tinggi. Tukang becak saja pernah mencalonkan diri jadi Gubernur DKI, moso’ mantan Menteri enggak boleh? Terus adakah yang salah bilamana seorang Gubernur DKI yang belum habis masa jabatannnya – kemudian ikut bertarung Pilpres dan menjadi Presiden RI? Justru sejarah telah membuktikannya.

Mendayung Biduk ke Hilir

Selain ada peluang DKI 1 bisa menjadi RI 1, saat ini sudah ada juga the second man alias wakil kepala daerah yang karena sesuatu dan lain hal tidak lagi menjadi menjabat – akhirnya jabatan tersebut beralih kepadanya. Wakil Gubernur Banten misalnya. Fenomena ini menarik untuk ditelaah mengingat selama ini orang tidak kepikiran bahwa maybe some day, sang kepala daerah tersebut bisa saja diberhentikan menjadi bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden sekalipun. Nah, peluang orang kedua (second man) tersebut menjadi terbuka lebar. Saya yakin pihak partaipun sekarang juga sudah mempertimbangkan orang yang bakal diusung (apakah nomor 1 atau 2), masing-masing punya peluang untuk tetap menjadi 1 & 2 selama periode jabatan, atau bilamana nomor 1 berhenti digantikan nomor 2. Istilah yang tepat bagi sang wakil yang menggantikan posisi menjadi orang nomor 1 tersebut diibaratkan ‘mendayung biduk ke hilir’ alias tinggal melanjutkan saja.

Yang perlu dipertimbangkan saat ini bagi para pemimpi DKI 1 adalah kekuatan sosial media berikut gerakan di belakangnya. Jadi sah-sah saja bilamana saat ini sudah dibuat tag #Yusrilsahabatku;#Yusrilgubernurku;#Yusrilkoncoku atau #Yusrilkawanku, de el el. Menurut pengakuan tim sukses salah satu calon gubernur DKI 2012 dan Pilpres 2014 lalu bahwa ia pernah menawarkan kampanye lewat media sosial, tapi sang capres lebih senang memilih kampanye menggunakan pendekatan langsung ke pemilih. Padahal menurutnya, kekuatan media sosial saat ini merupakan kekuatan yang diperhitungkan selain media massa atau elektronik.
Menurut hemat saya, pilkada DKI 2017 nanti bilamana sang petahana tetap mencalonkan diri, untuk penghematan biaya pilkada – sebaiknya cukup 2 calon saja. Misalnya Yusril vs Petahana. Bilamana hal ini terjadi tentulah sangat menarik. Spanduk dan baliho bakal rame dengan tulisan berikut: Datanglah  Rame-Rame ke TPS Pilgub DKI 2017. Pilihlah antara Laksamana “Chengho” Yusril vs Ahok...